webnovel

Malik Adam

Hanya mimpi, itu yang ditanamkan dalam otak Anna. Apa yang terjadi kemarin, tidak pernah terjadi di dunia nyata.

"Heh! Kamu kenapa Anna?!" Rekan kerja Anna menepuk bahu gadis itu.

Anna mengerjap kaget, "Ah! Aku baik-baik saja."

Wanita berambut merah menyala itu bersedekap dada, memerhatikan mimik wajah Anna sekarang.

"Apa ada yang mengganggamu lagi?" tebaknya.

Anna tertawa setengah-setengah, "Tidak ada. Tidak ada yang mengangguku, kok. Tenang aja," bohongnya.

Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa semalam ada 3 pria yang mencegatnya? Dan, tidak hanya itu, malam itu, Anna dilamar oleh pria tua. Bukankah hal itu sangat tidak lucu untuk diceritakan?

"Baiklah kalau begitu, antar minuman ini ke meja 07, ya," pintanya.

Anna mengusap tangannya, lalu memegang nampan itu. Anna sudah cukup lihai dengan benda pipih tersebut. Tubuhnya mampu menjaga keseimbangan, dan tidak gemetar seperti awal dia bekerja.

Anna menyapu pandang, kemudian melangkah menuju meja 07.

"Silahkan dinikmati, Tuan," ucapnya dengan ramah.

"Tunggu dulu!" Pria itu tiba-tiba mencekal lengan Anna.

"Siapa namamu?" tanyanya di waktu yang menurut Anna tidak tepat.

Menjadi tontonan customer bar, bukanlah hal yang disukai Anna. Dia tidak suka menarik perhatian orang-orang.

Berusaha melepaskan tangannya, pria itu malah mencengkeram lengan Anna semakin kuat.

'Fuck!' umpat Anna dalam hati. 'Pria sialan!'

"Maaf, Tuan, bisakah Anda melepaskan tangan saya lebih dulu?" pinta Anna dengan sopan.

"Apa susahnya menjawabnya sekarang?" Pria itu menatap Anna, mengedipkan mata kanannya.

"Nama saya Anna, Tuan," jawabnya. Tak ada pilihan.

Anna pikir pria itu akan melepaskannya, nyatanya tidak. Pria itu menarik Anna dengan kuat hingga tubuh Anna jatuh ke dalam pangkuan pria tersebut.

"Wahhh!"

"Hooooii!"

Teriakan sorak-sorai yang bergemuruh, membuat Anna malu setengah mati. Sungguh, jika dia tidak bekerja di bar itu, Anna pasti sudah memukul pria itu.

"Namamu sangat cantik, Nona," bisik pria tersebut.

Kedua tangannya mulai menjelajah di pinggang Anna.

"Bokongmu adalah hal yang paling aku suka," ucapnya lagi.

Anna menggigit bibir bawahnya, tangannya mengepal kuat. Dengan tenaga luar biasa yang entah datang dari mana, Anna melepaskan tangan pria itu dari pinggangnya, lalu berhasil lepas dari pangkuan pria tersebut.

"Jangan sok jual mahal Nona. Asal kau tahu, aku bisa memberikan apa pun yang kamu mau. Uang, mobil, barang branded, atau apa kau ingin rumah di perumahan elite?" Pria itu menawarkan banyak hal, tetapi tak ada satu pun, yang Anna sukai.

Semakin mendengar ocehan pria itu, semakin membuat Anna jijik. Apa tidak ada pria waras di dunia ini?

Tanpa mengatakan sepatah kata, Anna meninggalkan tempat itu segera.

"Mending aku di dapur aja, deh!" kesal Anna. Daripada menjadi waitres, Anna lebih berpengalaman dengan urusan dapur. Dia pandai memasak, memotong sayuran dengan cepat, dan dia juga bisa mencuci piring dengan bersih.

"Tidak bisa Anna," kata pria yang menjadi asisten chef tersebut.

"Kamu bintang di bar ini. Kalau bintangnya sembunyi di dapur, customer pasti pergi," sambungnya.

Yap, saat bekerja di bar tersebut, Anna sering mendapat pujian seperti itu. Dia adalah bintang, dia adalah icon bar. Tapi sungguh, Anna tidak menginginkan apa pun selain uang.

"Tapi—"

"Sudah-sudah. Kalau mereka bertindak keterlaluan, kami sendiri yang akan melawannya untukmu," ucap pria tersebut.

Namun Anna tak percaya, bukankah mereka mengatakan itu agar dia tetap bekerja sebagai waitres dan agar bar itu tetap ramai. Mereka memanfaatkannya, dan Anna tahu itu.

"Anna, kamu dipanggil Pak Bos!" Rekan kerja Anna memanggil. Mimik wajahnya tampak cemas dan khawatir.

"Sepertinya ada yang melaporkanmu dan mengatakan yang tidak-tidak," sambungnya.

Anna menarik napas panjang, dia pasti diomeli agar tidak melawan dan membiarkan customer melakukan apa yang mereka ingin.

Bukankah pemilik bar menganut paham, customer adalah raja!

Melangkah lesu, dan lemas, Anna segera menuju ke ruangan bosnya. Wanita itu mengetuk pintu beberapa kali, lantas masuk.

Baru menginjakkan kaki di ruangan itu, Anna sudah melihat pria yang tadi membuatnya jengkel.

"Iya, Pak Bos. Ada apa, ya?" tanya Anna dengan sopan.

Pria tambun dengan keringat seperti kran air itu menatap emosi, napasnya berat dan kembang-kempis.

"Kamu masih tanya ada apa, ada apa!? Lihat Tuan ini!" Tunjuknya pada pria itu.

Anna melirik sekilas, kemeja pria itu basah. Noda wine tak mudah hilang pada kemeja berwarna putih.

"Apa kamu tahu, harga kemeja itu setara dengan gaji kamu selama dua bulan!" Pria itu memekik. Dan seperti biasa, pria itu tak ingin mengeluarkan uang sepeser pun.

"Gaji kamu saya potong untuk mengganti kemeja Tuan ini!" lantang bosnya tanpa mendengar cerita dari sisinya lebih dulu.

"Tidak bisa seperti itu, Pak Bos. Apa hubungannya kemeja basah dengan gaji saya dipotong?!" Anna tak mengerti.

"Tentu saja ada. Karena kamu yang menumpahkan wine itu, dan sudah banyak yang melihatnya," pria itu mengusap dahi dengan sapu tangan.

Dahi Anna mengernyit, dia tak merasa telah melakukan hal yang dituduhkan. Dan bukankah pria itu yang membuatnya tak nyaman, harusnya pria itu yang dipolisikan atas tindakan yang tak pantas.

"Saya tidak pernah melakukannya, Pak Bos. Sumpah—"

"Diam, Anna!" sentak pria tambun tersebut. "Minta maaf sana sama Tuan ini!" Bosnya memaksa.

"Sebenarnya saya mengadu bukan untuk minta ganti rugi, Tuan. Saya tinggal membuang baju ini, dan beli yang baru," pria itu menatap Anna dengan seringai yang licik.

Dari wajahnya saja, Anna bisa menebak apa yang dipikirkan oleh pria itu. Pikiran yang menjijikkan, yang paling Anna benci.

"Saya hanya ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Anna," pria itu menatap pria tambun, seakan meminta pria itu segera meninggalkan kedunya.

Pria tambun itu paham, dia lantas berdiri. "Oh kalau begitu, silahkan berbicara dengan Anna, Tuan."

"Pak Bos!" Anna memekik, tak setuju dengan permintaan itu.

"Dia hanya ingin berbicara denganmu, Anna. Lagi pula, aku ada di depan. Tidak akan ada yang terjadi!" kata pria tersebut memahami kekhawatiran Anna.

*

"Apa kita sudah sampai?" Pria bertubuh kekar dengan tinggi 185 itu menatap jenuh.

Kenapa jalanan terasa begitu panjang?

Erick yang duduk di belakang kemudi, lalu membelokkan mobilnya.

"Kita sudah sampai Tuan," kata Erick.

"Wanita itu bekerja di sini, dan saya sudah memastikan kalau dia wanita yang tepat," tambah Erick.

Pria tua itu turun dari mobilnya, kemudian berlari membukakan pintu untuk tuannya.

Malik Adam, pria rupawan, matang secara lahir dan batin. Terkenal akan kesuksesan dan kekayaannya itu tiba-tiba datang ke bar kelas menengah ke bawah.

Langkahnya yang penuh akan kharisma langsung mengubah suasana fun, menjadi sedikit berat. Para wanita menatapnya kagum dan sangat excited, sementara para pria seakan terintimidasi dengan kehadiran pria kelas atas tersebut.

"Di mana dia?" tanya Malik seraya mengedarkan pandang, tetapi tak menemukan sosok yang dicarinya tersebut.