webnovel

Perasaan Aya

Aya tidak berani menyapa Ara yang sepertinya masih marah dengannya. Ia segera duduk di samping Ara di atas tempat tidur, namun tetap membuat jarak. Ara yang sadar dengan kedatangan Aya hanya diam dan melanjutkan mengetik pekerjaannya di note book yang sedang dipangkunya.

Ia mendiamkan Aya sedari siang hingga malam ini. Ia tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh istrinya. Ia tidak menyangka istrinya akan mencari cara agar bisa tidak berhubungan intim bahkan mencari cara agar bisa tidak hamil dengannya. Sedangkan ia sangat menginginkan seorang anak sebagai penerusnya.

Aya mulai gelisah karena didiamkan oleh Ara. Ia mencari cara agar bisa berbicara dengannya dan menjelaskan tentang buku yang ditemukan oleh Ara siang tadi.

"Ehem" suara Aya berusaha menarik perhatian suaminya.

Ara tidak bergeming sedikitpun. Ia tetap fokus pada note booknya. Ia ingin melihat sejauh mana istrinya itu merasa bersalah.

"Mas, aku minta maaf. Aku mau jelasin tentang buku itu." Aya mulai berbicara dan tangannya pelan-pelan menyentuh tangan kiri Ara yang sedang memegang note book.

Ara menghentikan ketikannya dan ia menoleh melihat Aya dengan tatapan yang sinis tanpa senyum. Aya menjadi ragu hendak memulai menjelaskan dari mana. Ia terlanjur takut melihat ekspresi pada wajah Ara.

Hening sesaat. Ara menunggu penjelasan Aya. Namun Aya belum juga melanjutkan. Ara menaikkan sebelah alisnya tanda meminta penjelasan segera.

Aya menarik nafas dan mengatur nafasnya dengan baik. Aya tersenyum sebelum mulai menjelaskan.

Ara sempat terkesima dengan senyuman Aya. Ara betul-betul tidak bisa menahan diri bila melihat Aya tersenyum dengan manis. Namun kali ini ia memantapkan hati agar tidak tergoda dengan kecantikan Aya.

"Aku tahu aku salah. Seharusnya kamu juga tahu alasan aku membaca buku itu. Pernikahan kita ini suatu paksaan buatku. Aku belum siap tapi aku harus melakukan ini semua. Oke aku menikah dengan kamu. Tapi aku enggak siap untuk berhuhungan intim apalagi mempunyai anak. Aku belum mau mas. Aku masih harus memantapkan diriku dulu. Aku harus mencintai kamu dulu baru melakukan itu. Tapi kamu duluan memaksa aku untuk berhubungan malam itu. Aku semakin takut rencana-rencanaku berantakan mas. Tolong kamu mengerti ini." Jelas Aya dengan suara yang sempat terputus-putus karena ia menahan tangis.

"Rencana?? Rencana apa??" tanya Ara dan menarik tangannya dari genggaman Aya. Ia melipat kedua tangannya di depan dada.

"Seperti yang aku bilang tadi. Aku maunya ada proses mas. Mulai dari aku bisa menerima kamu, mencintai kamu, barulah kita bisa melanjutkan berhubungan dan mempertimbangkan untuk memiliki anak. Tapi karena hampir semua sudah kamu lakukan dan itu tanpa kemauanku, aku merasa rentetan rencanaku tidak berhasil mas."

Ara menatap dalam-dalam mata Aya. Ia tahu, istrinya itu tidak berbohong. Seperti yang dirasakannya sebelumnya, ia kasian dengan istrinya, karena harus hidup terpaksa dengan dia. Tapi ia tidak bisa memungkiri, ia rela berlaku egois karena ia benar-benar mencintai dan menginginkan istrinya.

Ada hening di antara mereka. Tidak ada yang memulai berbicara. Ara hanya menatap Aya yang sudah menundukkan wajahnya.

Didekatkannya tubuhnya ke tubuh Aya. Dipeluknya Aya dengan erat. "Aku juga minta maaf. Aku akan selalu minta maaf karena membuatmu harus hidup denganku." Diciumnya puncak kepala istrinya itu.

Malam itu dipenuhi dengan obrolan mereka seputar bagaimana memperbaiki hubungan mereka. Aya akan berusaha untuk bisa mencintai Ara.

👫💓👫💓👫

Keesokan harinya, seperti biasa Aya membuatkan sarapan untuk suaminya. Ia berusaha untuk bisa membuka hatinya untuk Ara. Saat Ara datang dan duduk di meja makan, ia tersenyum lalu menemani suaminya itu sarapan.

Ara agak terkejut dengan perubahan Aya. Tapi ia tidak berani bertanya atau terlihat bersikap terkejut. Ia berpura-pura seakan-akan ini sudah biasa. Ia khawatir Aya akan kembali ke sikapnya semula jika ia mempertanyakan itu.

Mereka sarapan sambil berbincang-bincang seputaran pekerjaan Ara.

👫💓👫💓👫

Ara sangat bersemangat turun ke kantor. Seperti kebiasaannya, ia selalu bersiul dan bersenandung lagu-lagu kesukaannya apabila ia sedang bahagia. Teman-teman maupun anak buahnya di kantor juga ikut senang melihat Ara begitu ceria. Karena ini akan memudahkan mereka apabila berhadapan dengan Ara saat suasana hatinya sedang baik.

Sony mendatangi Ara di ruangannya. "Wow, sepertinya ada yang bahagia nih..." tanya Sony dengan senyum lebar.

Tak jauh lebarnya seperti senyuman Sony, Ara pun tersenyum sangat lebar menjawab pertanyaan sahabatnya itu. "Aku enggak tahu kenapa bisa" dengan terkekeh dan tertawa yang tidak bisa ditahannya. "Aya mulai merubah sikapnya ke aku. Sepertinya ia mulai luluh."

"Oh iya kah?? Secepat itu??" Sony memajukan kepalanya, mengamati wajah Ara dari dekat.

"Apa maksudmu!!?? Apanya yang cepat. Ini sudah berapa lama !!!" Sewot Ara dengan menyandarkan tubuhnya ke kursi.

"Aha.. Bercanda kawan" sambil mengibaskan tangannya. "Sukur deh kalau ada perubahan dari Aya. Sering-sering menghabiskan waktu berdualah kalian."

"He em... Maunya aku sih ngajak dia bulan madu. Kemarinkan dia belum mau. Mudahan aja kali ini dia bersedia." Pandangan Ara menerawang.

"Mudahanlah sob, kudoakan. Eh ngomong-ngomong, kamu akrab kah sama Isma, temannya Aya yang kemarin itu? Ada nomor hapenya kah?" Tanya Sony dengan cengiran khasnya.

Pandangan Ara kembali ke Sony. Pandangannya menyelidik. "Memangnya ada apa dengan Isma? Buat apa kamu minta nomor hapenya?"

Sony hanya cengar cengir tidak jelas yang membuat Ara menjadi curiga.

*

*

@@@#@@@#@@@

Salam

SiRA.