1 An Amazing Old Man

"Fuck!"

Wanita berbadan montok dengan ukuran bra 38 tersebut mengumpat pelan, setelah seorang pria dengan sengaja menyenggol bokongnya.

"Sssttt-ssstt!" Desisan serta siulan lalu menyertai ketika wajah wanita itu menampakkan senyum kepalsuan. Mungkin mereka pikir, wanita tersebut senang, tetapi yang sebenarnya, wanita itu benar-benar berusaha menahan diri.

Anna Laurent, nama wanita montok tersebut. Anna mengetahui dengan benar bagaimana bentuk tubuhnya yang bak gitar spanyol, dan dia juga tahu, dari sudut mana pun, jarak antara bokong dan pria itu cukup jauh. Jadi jelas, ini bukan kesalahan bokongnya yang besar, melainkan pria mesum itu memang sengaja melakukannya.

Namun, tak ada yang bisa Anna lakukan, wanita itu butuh pekerjaan, dan satu-satunya yang menerima wanita tamatan SMP hanya bar tersebut. Mau tak mau, Anna harus membiasakan diri dengan perlakuan pria-pria hidung belang itu.

"Aku mau pesan ini, ini dan ...." Pria itu menatapnya dengan tatapan genit, "Apa kamu ada waktu untuk saya?" tanyanya tiba-tiba.

Tangan Anna berhenti menulis, baru satu minggu dia bekerja di bar, dan tawaran eksplisit seperti itu sudah sering dia dengar.

"Baik, Tuan. Kalau begitu, saya permisi," Anna menyunggingkan senyum, kemudian berlalu dengan geram.

Menyerahkan daftar pesanan pada rekannya, Anna menyandarkan punggung pada dinding, mengistirahatkan tubuhnya sesaat. Sebenarnya Anna sudah menaruh beberapa lamaran pada toko-toko kecil, tetapi tak ada satu pun kejelasan.

"Apa ada yang membuatmu kesal lagi?" tanya rekan kerja Anna.

Sudah menjadi hal lumrah, gadis cantik memang selalu menarik perhatian pria.

Anna bersedekap dada, mendengkus, mengiyakan.

"Sabar," lontar rekan kerjanya tersebut.

Ya, apalagi yang bisa diucapkan selain kata sabar. Bagi wanita miskin seperti mereka, merendah sudah menjadi makanan setiap harinya. Melawan hanya akan menjadi perlawanan sia-sia.

"Sebentar lagi jam kerja kita selesai, kamu bisa bebas dari pria-pria itu." Wanita tersebut menyentuh pundak Anna, berusaha mengalirkan sedikit kekuatannya agar Anna tabah.

Sementara Anna bergeming, masih emosi dengan apa yang terjadi padanya.

Kenapa dunia ini tak adil? Tak hanya sering mendapat perlakuan yang menjengkelkan di tempat kerja, Anna pun sering dituduh sebagai wanita simpanan oleh tetangga-tetangganya.

Padahal Anna pulang malam karena memang jam kerjanya malam. Dan tuduhan itu tak ada hubungannya sama sekali dengan wanita yang pulang malam.

Satu jam yang menyiksa kemudian berlalu. Anna sudah berganti pakaian, kaos berukuran besar, celana jeans panjang dan flat shoes. Tak lupa pula memakai kacamata dan mengikat rambutnya. Penampilan Anna yang sekarang sangat berbeda dari penampilan saat bekerja. Jadi, tidak akan ada yang mengganggunya, begitulah yang dipikirkan wanita tersebut.

Berjalan melewati jalan setapak di belakang bar, Anna seakan menyusuri lorong yang begitu terang. Anna memang biasa berjalan di situ, menghindari keramaian.

Namun sepertinya ada yang berbeda malam ini, tampak tiga orang pria berdiri di bawah lampu, seakan menunggu sesuatu.

Anna menarik kacamatanya, berjalan mantap. Dengan penampilannya yang sekarang, hanya cowok cupu yang akan meliriknya, begitulah yang dia pikirkan, untuk kesekian kali.

"Anna!" panggil salah satu dari tiga pria tersebut.

Bahu Anna terangkat, 'Shit! Apa mereka memanggilku?' batinnya, yang jelas-jelas sudah pasti memanggil dirinya.

Di situ tidak ada lagi wanita, dan satu-satunya yang bernama Anna hanya dirinya.

Berusaha mengabaikan, Anna berjalan seolah dirinya bukan Anna, seolah dirinya adalah orang lain.

"Kamu semakin menggairahkan dengan kostum cupu seperti ini." Seorang pria tiba-tiba menghadang.

Detik selanjutnya, Anna terkepung. Di sisi kanan dan kiri, sudah standby dua pria. Lalu di depannya, satu pria yang setelah Anna lihat adalah pria yang memberinya tawaran eksplisit tadi.

"Anda salah orang," ketus Anna, seraya berusaha keluar dari kepungan tersebut.

"Apa kamu ingin memainkan permainan sok jual mahal?" Pria itu menahan lengan Anna.

Anna mendongak, menatap tajam pria di depannya. Sebisa mungkin, Anna menunjukkan wajah tenang. Meski dalam dadanya, wanita itu khawatir dan takut.

Apa yang dipikirkan pria itu seolah tersalurkan dengan baik ke dalam otak Anna, dia paham betul, apa yang diinginkan oleh pria itu, dan apa yang bisa pria itu lakukan jika Anna menolaknya.

Berpikir keras sampai ubun-ubunnya mendidih, mata Anna kemudian membelalak.

"Heii, tolong aku!" teriaknya, seolah ada seseorang yang ada di gang tersebut.

Tiga pria itu lengah beberapa detik, berpikir ada orang lain.

Anna pun berlari sekencang-kencangnya.

"Kejar dia! Cepattt!" perintah priaa tersebut.

Sementara Anna terus melaju cepat, tak peduli dengan teriakan pria-pria itu, tak peduli pada suara riuh kucing yang tengah kawin, saat ini, Anna harus selamat.

Brughh!

Tubuh Anna terpental, seorang pria berambut putih dengan tatapan garang tengah menatap Anna.

"Ada apa Nona?" Pria tua itu mengulurkan tangannya.

"Heii, itu dia!"

Bersamaan dengan itu, tiga pria yang mengejarnya, berhasil menyusul Anna.

Anna langsung bersembunyi di balik punggung pria tua tersebut.

"Apa tiga pria ini mengganggu Anda, Nona?" tanya pria tua tersebut.

"Iya, Pak," jawab Anna dengan napas yang tersengal-sengal. Keringat mengucur deras di dahinya.

"Hei, Pak Tua, pergilah. Kami tidak ada urusan denganmu," teriak pria berhodie merah.

Pria yang dipanggil Pak Tua itu tampak tak takut, tak gentar sama sekali. Dia bahkan menatap tajam satu per satu pria muda di depannya.

"Jangan ganggu Nona ini," pintanya dengan baik-baik.

"Hahahaha, sepertinya Pak Tua ini memang ingin mati!"

Hyaattt!

Satu pria langsung maju menyerang. Anna menunduk, menutup matanya tajam-tajam.

'Oh tidak! Bagaimana kalau Kakek itu sampai kenapa-napa?' batin Anna khawatir.

Bak-buk-bak-buk!

Suasana gaduh, seketika hening.

Aura yang menunduk ketakutan, semakin khawatir. 'Bagaimana kalau Kakek itu sampai mati?'

Perlahan, Anna membuka matanya. Tak ada siapa-siapa di depannya, tiga pria itu hilang entah kemana. Hanya ada pria tua yang menolongnya tadi.

"Anda sekarang baik-baik saja, Nona," ucap pria itu dengan suara yang lembut dan berat.

Hebat!

Saking takjubnya, Anna tak bisa berkata apa-apa. Dia menatap pak tua itu, lalu berpikir keras. Apakah pak tua itu memiliki ilmu bela diri? Apakah dia keturunan bruce lee?

"Pertolongan ini tidak gratis Nona," pria itu mengeluarkan kartu nama dari saku jasnya.

"Anda harus mau menikah," tambahnya.

"Me-menikah?" Mata Anna mengerjap tak percaya.

Dalam hati, dia tidak ingin menikah dengan pria tua tersebut. Apa kata dunia jika wanita montok, muda dan cantik sepertinya menikah dengan pria tua tersebut?

Tidak-tidak! Anna ingin segera menolaknya. Lagipula, pernikahan bukan hal yang bisa dibicarakan di lorong yang dekat dengan tong sampah, dan Anna juga masih punya ibu juga adik-adik. Jika dia menikah, setidaknya, pria itu harus memint restu dari keluarganya lebih dulu.

"Ta-tapi, Pak, saya—"

"Saya akan menjemput Nona besok. Dan bicarakan ini segera dengan keluarga Nona." Tanpa banyak pembahasan, pria itu melangkah, meninggalkan Anna.

"Tunggu dulu, Pak." Anna berusaha mengejarnya, tetapi Pak Tua itu sudah masuk mobil.

Wanita itu tertegun dengan selembar kartu nama yang bertuliskan Erick Iskandar.

"Hhahahahaha," Anna tertawa, lalu memasukkan kartu nama itu ke dalam saku celananya. "Pria itu punya humor yang nggak lucu sama sekali."

avataravatar
Next chapter