"Gue jemput, jangan naik bus dulu," pesan dari Irfan.
Sekarang hari kamis, aku punya jadwal yang sama dengan Irfan dan Mavis. Tapi Irfan yang sering menjemputku.
"Buku?" Tanya Irfan tepat setelah aku masuk mobil.
"Udah,"
"Leptop?"
"Udah,"
"Tugas?"
"Udah di kumpul kemaren,"
"Ada lagi yang lain? Gue nggak mau bolak-balik, macet," serunya.
"Kayaknya udah semua deh. Eh bentar, buku harian gue ketinggalan!" Aku langsung turun dan lari ke dalam kos.
"Tumben lo bawa, biasanya nggak pernah," tanya Irfan saat aku sudah di mobil lagi.
"Teman sekamar gue reseh, katanya nggak sengaja baca karena liat buku harian ini di atas kasur gue. Padahal ni buku nggak pernah keluar dari laci!" Ku tumpahkan semua kekesalan pada Irfan. Ia hanya mangut-mangut mendengar keluhanku.
"Trus dia tahu rahasia lo? Masalah penyakit itu?" Tanyanya hati-hati.
"Soal penyakit, gue nggak pernah nulis dimanapun, gue tau resikonya terlalu tinggi."
"Trus kenapa lo marahnya gitu amat?"
"Ada rahasia besar yang tidak boleh di ketahui siapapun! dan gue takut kalau Tami sudah membacanya!"
"Coba nanti lo tanyain ke dia, mana tau dia belum sempat baca semuanya."
Memang akan ku lakukan nanti, tapi tidak semudah itu. Aku takut Tami keceplosan dan menceritakan pada yang lain, meski aku yakin dia tidak akan paham maksud dari buku harian itu.
***
"Gue pikir lo bakalan telat, tadi kan macet, lo naik apa?" Tanyaku pada orang pemilik nama Tami ini.
"Tadi gue dijemput Tony," jawabnya.
"Tony siapa?"
"Pacar gue, lo nggak tau? Kita satu kos hampir dua tahun loh!" Keluhnya.
Memang aku nggak begitu peduli dengan kehidupan pribadi orang lain. Aku nggak mau terlibat terlalu jauh, hidupku saja sudah berat, masa mau nanggung beban orang lain.
"Kenapa lo duduk disini? tumben, biasanya lo duduk di depan terus," tanyanya.
"Pengen aja," jawabku singkat. Sebenarnya kalian pun tau niat aku duduk didekatnya.
"Soal buku harian gue, lo udah baca sampai mana?" Tanyaku terus terang.
"Pantes lo duduk sini, mau nanya soal itu ternyata," serunya. "Hampir semuanya, tapi banyak yang gue nggak ngerti. Itu beneran buku harian?" Lanjutnya.
"Beneran lu nggak ngerti?"
"Pusing gue baca buku lo, gue pikir itu jurnal penelitian, banyak banget!" Katanya kesal.
"Syukurlah," kataku berdiri dan pindah duduk ke depan. Dapat ku dengar Tami memakiku dari belakang. Bodo amat, yang penting aku sudah yakin kalau rahasia itu masih aman.
Memang banyak istilah-istilah yang ku pakai untuk menggantikan maksud dari tulisanku. Sudah kebiasaan dari dulu. Tapi Mavis hampir mampu mengartikannya saat kugunakan istilah itu dalam cacatan sekolah dulu.
Sejak saat itu aku selalu menulis sesuatu yang ingin ku rahasiakan dengan isyarat tertentu. Kenapa di perumit?, begitulah aku.
"Makan siang dimana kita?" Tanya Mavis melalui grup.
"Kan biasanya lo yang nentuin," balasku.
"Terserah lo aja, asal jangan restoran seafood!" Balas Irfan.
"Oke, kita makan di kantin aja! Jangan sampe telat!" Pesannya.
***
"Mau pesan apa? Biar gue yang pesanin," tawarku. Setelah mencatat pesanan dan mengantar ke kasir, Mavis memanggil ku seolah ada situasi penting.
"Kenapa?"
"Ini buku harian lo kan?" Katanya sambil mengangkat sebuah buku di tangan kanannya. Sial, aku lupa menutup tas dan meletakkannya disebelah Mavis.
"Bukan,"
"Bohong!, udah gue baca halaman pertama," katanya.
"Kenapa lo biarin!" Kesalku pada Irfan.
"Kan gue nggak tau bentuk buku harian lo," jawabnya santai.
"Lo ngerti?" Ku sipitkan mata menatap Mavis.
"Ngerti lah!" Jawabnya girang.
"Tutup mulut ya!, kalo nggak gue pesenin es krim vanilla!" Bisikku dekat telinganya. Mavis langsung diam seketika, Irfan hanya menperhatikan kami tanpa banyak berkomentar.
"Kalian tahu? Aku mulai curiga, ada apa diantara kalian berdua?" Tanya Irfan setelah kami selesai makan.
"Nggak ada kok!" Jawabku panik.
"Lagian kan si Anna nggak bisa..." kalimat Mavis terpotong saat Irfan menginjak kakinya dengan sengaja.
"Ah sorry, gue nggak maksud kok Na," kata Mavis.
"Nggak apa kok."
"Lagian apa sih yang lo takutin dari buku harian lo?" Tanya Irfan.
"Ada deh, kalian nggak perlu tahu."
"Tapi gue udah baca halaman pertama," seru Mavis.
"Kan gue minta untuk lupain!" Bentakku sambil menatap tajam ke arahnya."
"Apa yang salah dari resep sup ayam?" Kata Mavis.
"Ha?" Aku bingung dengan pernyataan Mavis.
"Halam pertama, kan resep sup ayam buatan nyokap lo, kenapa di rahasia in?" Tanyanya dengan wajah polos.
Bodohnya aku, kalau buku harian dan resep masakan mamah kan aku sampul sama. Kemaren sore aku masak tumis sayur makanya bukunya terlatak di atas kasur. Yang dibaca Tami ternyata juga buku resep masakan mamah.
"Lo cewek paling aneh yang pernah gue temui, anehnya gue bisa betah temanan ama lo," Mavis menggelengkan kepalanya seolah aku beban berat bagi hidupnya.
"Nggak kok, menurut gue dia unik," timpal Irfan sambil menyuduh minumannya. Ku anggap itu semua pujian, lagian hanya mereka yang selalu ada untukku. Suduh cukup bagiku mereka tidak pernah menjauh.