webnovel

1. Prediksi Kerja Sama

Tidak perlu buru-buru. Candra pikir dia bisa mencari tahu tugasnya besok pagi, tetapi tidak. Malam ini juga dia harus datang ke sebuah gedung pertemuan yang sudah diarahkan oleh sang paman lewat pesan. Tentu saja letak gedung tersebut jauh dari rumah. Candra sudah bersiap dengan jaket tebal dan kaos kaki rangkap dua sebelum mengenakan sepatu olahraga. Juga meminum obat dengan dosis tinggi karena merasa gila menghadapi keinginan pamannya. Membawa keluar motor setelah mengunci rumah sambil menggerutu panjang.

"Apanya yang janji ngasih istirahat? Apanya yang nggak bakal ngusik gue? Sehari aja, cuma sehari doang gue pengen lurusin kaki sama punggung, tetep aja nggak bisa. Huft, sabar, Candra! Demi kebahagiaan semua orang, lo harus kuat luar dan dalam. Ayo, kita cari tau apa misi rahasia kali ini! Paman Fika, awas aja ntar!"

Geramnya tidak tertahan. Candra mengendarai motornya dengan sangat cepat. Suaranya bahkan mengumbar kebisingan bagi tetangga. Lalu, dia mengikuti arahan sesuai peta di pesan. Setengah jam kemudian dia tiba di lokasi. Candra terkejut, ternyata tempatnya sangat ramai. Angin malam yang menggelitik kulitnya masih terasa meskipun jaketnya tidak dilepas. Helm yang melekat di kepala tidak mampu menghadang udara untuk membelai lehernya, sehingga leher Candra jauh lebih dingin daripada bagian tubuh lainnya. Terlebih lagi wajah Candra semakin memerah dan kepalanya terasa berat. Namun, dia paksakan untuk bersikap seperti biasa. Turun dari motor dan melihat semua orang yang memakai pakaian formal nan elegan di gedung itu. Candra merasa salah kostum.

"Wah! Wow, acara apaan, nih? Apa gue salah alamat, ya? Keren!"

Candra meringis sambil membenahi jaketnya. Dia tidak jauh-jauh dari parkiran motor. Kemudian seseorang memanggilnya dari balik dinding gedung. Candra langsung tahu bahwa itu pamannya. Dia ingin marah bahkan mulutnya sudah terbuka, tetapi pamannya menaruh telunjuk di bibir. Seketika Candra membungkam mulutnya. Pamannya memberi isyarat agar Candra mengikutinya. Sikap tenang dari sang paman membuat dahi Candra berkerut.

'Berarti ini bukan bercanda. Kali ini ada apa?' pikir Candra.

Dia terus mengikuti pamannya hingga tiba di sebuah kamar yang melewati pintu belakang. Candra terbelalak tidak percaya dengan interior gedung yang jauh lebih menawan dari luarnya. Bahkan ada banyak kamar dengan pintu berwarna cokelat kayu. Banyak pula pelayan yang sedang berjalan di koridor sambil membawa makanan dan minuman. Mereka sangat sibuk. Candra tak bisa berhenti tersenyum.

'Pestanya orang kaya! Haha, gue kayak pengusup, dong? Aduh, pendingin ruangannya lumayan kuat. Gue jadi pengen tidur. Mata gue nggak kuat,' batin Candra menahan senang.

Ketika sang paman membuka pintu, Candra ikut masuk begitu saja. Langkahnya sangat tertata, tanpa menimbulkan kecurigaan siapapun meskipun pakaiannya paling berbeda. Seorang wanita di kamar itu terkejut dengan kedatangan Candra. Namun, Candra jauh lebih terkejut karena penampilan wanita itu. Sangat cantik dan bersinar. Leher, telinga, pergelangan tangan hingga jari manisnya tidak terlewatkan satu perhiasan pun. Setelah puas dengan keterkejutan masing-masing, wanita itu tersenyum anggun. Berbeda dengan Candra yang mengerjap polos. Dia merasa berada di tempat yang salah sekarang.

'Hehe, apa ini? Gue merasa kecil dan wajah gue semakin merah,' kata Candra dalam hati.

"Permisi, Nyonya. Ini adalah keponakan saya. Dia yang akan bertugas." Fika memperkenalkan Candra seolah tanpa beban.

Candra berdecak dan memasang tatapan sinis pada sang paman. Lalu, dia tersenyum manis pada kliennya. "Selamat malam! Senang bertemu dengan Anda. Saya Candra siap menerima segala macam keluhan," ujarnya sopan.

"Haha, jangan hiraukan ucapan buruknya, namanya masih remaja. Meskipun amatiran, dia selalu mengerjakan tugasnya dengan baik," Fika justru menjerumuskan Candra membuat Candra tidak mengerti maksudnya.

'Emangnya gue ada salah ngomong? Bagian mana?' pikir Candra.

"Tidak apa-apa. Aku suka anak muda. Candra, senang bertemu denganmu. Aku mohon bantuanmu." wanita itu bicara dengan nada halus dan menunduk.

Sontak Candra maju selangkah hendak menghentikan tindakan itu, "Tolong jangan terlalu sopan. Saya hanya relawan biasa. Sejauh ini hanya belajar dari paman, tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi permintaan Anda."

Wanita itu mengangkat kepalanya. Wajahnya menunjukkan kegelisahan, "Ini ... tugas yang cukup sulit. Bahkan polisi pun tidak mau mendengarkanku lagi, tapi aku tetap egois ingin mencari tahu kebenarannya. Tolong, bantulah aku!"

Candra terkesiap. Dia menoleh meminta kebenaran pada Fika dan Fika mengangguk. Tandanya ucapan wanita itu benar. Terlebih lagi tanpa basa-basi, langsung merujuk pada inti pembicaraan.

'Tunggu! Kenapa? Pihak polisi pasti punya alasan mengapa tidak mendengar wanita ini lagi," pikir Candra baik-baik.

Candra tersenyum mencoba menghilangkan kecemasan wanita itu, "Saya terima!" jawabnya tegas.

Kedua alis wanita itu terangkat. Candra berhasil mendapat kepercayaan yang begitu tinggi dari wanita itu, "Benarkah?! Terima kasih banyak! Namaku Resya Anggirani. Bukannya aku tidak percaya padamu, tetapi aku ingin bertanya sekali lagi untuk memastikan. Apa kau bersedia menerima permintaanku apapun yang terjadi?"

"Saya akan melakukannya sebisa mungkin." Candra mengangguk pasti.

'Eh? Gimana? Apapun yang terjadi? Bukannya seharusnya apapun itu? Emangnya ada apa sama keluhan dia?' batin Candra lagi.

Tiba-tiba wanita bernama Resya itu tersenyum lega seolah bebannya hilang sedikit. "Maaf, aku sudah mendengar tentangmu dari detektif Fika. Kau selalu bekerja sendirian dan sukses seratus persen. Sayangnya aku sudah meminta bantuan seseorang sebelumnya. Dia juga melakukan pekerjaan secara rahasia tanpa imbalan sepertimu. Aku ... jadi merasa tidak enak padamu," ujarnya halus.

Candra mengerjap bodoh, "Apa?"

Fika angkat suara, "Nyonya Resya masih menginginkan bantuanmu. Dia sangat percaya padamu."

Candra menatap Fika dan Resya bergantian, "Kalau begitu, kenapa masih meminta bantuanku? Jika Anda ingin menyelesaikannya tanpa bantuan polisi, seharusnya juga tidak memanggil paman kemari."

"Karena ini adalah tugas detektif Fika satu tahun yang lalu. Semua rekannya tidak mempercayai satu-satunya bukti yang kupunya, tetapi detektif Fika sangat baik. Dia mau mendengarku meskipun sudah setahun lamanya. Kali ini tidak bisa jika dia kerjakan sendirian terlebih lagi sebagai detektif polisi. Aku ingin ini dirahasiakan dari pihak polisi, sehingga aku meminta bantuan orang lain. Bagiku tidak masalah jika detektif Fika mengetahuinya. Aku justru sangat terbantu olehnya dan sangat senang setelah mendengar sesuatu tentangmu," jelas Resya penuh harap.

'Oh, jadi itu sebabnya dilimpahkan padaku? Benar juga, paman lagi sibuk akhir-akhir ini. Dia nggak bakal punya waktu buat masalah diam-diam kayak begini,' pikir Candra serius.

"Lalu, apa yang Anda minta?" tanya Candra masih dengan kening yang berkerut.

"Tolong bekerja samalah dengan orang itu! Selidiki kasus ayahku yang terbunuh secara misterius satu tahun yang lalu!" Resya mengatakannya tegas.

Deg!

Candra mengejang kaku. Dia tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya ketika mendengar kata kerja sama. Otaknya langsung dihantui berbagai macam hal negatif. Apa dia bisa bekerja sama dengan orang asing dalam hal ini? Dia tidak pernah melakukannya.

"Kerja sama?" Candra menaruh pertanyaan besar. Terlebih lagi dengan siapa dia bekerja sama.

"Iya! Aku yakin kasus ini akan terungkap dengan jelas dan aku tidak akan salah menduganya. Aku punya target, tetapi bukti yang kupunya tidak cukup kuat. Kau akan terkejut jika mendengarnya." Resya mengepalkan tangan. Dia serius.

"Siapa?" tanya Candra hati-hati.

"Dekan fakultas ekonomi tempatmu berada," jawab Resya tegas.

Candra kembali terguncang. Fika sampai khawatir menatapnya. Seolah bisa Fika rasakan degupan kencang di dada Candra.

"Tidak mungkin!" suara Candra sedikit bergetar.

"Itulah mengapa aku ingin kau menyelidikinya," balas Resya.

"Siapa orang yang akan bekerja denganku?" tanya Candra jauh lebih hati-hati. Firasatnya mengatakan guntur akan menggelegar tepat di atas kepalanya. Artinya hal buruk akan terjadi.

Resya terdiam sejenak, "Abirana Wisnu Sanjaya. Orang yang sangat dekat dengan dekan kalian."

Napas Candra tercekat seakan jantungan. Gunturnya bukan hanya berada di atas kepala, melainkan menyambar kepalanya hingga bisa pecah. Dua orang itu tidak pernah terlintas sedikit pun di benak Candra untuk menghadapi dunia rahasia yang selalu dia jalani.

Candra membasahi bibir bawahnya dan memalingkan wajah, "Tunggu sebentar! Biarkan saya bernapas! Wah, ini terlalu mengejutkan!"

Memegang dahinya yang semakin panas. Sepertinya obat penurun demam tidak berfungsi dengan baik. Terlebih lagi kebenaran itu membuatnya bertambah sakit.

'Apa itu barusan? Pak Wisnu? Pak dekan? Pembunuhan misterius? Semua orang terdekat gue? Apa ini? Astaga, berat! Rasanya mustahil! Gue mau pingsan!' Candra frustasi dalam hati.

"Candra?" panggil Fika sambil menyembunyikan kekhawatirannya.

Candra kembali memandang mereka dan menampilkan senyum dengan sisa keterkejutannya, "Ah, maaf! Tenang saja, saya akan tetap membantu. Kasus ini cukup serius, tetapi nama dua orang itu juga lumayan serius. Saya tidak percaya mereka akan terlibat. Ini ... sedikit menakjubkan." Candra mengatakannya dengan tawa kecil.

Resya tersenyum lebar mendengarnya, "Aku tau kau akan menerimanya. Sebenarnya, orang yang akan bekerja sama denganmu juga ada di sini. Aku baru saja meminta bantuannya tadi sebelum bertemu dengan detektif Fika. Jika kau ingin menemuinya, dia ada di ruang depan bersama para tamu. Ini pesta yang kubuat atas terbukanya cabang toko perhiasan baru. Aku akan sangat senang jika kalian menikmati perayaan ini."

"Terima kasih atas keramahannya. Selanjutnya serahkan ini pada kami." Fika menunduk tanda pamit. Dia tahu Candra tidak akan bisa menjawab lagi karena tekanan syok di dalam hatinya.

Hanya berbeda beberapa menit untuk Resya berbicara pada Wisnu dan setelah itu kepada Fika. Wanita itu telah melibatkan banyak orang untuk satu kasus. Namun, bukti yang tidak bisa diterima itu masih belum diketahui. Motif lengkapnya juga belum jelas. Sehingga Fika memberikan berkas yang menyangkut semua informasi tentang kasus tersebut pada Candra setelah mereka di parkiran. Bahkan terdapat biodata Resya Anggirani yang merupakan pengusaha emas. Tatapan Candra masih kosong dan hening. Fika mendesah dan memukul kepala Candra dengan berkas itu.

"Aduh!" Candra mengaduh meskipun tidak sakit.

"Jadi, siapa orang yang bernama Wisnu? Bukankah dia jauh lebih mengganggu daripada dekanmu?" tanya Fika santai.

"Gimana Paman bisa tau?" Candra mengelus kepalanya yang dipukul.

"Terlihat jelas di dahimu. Seolah tertulis nama Wisnu di sana." Fika menunjuk dahi Candra dengan berkas.

Candra berdecak, "Benar-benar Candra mau marah sama Paman. Sampai-sampai pertanyaannya nggak bisa dikeluarkan pakai kata-kata. Apapun itu, semuanya sudah terjadi. Serahkan tugas ini sama Candra. Mau tubuh roboh pun Candra bakal tetap cari tau kebenarannya."

"Wah, wah, ada yang marah ternyata. Paman rasa kamu lebih marah sama orang yang ditargetkan oleh nyonya Resya," kata Fika. Dia memandang gedung yang ramai hingga ke teras. Candra pun memandang tempat yang sama.

"Hmm, pak dekan, ya? Nggak disangka bisa dituduh tanpa bukti yang jelas. Pak Wisnu juga. Kenapa nama dia bisa disebutkan dalam profesi diam-diam kayak Candra? Sebenarnya siapa dia? Ini di luar dugaan. Nggak, dari tadi emang udah di luar prediksi. Pak Wisnu selalu muncul di depan Candra," gumam Candra jelas.

"Pak Wisnu? Oh, apa dia dosen? Paman kira mahasiswa, karena Paman juga belum bertemu dengannya," sahut Fika membuat Candra berkedip dan mengangguk.

"Iya dan dia dosen nyebelin yang Candra maksud," sambung Candra.

"Apa?!" Fika terkejut.

"Kenyataan ini ... CANDRA NGGAK TERIMA!" beberapa detik Candra tenang dan dia tidak bisa menahan lebih lama gejolak di dadanya dan akhirnya meledak menimbulkan perhatian beberapa orang di parkiran termasuk petugas keamanan.

Napasnya yang turun-naik tidak bisa lagi diatur agar lebih tenang. Akhirnya dia semakin kepanasan. Dinginnya angin malam menghanyutkan suasana. Candra ingin luruh, dan itu menyadarkan Fika jika Candra demam.

"Astaga, panas! Kamu masih kuat untuk pulang?" tanya Fika setelah memeriksa dahi Candra.

Candra menggeleng, "Candra harus bicara sama pak Wisnu. Sekarang juga!"

Fika menghela napas panjang, "Sejak dulu kamu selalu memaksakan diri. Mungkin kasus Resya terlalu biasa buat kamu, tapi kondisi kali ini berbeda. Menyelidiki orang terdekat dengan dosen sendiri? Pasti berat buat kamu, Candra."

Candra tersenyum miring, "Bukankah jadi semakin menarik, Paman?"

"Haha, Paman takut sama senyummu. Yakin nggak mau Paman antar pulang?" Fika memandang seseorang yang dilihat Candra sejak tadi. Seorang laki-laki tampan yang memakai jas hitam berdiri di ambang pintu. Dia sedang bicara dengan beberapa gadis cantik.

'Ekspresi Candra jauh lebih menakutkan daripada kesakitan. Apa dia yang bernama Wisnu? Benar-benar laki-laki yang keren! Sejak tadi matanya hanya tertuju pada orang itu,' batin Fika.

"Paman, mendingan Paman balik ke kantor sebelum Candra tendang pantat Paman!" geram Candra dan mendorong Fika hingga mundur dua langkah, sedangkan dirinya menghampiri halaman utama gedung.

Fika ingin menghentikannya, tetapi dia memilih menutup wajah karena tidak sanggup melihat apa yang akan Candra lakukan, "Aduh, anak itu! Pasti mau buat keributan! Mana pakaiannya jelek sendiri lagi!"

Setelah itu Fika melarikan diri. Urusan di gedung dia serahkan pada nasib. Langkah Candra semakin cepat seiring napasnya terasa panas. Dari kejauhan, orang yang selalu diperhatikan Candra mulai menyadari kehadiran Candra. Dia benar-benar Wisnu dan raut terkejutnya membuat Candra semakin marah. Semua orang mulai memperhatikan Candra. Mereka saling berbisik bahwa Candra aneh seperti ingin mengamuk. Disertai gaya pakaiannya yang sangat mendukung.

"Candranika?!" Wisnu memekik tertahan. Dia melotot tidak mengira akan bertemu Candra di gedung ini.

"Siapa? Kamu kenal dia?" tanya salah satu gadis yang sedang berbincang dengan Wisnu sebelumnya.

Hidung merah Candra seakan mengeluarkan asap. Jarak telah terkikis dan kini dia berada tepat di depan Wisnu. Beberapa orang mundur ketakutan. Wisnu menahan napasnya tidak percaya. Candra semakin menatap tajam Wisnu tanpa peduli semua orang sedang membicarakannya.

"PAK WISNU! TOLONG PERGI DARI KEHIDUPAN SAYA!" teriak Candra puas.

"APA?!" Wisnu pun terkejut hebat.

Seketika Candra ambruk tak sadarkan diri. Heboh seisi gedung.

"Candra! Astaga!" Wisnu segera berjongkok panik. Menyangga kepala Candra dan menepuk pipinya berkali-kali, "Candra?" sambungnya memanggil.

Tanpa menunggu lama Wisnu menggendongnya dan membawa Candra ke rumah sakit terdekat. Bisa dia rasakan suhu yang berbeda dari mahasiswinya. Para penjaga menghalangi untuk memeriksa sebentar, tetapi Wisnu tidak memperdulikannya dan terus menuju parkiran. Huru-hara singkat itu menjadi pertanyaan sampai Resya mendengarnya.

"Loh, mereka kenapa?!" seru Resya di teras gedung. Sayangnya Wisnu telah keluar dari gerbang dengan sangat cepat.

Di sepanjang jalan Wisnu bertanya-tanya apa yang dilakukan Candra di pesta tersebut. Di sisi lain, dia sangat khawatir dengan kondisi Candra. Setibanya di rumah sakit, Candra langsung mendapatkan perawatan. Tidak butuh waktu lama bagi Candra untuk sadar, tetapi saat itu terjadi Wisnu telah pergi. Menemui Resya yang menghubunginya tepat ketika Wisnu memasuki rumah sakit.

Candra heran sejenak dan segera mengerti dengan apa yang telah dia lakukan. Memang sedikit malu dan kini tengah memikirkan reaksi Wisnu sebelumnya. Bisa dia tebak jika Wisnu yang membawanya ke rumah sakit. Pipi Candra sedikit memerah memikirkan kebodohannya yang berteriak dan pingsan di depan sang dosen.

Candra menggaruk kepalanya kasar, "Ah, tau, ah! Pusing gue!"

Keesokan harinya diselimuti kegelisahan. Candra tidak bisa istirahat dengan tenang. Hingga Fika pulang dan terkejut melihat Candra begitu frustasi. Duduk di meja belajar kamarnya sambil membuat deretan kemungkinan yang akan terjadi di masa depan bersama Wisnu. Hasilnya semuanya buruk. Tidak ada yang berdampak baik. Fika sudah menduganya. Namun, daripada mencemaskan keadaan otak Candra, dia jauh kasihan pada kursi yang terbalik begitu saja. Fika yakin kursi itu ditendang Candra sebelum Candra naik ke meja.

Tidak terasa aktivitas di hari senin kembali bermula. Celana jeans biru dengan kemeja putih yang dipakai Candra membuat hari semakin cerah secerah birunya langit. Sayangnya, bibirnya mengerucut. Benaknya tidak berhenti memikirkan Wisnu dan tugas barunya. Permintaan itu terlalu luar biasa menakjubkan sampai terbawa mimpi. Kini Candra mempunyai kantung mata hitam karenanya. Gedung fakultas ekonomi selalu cerah. Penuh dengan gasebo kayu yang biasanya Candra akan bersantai sejenak di sana sebelum masuk perkuliahan. Kali ini dia langsung menuju kelasnya yang berada di lantai dua. Baru tiba di depan anak tangga, seseorang sudah menegurnya dari depan pintu ruangan dosen yang kebetulan berada di dekat tangga. Suara itu membuat bulu kuduk Candra merinding. Dia tidak berani bergerak apalagi menoleh, tetapi orang itu memanggilnya untuk kedua kalinya membuat Candra mengumpat dalam hati.

Perlahan dia menoleh sambil memasang senyuman paling manis meskipun dipaksakan. Dia bingung tiba-tiba mencium aroma kopi hitam yang baru diseduh. Ternyata bau itu berasal dari sosok yang memanggilnya.

"Ehehe! Selamat pagi, Pak! Kopinya ... enak!" sopan Candra basa-basi. Sampai tangannya menawarkan kopi itu untuk diminum.

Orang yang menyapanya itu membalas senyuman Candra, "Pagi, Candranika. Hari yang cerah."

Hantaman keras di hati Candra. Dia paham betul maksud dari kalimat itu. Artinya nyawanya terancam hari ini. Dia kembali tertawa kaku.

"Ahaha, tumben minum kopi, Pak. Wanginya, aduh, menyebar sampai ke lantai dua."

Candra ingin lari sesegera mungkin.

"Benarkah? Terima kasih. Sebenarnya sengaja buat teman bosan sembari nunggu kamu."

Dosen itu masih tersenyum. Dia Wisnu yang niatnya sangat dihindari Candra hari ini, tetapi justru dipertemukan sepagi ini.

"Hah?" Candra mengernyit.

"Ke ruangan saya, sekarang!" seketika senyum Wisnu menjadi tatapan tajam.

Candra menganga selebar-lebarnya, "HAH?!"

Teriakkannya semakin keras tanpa malu dilihat beberapa mahasiswa yang baru datang. Terlebih lagi Wisnu masuk terlebih dahulu ke ruang dosen. Pintu itu masih terbuka lebar seolah mengundang Candra. Nasibnya usai sudah kali ini.