"Den Babas lagi ulang tahun, ya? Dari kemaren ibu liat bayarin makanan temennya mulu, lho." Babas menyengir menanggapi ucapan Endang, penjual pempek terenak menurutnya yang pernah ia makan selama ini.
"Hukuman ini, bu. Kalah main dia, mana kecebur kolam lagi. Cemen emang anaknya," ejek Kagendra.
"Bacot kali kau," sinis Babas.
"Bu Endang.. minta kuahnya lagi ya?" pinta Langit.
Wanita itu mengangguk. "Eh, sini Den. Ibu ambilin aja." Tanpa menunggu persetujuan Langit, ia mengambil alih piring di tangan Langit lalu beranjak menuju stand pempek miliknya. Tak lama ia kembali dan menyerahkan piring yang sudah terisi kuah pempek kepada pemuda itu.
"Bas, gimme your money. Mau beli lemon tea."
Babas mengibaskan tangannya, tenggorokannya masih berusaha menelan pempek di mulutnya. "Pesen aja, nanti pulang sekolah gua bayar sekalian."
"Dave aku mau, tolong sekalian ya," pesan Michaella ketika Dave mulai beranjak dari duduknya.
Sesaat setelah Dave pergi, Bu Endang segera menempati tempat yang kosong itu. Tempat di samping Langit. Menyangga kepalanya dengan satu tangan di atas meja, memandangi pemuda yang sedang makan pempek itu.
"Aduh, Den Langit. Kok bisa ganteng banget ya?" Look! Untuk beratus-ratus kalinya Bu Endang kembali memuji paras rupawan Langit. Wanita itu memang dikenal mengagumi sosok Langit yang menurutnya sangat dewasa. Tak tanggung-tanggung ia bahkan menamai putranya yang baru lahir 8 bulan yang lalu dengan nama pemuda itu.
"Bu Endang puji Langit mulu. Saya dong sekali-sekali. Saya kan juga gak kalah ganteng." Kagendra menyugar rambutnya, berusaha menebar pesona di depan Bu Endang. Namun, bukannya si target utama yang terpincut, para siswi yang melihatnyalah yang salah tingkah.
"Gak. Jamet, playboy, sok kecakepan." Kagendra tertohok mendengar jawaban Bu Endang. Sungguh jahat.
Seorang siswa datang menghampiri mereka. "Woi, Gen! Cewe lu ada yang gelud tuh."
Pemuda itu menelan mie ayam di mulutnya. "Biarin aja. By the way, thanks infonya."
"Nanti kalo guru tau, lu masuk BK bego Gen," ujar Babas.
"Oh iya! Ok gua mau kabur. Kalo ada yang nanya, bilang gak tau." Kagendra berdiri dan mulai melangkah. Namun, baru satu langkah menjauh, ia kembali duduk di tempatnya. "Abisin dulu deh, masih laper gua."
"Weh itu di depan kelas 10-IPA 3 ada apaan sih? Rame banget tadi," ucap Dave yang baru datang dengan dua cup lemon tea di tangannya dan menyerahkan cup yang masih penuh kepada Michaella.
Salah satu tangannya terangkat, membuat gerakan menolak sambil tersenyum ketika Bu Endang ingin bangkit dari duduknya agar ia bisa menempatinya kembali. Langit menatap horor Dave. Harusnya pemuda itu membiarkan wanita di sebelahnya ini untuk pergi. Ia risih ditatapi terus.
"KAGENDRA! MANA KAGENDRA?!"
Ohok! Ohok!
Kagendra yang sedang menyeruput kuah mie ayamnya tersedak. Teman-teman yang ada di sampingnya segera menepuk-nepuk pundak pemuda itu dan memberikan minum. Pasti sangat menyakitkan. Tersedak kuah mie ayam bewarna merah, sangat pedas. Wajah pemuda itu berubah merah dalam sekejap. Bu Endang pun ikut panik. Ia menepuk-nepuk pelan dada Kagendra.
"OH DI SINI KAMU KAGENDRA! ITU–"
"BERISIK! INI TEMEN SAYA LAGI KESELEK! KALO DIA MATI MAU TANGGUNG JAWAB?" bentak Ziel kesal.
Pak Bams terdiam. Dengan perasaan agak takut ia melewati Ziel menuju Kagendra. Ia membantu menepuk-nepuk punggung Kagendra.
"Aduh Kagendra, kok bisa keselek gini?"
"Gara-gara bapak ini," ketus Allya.
"Tau, bapak sih. Orang Gendra lagi minum kuahnya, bapak teriak-teriak kan dia kaget. Keselek jadinya," tambah Babas. Ia menunjuk mangkok mie ayam di atas meja.
"Parah ni Pak Bams. Kalo Gendra kenapa-kenapa gimana? Tanggung jawab." Michaella ikut menyudutkan Pak Bams membuat pria itu merasa tambah bersalah.
"Aduh, maafin bapak ya, Gendra. Aduh, gimana ini.."
Dave memberi kode melalui matanya kepada Kagendra. Detik itu juga tubuh Kagendra menjadi lemas dan terkulai. Pak Bams tambah panik. Ia pun menyuruh Dave dan yang lainnya untuk membawa Kagendra ke UKS.
~~~
Pemuda yang sedang terbaring di ranjang UKS itu membuka satu matanya. Ia terlihat waspada melihat keadaan sekitar. Untung hanya ada Dave, selaku anggota PMR di sana.
"Minum, Dave." Pemuda berganti posisi menjadi duduk. Ia mengambil teh manis hangat yang disodorkan Dave.
Dave menutup kotak teh lalu menaruhnya ke tempat semula. "Jangan makan goreng-goreng dulu. Tenggorokan lu sakit, kan?"
"Dikit."
Suara ribut di depan pintu membuat Kagendra was-was. Pemuda itu segera berbaring lagi dan memasang wajah tak berdaya. Tak lama pintu terbuka menampilkan lima orang yang berhimpitan untuk masuk terlebih dahulu.
"Bangun woi! Gak usah pura-pura di depan kita." Babas menaiki tubuh Kagendra dan menggoyang-goyangkannya.
"Ada tugas, nih." Langit melempar buku tulis Kagendra yang ditangkap dengan sempurna oleh pemuda itu.
"Kok lu pada boleh ke sini?" tanya Kagendra dengan suara sedikit serak diakhir. Ia berdehem untuk melegakan tenggorokannya yang gatal.
"Guru rapat," jawab Ziel.
"Oh."
"1 B, 2 C, 3 A, 4 A, 5–"
"Eh, tunggu-tunggu Ngit, gua belom." Dengan cepat Kagendra membuka buku tugasnya.
"Gua ulang. 1 B, 2 C, 3 A..."
Lima belas menit telah berlalu. Mereka sudah menyelesaikan setengah dari tugas yang diberikan. Di pojok UKS, Dave dan Babas sedang asik bermain game di ponselnya. Umpatan tak jarang keluar dari mulut mereka tatkala kurang puas dengan permainan team matenya.
"Allya, mau kemana?" tanya Michaella ketika Allya membuka pintu UKS. Gadis itu tak menjawab, ia melengos pergi tak menghiraukan pertanyaan Michaella dan tatapan bertanya dari yang lainnya.
"Allya lagi kenapa sih?" tanya Langit heran.
"Tadi gua nanya soal juga di jawabnya ogah-ogahan, lama lagi," tambah Dave.
"PMS kali," celetuk Kagendra.
Babas melempar kertas yang diremas hingga berbentuk bola ke arah kaki Ziel. "El, kenapa tuh si Allya? Lu sebagai orang terdekat–"
"Gak tau, dia juga diemin gua." Ziel bangkit dari duduknya lalu membuka pintu UKS.
"Mau kemana?" tanya Langit.
"Nyusul." Dan setelah itu pintu tertutup.
Kagendra maju ke tengah mendekati kelima orang lainnya. "Mereka emang serasi gak sih? Kemarin Allya yang nyusul Ziel, sekarang Ziel yang nyusul Allya."
"Ya emang. Baru nyadar lo?" sewot Babas.
"Tapi kan, Ziel nganggep Allya sahabat doang?"
Michaella mulai tertarik dengan pembicaraan ini, apalagi setelah mendengar ucapan Langit. Ia pun berpindah tempat duduk, mendekati mereka.
"Ya gak tau juga sih. Tapi, dalam persahabatan antara cowo sama cewe gak mungkin gak ada perasaan di antara mereka kan?"
Kagendra menjentikkan jarinya. "I know right." Ia bersependapat dengan Dave.
"Eh, aku mau nanya dong." Michaella mulai membuka suara. "Alasan kalian larang aku manggil Ziel 'Bian' itu.." gantung Michaella.
"Ziel gak suka dipanggil 'Bian'. Karena yang boleh panggil dia dengan nama itu cuma 'orang kesayangannya' itu doang." Terdengar nada keraguan diakhir kalimat dari penjelasan Langit karena minimnya informasi tentang hal ini. Bisa dimaklumi dengan sifat Ziel yang cenderung cuek dan tak banyak omong.
"Orang kesayangan?" tanya Michaella memastikan.
"Sahabat? Kalo gak salah. Walau udah temenan sama dia 6 tahun juga kita gak banyak tau tentang itu," jawab Babas.
"Yang pasti, 'dia' pergi 10 tahun yang lalu," tambah Dave.
~~~
"Hey." Tangan pemuda itu berhasil menangkap tangan gadis di depannya. Ia membalikkan tubuh gadis itu menghadap ke arahnya.
"Kenapa lagi?" tanya pemuda mencoba untuk bersikap lembut.
"..."
"Jawab." Memang pada dasarnya pemuda ini tidak bisa untuk bersikap lembut. Alhasil ucapannya barusan malah terasa mengintimidasi.
"Al–"
"Ngomongin apa kemarin sama Ella?" gadis itu mulai membuka suaranya.
"Walau aku gak denger, tapi gerak-gerik kalian– kalian kayak udah kenal lama."
"Jawab Ziel!"
Ziel menghembuskan napasnya. "Nothing."
"Ziel.."
"Kita gak ngomongin apa-apa. Aku cuma ngerasa aku harus lebih ramah aja. Apalagi dia udah masuk circle kita."
"Tapi gak sedeket itu," kekeh gadis itu.
"Terus kamu maunya gimana?" Ziel tidak mengerti dengan Allya akhir-akhir ini. Lebih sensitif.
"Kamu boleh ramah sama dia, tapi gak sedeket itu juga. Kamu ngerti kan?"
"Sama aku aja gak sedeket itu.." lanjutnya dengan suara kecil.
Ziel terkekeh. Tangannya terangkat mencubit pipi kiri Allya. "Oh, jadi cemburu?" godanya.
"N-nggak."
"Oh, ya udah. Ayo, balik." Allya mengerutkan dahinya, tak puas dengan respon Ziel.
"Aku cemburu! Aku gak suka kamu deket sama cewe lain. Kamu cuma boleh deket sama aku.."
Ziel tersenyum. "Aku tau." Ia mengelus puncak kepala gadis itu. "Jadi ngambeknya udahan, ya? Kasian yang lain kamu diemin gitu. Ayo!"
Allya mengangguk. "Janji gak bakal sedeket itu sama cewe lain?"
"Jan–"
PRANG!