webnovel

68. Penyesalan yang selalu datang di akhir

Desi meremas sendok yang dipegangnya. Bagaimana mungkin Desi melakukan hal sekejam itu pada anaknya kemarin sore? Desi pasti sudah gila.

Sekarang Desi khawatir dimana keberadaan anak perempuannya itu. Desi sudah bertindak kelewatan, hanya karena Arya memanfaatkan berkas kesehatan Lily, Desi menyakiti anaknya tanpa mendengarkan penjelasan dari sudut pandangnya.

Desi merasa, seolah-olah dirinya-lah yang paling terluka atas semua kejadian yang terjadi. Desi lupa, kedua anaknya ini pasti lebih tersakiti, ditambah mereka sama sekali tidak memiliki sandaran sebagai seorang anak.

"Ma, kenapa gak makan?" Tanya Aster menyadari kediaman mamanya.

"Cuma... lagi gak nafsu aja."

"Mama pasti khawatir sama Kak Lily ya?" Desi menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya.

Desi mengangguk.

"Terus kenapa mama lakuin hal kayak gitu kemarin?"

"Mama juga gak tau Ter. Sekarang mama juga gak tahu harus bagaimana. Yang jelas mama ngerasa bersalah dan menyesal sudah melakukan hal itu." Desi memegangi kepalanya yang terasa hampir meledak. Desi adalah pondasi rumah ini, maka Desi harus bisa berdiri dengan tegak agar kedua anaknya tidak ragu untuk bertumpu padanya.

"Makanya jangan ngelakuin hal yang bikin mama menyesal. Kenapa gak dengerin penjelasan kakak dulu?"

"Mama gak ngerti, rasanya mama sangat marah kepada seluruh dunia karena memberi mama banyak kesedihan." Desi terdiam cukup lama. "Kakak kamu sekarang gimana ya? Semalem tidur dimana?"

"Mama tenang aja, Kakak ada dirumah Tante Ida." Sinar cerah muncul dari mata Desi. Ia sangat bersyukur, Ida mau menampung anaknya. Desi kembali menunduk dalam, memikirkan setiap hal tentang Lily yang melintasi otaknya.

"Mama ngelakuin kesalahan besar ya Ter?" Aster tersenyum kearah mamanya.

"Udah terjadi juga ma. Gak usah disesali. Sekarang mending mama koreksi kesalahan mama. Aku tahu kak Lily memang salah karena nyembunyiin itu semua dari mama. Tapi pernah gak mama berfikir kalau Kak Lily sebenernya udah hancur banget."

"Mama tahu."

"Kak Lily mungkin bingung harus lari kemana ma, makanya kak Lily mau ketemu sama dokter kenalan selingkuhan papa. Ada banyak alasan yang bikin kak Lily pengen tetep waras. Salah satunya, cuma ingin ngurangin beban mama dengan membuat mama gak khawatir soal kakak." Desi mengusap air matanya.

"Kamu juga Ter. Kalau ada masalah jangan disembunyiin. Bilang sama mama. Jangan seperti kakak kamu. Gimanapun kalian anak mama, mama akan berusaha melakukan yang terbaik untuk kalian."

"Makasih ma. Tapi mama gak usah khawatir sama Aster. Lebih baik mama sekarang berangkat kerja, kasih waktu buat Kak Lily dulu. Nanti pulang kerja baru deh bicara sama Kak Lily." Desi menggenggam tangan anaknya penuh kasih sayang.

"Makasih ya Aster. Mama gak tahu bakal jadi kayak gimana kalau gak ada temen bicara." Aster tersenyum, tidak ada yang lebih penting baginya lebih dari kakak dan mamanya. Aster berjanji dalam hatinya, tidak akan membiarkan keluarga yang sudah tidak utuh ini kembali kehilangan anggota keluarga lagi.

Biarkan saja tangan dan kakinya yang kotor, asalkan mama dan kakaknya bisa tersenyum kembali.

*

Anak laki-laki berseragam SMP itu terus menekan bel rumah mewah tanpa henti. Sesekali memainkan bel itu hingga membentuk nada lagu anak berjudul abang tukang bakso.

Gita melihat melalui intercom didalam rumahnya, siapakah anak berwajah asing ini? Sangat usil hingga membuatnya sakit kepala.

"Kenapa tidak kau bukakan pintunya?" Gita menoleh, mendapati calon suaminya sudah berdiri dibelakangnya.

"Hanya orang iseng kok sayang, kita biarkan saja." Tangan Gita yang hampir menutup layar intercom itu ditahan oleh Arya.

"Tunggu, bukakan pintu untuknya."

"Apa?! Kau mau membiarkan anak usil itu masuk?"

"Anak usil itu anakku."

"Anak?" Arya menghembuskan nafas kesal.

"Anak keduaku. Adiknya Lily."

Gita terkejut bukan main. "Astaga! Maafkan aku ya sayang, aku gak menyadarinya." Ucap Gita sembari menekan tombol untuk membuka pintu.

Gita memukuli kepalanya sendiri sembari mengikuti Arya dari belakang. Gita sangat bodoh.

Hal pertama yang Arya lihat dari tatapan anaknya adalah kemarahan. Berbeda dengan dirinya yang sangat merindukan anaknya.

Aster menepis tangan ayahnya yang hendak memeluknya. Dengan menelan rasa malu dan sopan-santunnya Aster langsung duduk disofa ruang tamu mewah itu.

Gita yang melihatnya merasa kesal denga tingkah Aster, sedangkan Arya hanya terdiam mengikuti anaknya duduk.

"Kamu gak sekolah?" Tanya Arya menyadari sekarang adalah jam pelajaran seharusnya masih berlangsung.

"Gak usah sok peduli!"

Arya menghembuskan nafasnya sabar. "Kok kamu tahu ayah ada disini?"

Aster tersenyum miring. "Nemu dipaket bola basket dari yang papa kirim."

"Kamu kirim bola basket pakai alamat rumah ini sayang?!" Ujar Gita tak terima karena Arya belum sepenuhnya melepaskan masa lalunya. Gita akui tidak masalah jika Arya ingin memenangkan hak asuh anak, tapi tidak dengan Gita.

Gita tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Gita bahkan tidak menyangka, bahwa Arya menggunakan berkas kesehatan Lily yang didapatkannya dari Mita.

Tidak masalah jika kedua anak itu sesekali mengujungi ayahnya, tapi untuk tinggal bersamanya, Gita tidak menyetujuinya.

"Tolong buatkan kopi susu kesukaan Aster." Gita menatap Arya kesal, namun tetap saja kakinya melangkah menuju dapur.

"Ada apa kesini? Kau butuh sesuatu?"

"Aku kesini cuma mau kasih papa peringatan. Jangan rebut aku ataupun Kak Lily dari mama. Jangan kira kita mau tinggal lagi sama papa yang udah nyakitin kita." Arya tersenyum, tapi hatinya perih saat tahu anaknya belum bisa memaafkannya.

"Papa minta maaf Ter."

"Papa kalau mau pergi, pergi aja sekalian yang jauh. Tapi jangan paksa aku maupun Kak Lily buat ikut sama papa." Aster membuka tasnya dan membanting bola basket yang sama sekali belum pernah digunakannya itu.

"Sama kayak papa nolong Kak Lily, siapa tahu papa bakal manfaatin pemberian papa ini!"

"Aster, papa gak ada maksud seperti itu."

"Udahlah pa. Papa jangan ganggu kita lagi." Arya meraih bola basket itu dan meletakkannya dihadapan anaknya.

"Terima ya Ter."

"Apa papa gak mikir gimana rasa sakitnya mama karena papa tinggalin? Dan ya sekarang papa nambah rasa sakit itu karena mau rebut aku sama kak Lily dari mama. Papa benar-benar gak tahu malu!"

Prak!

Mata Aster dan Arya beralih pada Gita yang meletakkan nampan keatas meja dengan sedikit keras.

"Sebenernya apa yang tante lihat dari papa aku sih? Lihat deh papa ini udah tua, gak punya duit dan suka nyakitin keluarganya. Sedangkan tante masih cantik, muda dan punya duit banyak. Kenapa harus papa aku?!" Ucap Aster dengan kemarahan yang sudah meluap-luap.

"Aster! Jaga bicara kamu!" Tidak menghiraukan peringatan papanya. Aster terus menunggu jawaban dari selingkuhan papanya ini.

"Entah, tante juga gak tahu." Aster tersenyum kecut kemudian segera bangkit dari duduknya. Matanya menangkap bola basket diatas meja dan tumpukan undangan pernikahan disamping bola basket itu.

Aster tertawa sinis. "Baiklah, semoga kalian hidup bahagia sampai akhir dan jangan ganggu keluargaku lagi."

Aster melangkah pergi dari rumah itu, mengabaikan teriakan papanya yang terus memanggil namanya.

Arya tak menyangkal, hatinya sangat sedih mengetahui bahwa dirinya sudah tidak termasuk dalam kata keluarga yang Aster sebutkan.

Jangan lupa power stone yAw!

Xie xie

Chuuby_Sugarcreators' thoughts
Next chapter