webnovel

Am I Normal?

HI! BANTU AKU UNTUK MENGOLEKSI BUKUKU YANG LAIN, YA! *^O^* Youichi Haruhiko menyukai seorang pria bernama Takayashi Daiki di sekolahnya, yang berada di kelas berbeda darinya. Sudah cukup lama, sejak mereka masih di tahun pertama hingga mereka lulus dan berlanjut pada jenjang perkuliahan. Awalnya, ia hanya dapat memandangi orang yang ia sukai dari kejauhan dan hanya dapat menyukainya dalam diam semata. Ia tidak mempunyai nyali untuk berbicara dengannya atau bahkan menyatakan perasaannya. Menurutnya sangat mustahil untuk dilakukan! Hingga, suatu keadaan yang bertolak belakang dengan pemikirannya terjadi dan membuat mereka dapat saling berbicara, juga dapat lebih tahu mengenai sikap yang tidak diduga-duga dari orang yang disuakainyabanya! Namun, sangat sulit bagi Haru. Orang yang ia sukai adalah seorang yang tidak dapat mengutarakan isi hati sebenarnya dan membuat Haru serasa terombang-ambing dalam hubungan yang tidak pasti. Ingin mundur, tetapi ia sudah terlalu jauh melangkah. Ingin tetap maju, tetapi hubungan tak pasti bukanlah hal yang membuatnya senang walau perasaannya masih terus mencintainya. Jadi, bagaimana selanjutnya? Naskah: Maret, 2018 Dipublikasikan: WP (September, 2018) dan WN (Agustus, 2019)

Mao_Yuxuan · LGBT+
Not enough ratings
45 Chs

Malam Natal (2)

Perlahan, Haru pun mulai berjalan mendekati Daiki yang masih menundukkan kepala, dengan senyuman lebarnya untuk mencairkan suasana sembari menggumam pelan: "Daiki, jangan bersikap seperti itu. Kau membuatku takut".

Melihat Daiki yang bertingkah sama seperti setahun lalu; seperti saat Daiki mengatakan hal yang begitu menyakitkan kepada Haru; membuat Haru mencemaskan hal yang bisa saja terulang kembali seperti waktu itu.

Akankah perasaan optimisnya berakhir menyedihkan seperti dulu?

Namun, walau dengan perasaan tidak karuan karena sebuah rasa kekhawatiran, Haru berusaha untuk dapat menutupi perasaan itu dengan hanya tersenyum lebar seperti biasa.

Saat ini, tidak ada hal yang dapat dilakukannya selain menutup-nutupi perasaan sebenarnya. Hal itu dilakukannya, hanya agar tidak membuat suasana menjadi lebih kaku, seperti seorang yang baru mengenal orang baru. Padahal, Haru sendiri bukanlah seorang yang seperti itu.

"Oi, Daiki, ada apa? Kau tak apa? Apa kau baik-baik saja? Kau sehat?" Tanya Haru ketika telah berada di hadapan Daiki, dengan tangan kanannya menyentuh bahu Daiki sembari terus tersenyum kepada Daiki yang sedang menunduk.

"Kau tak apa? Apa kau baik-baik saja?" Tanya Haru sekali lagi.

Daiki pun mengangkat kepalanya. Dan kedua matanya menatap Haru seperti hendak mengatakan sesuatu.

Kali ini, tatapannya tidaklah dingin seperti biasa. Hanya ada rasa gelisah pada kilauan yang terlintas pada kedua matanya yang melengkung indah.

[ … ]

Setelah beberapa detik tak ada yang saling berbicara [ ... ] tepatnya, menunggu Daiki berbicara, naluri Haru sebagai seorang yang selalu menjadi yang pertama untuk memulai suatu pembicaraan pun muncul dengan sendirinya. "Daiki? Seperti masa lalu, bukan?"

Mata Haru menyapu kesegala arah seperti mencari-cari sesuatu di tempat itu. Dan berhenti ketika melihat bola basket yang tergeletak begitu saja di sudut pagar lapangan. Haru pun lanjut berkata: "Mm, malam ini adalah Malam Natal. Apa kau ingin melakukan satu pertandingan sebagai perayaan Natal malam ini? Jika kau mengalahkanku, aku akan memberitahumu sebuah rahasia yang sebenarnya, aku sendiri tidak ingin kau sampai mengetahuinya. Tapi, jika kau kalah, kau harus menjawab satu pertanyaan dariku dengan jujur. Hanya satu. Tidak banyak. Bagaimana?" Haru tersenyum dengan maksud menggoda Daiki. Dan berharap, Daiki berhenti menunjukkan tatapan yang tidak menyenangkan itu.

Jujur saja. Haru lebih menyukai tatapan dingin dari seorang yang memang dingin sepertinya daripada ia harus melihat tatapan Daiki saat ini. Begitu tidak enak dipandang. Suram dan begitu gelap. Haru tidak menyukainya. Pikirnya, serasa menatap orang yang berbeda. Begitu aneh baginya.

Ya. Benar saja. Perkataan Haru berhasil mengubah ekspresi dari raut wajah Daiki seketika. Dingin. Sebagaimana biasanya. Tetapi, Daiki yang terlahir dengan 'sedikit bicara' juga belum menanggapi perkataan Haru yang sedang menggodanya. Namun, melihat Daiki dengan mengerutkan kening juga sudah cukup untuk menjelaskan perasaan Daiki yang sebenarnya, bahwa bagi Daiki, perkataan Haru tidaklah lucu sama sekali. Jangankan untuk sekedar tertawa, segaris senyuman tidak terlihat pada raut wajahnya saat ini.

Kemudian, Haru melirik bola basket yang tergeletak di sudut lapangan sembari melepas kaos tangan yang dikenakannya, dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya sebelum pergi untuk mengambil bola basket tersebut, dengan berlari-lari kecil, setelah beberapa detik menunggu tanggapan yang tak kunjung diberikan oleh Daiki. Lalu, ia kembali dengan memainkan bola basket tersebut di tangannya—memantul-mantulkannya di atas lapangan saat berjalan menuju Daiki yang saat ini juga sedang menatapnya.

Ketika Haru sudah berada di tempat sebelumnya, ia pun berkata: "Bagaimana? Lapangannya juga tidak terlalu licin saat ini. Jadi, menurutku akan baik-baik saja jika kita bermain di sini. Sepertinya, baru-baru ini, sudah ada orang baik yang membersihkan lapangan ini dari tumpukan salju. Terima kasih untuk orang baik hati itu. Hahaha... ha... ha... hmm".

Haru menggaruk-garuk tempat di kepalanya yang tidak serasa gatal karena merasa kikuk sebab telah diabaikan.

[ … ]

Kemudian, tiba-tiba kepala Haru menemukan ide yang membuatnya tersenyum dengan maksud tertentu. "Apa kau tidak ingin mengetahui rahasia yang kusembunyikan selama ini? Atau kau hanya takut dengan pertanyaan yang akan kuajukan jika aku mengalahkanmu nanti?" Lanjutnya untuk memprovokasi Daiki.

Haru tahu jika seorang Daiki tidak menyukai perkataan yang meremehkan dirinya. Jadi, ide ini akan menjadi satu-satunya cara agar membuat Daiki berbicara.

Dan benar saja. Daiki pun mulai menunjukkan rasa tidak terimanya dan mulai menyombongkan dirinya. "Tch! Kau terlalu cepat seratus tahun jika ingin mengalahkanku. Jangan seenaknya menyimpulkan sesuatu. Bukannya aku tidak mau. Aku hanya berpikir jika pilihan yang kau tawarkan terdengar sangat tidak adil bagiku".

Haru tersenyum licik karena merasa berhasil menangkap seekor kelinci. "Tidak adil? Orang yang selalu berpikir hebat dan memiliki percaya diri tinggi sepertimu, seharusnya tidak perlu memikirkan mengenai 'ketidakadilan' lagi, bukan?". Haru memalingkan wajah sejenak dengan merapatkan bibir agar tidak tertawa, sebelum lanjut berkata: "Kau orang hebat, sangat cocok dengan pilihan seperti itu. Sedang aku? Oh, Daiki ku... aku yakin, kau akan mengalahkanku dan pilihan itu sudah sangat berbelas kasih untukku, yang hanya berkemampuan seratus tahun dibawahmu. Bagaimana? Bukankah itu sudah cukup adil?"

Seketika, Daiki merebut bola dari tangan Haru dengan kasar. "Persetan dengan ucapanmu. Kau sangat pandai dalam 'hal seperti itu' ".

[ 'hal seperti itu', yang dimaksud Daiki adalah perkataan Haru yang suka memprovokasi dirinya ]

"Sepertinya, kau sangat mengenal diriku". Balas Haru disertai seringai tipis di wajahnya, lalu segera mengambil posisi ketika melihat Daiki yang juga bersiap memulai pertandingan.

Tidak ingin kalah, Daiki pun juga ikut menunjukkan seringai dingin khas miliknya. "Hei, Haru bodoh?... Selamat Natal. Aku tau jika belum ada seorang pun yang mengatakan ucapan itu padamu".

"Heh. Aku tersanjung karena perhatian itu. Tapi, lebih baik jika kau menutup mulutmu dan segera membuang bolanya. Aku tidak sabar melihatmu malu dengan perkataanmu sendiri". Balas Haru dengan tenang.

"Jangan tunggu kata 'terima kasihku'. Aku tidak akan mengatakan apa-apa' ". Lanjutnya.

"Hn!" Daiki tersenyum dengan tatapan matanya yang dingin; bermaksud merendahkan Haru saat ini. Lalu membuang bola ke atas, dan segera mereka berdua melompat untuk merebut bola yang saat ini sedang mengudara.

Sama seperti sebelumnya, Haru selalu gagal untuk merebut bola di udara. Tetapi, juga tidak butuh waktu lama bagi Haru untuk merebut bola itu kembali di tangan lawan. Dan tentu saja, akan sulit merebutnya kembali jika sudah terlanjur berada di dalam cengkraman kuat dari tangan besarnya.

Walau semasa bersekolah dulu Haru bergabung pada club sepak bola, tetapi bukan berarti kemampuannya hanya pada teknik di dalam sepak bola itu saja. Bahkan, sebelum masuk club sepak bola, Haru adalah seorang yang selalu aktif pada pertandingan basket di sekolahnya walaupun ia bukanlah termasuk dari anggota club basket tersebut.

Haru begitu lihai dalam hal menggiring bola pada permainan bola basket. Terlihat dari Daiki yang kesulitan untuk merebut bola ketika Haru melakukan Pivot untuk mencegah Daiki merebut bolanya. Sesekali, ia mencoba untuk memasukkan bola, tetapi Daiki juga sangat hebat melakukan blok area ketika ia hendak melakukannya.

Sepertinya, pakaian tebal yang mereka kenakan tidak membatasi pergerakan mereka untuk saling berpamer kemampuan.

Setelah hampir 20 menit berlalu, tetapi belum juga ada dari mereka yang berhasil mencetak angka. Haru yang sedari tadi memperhatikan Daiki yang terlihat serius dan begitu gigih pun mulai berpikir untuk mengalah darinya. Ia tersenyum, lalu menggiring bola seperti sebelumnya dan mencoba memasukkan bola sekali lagi. Namun, kali ini, ia merendahkan teknik shooting yang dilakukannya agar memudahkan Daiki memblok area sehingga ia dapat melakukan rebound.

Benar saja. Trik itu berhasil!

Setelah Daiki merebut bola karena Haru yang gagal memasukkan bola, Haru pun mulai berlagak seolah ingin merebut bola itu kembali untuk menyamarkan trik kekalahan yang sudah direncanakannya. Pada saat Daiki sudah bersiap untuk melakukan Slam Dunk, Haru pun juga ikut bersiap untuk memblokir area ring dengan menekuk kedua lututnya; bersiap untuk melompat. Dan ketika Daiki mencoba untuk memasukkan bola, Haru pun melompat tinggi untuk memblokir, tetapi dengan sengaja menggeser posisi tangannya ke arah samping. Dan... yap! Daiki lah yang memenangkan pertandingan ini dengan mencetak skor satu angka!

"Huh... kau memang benar. Aku terlalu cepat seratus tahun untuk menyaingimu". Kata Haru dengan membungkuk dan telapak tangan menempel pada kedua lututnya, sembari mengatur napas karena kelelahan.

Beberapa detik kemudian, Haru kembali tegak, lalu berkata dengan malas: "Hei, Daiki? Pergilah ke mesin minuman yang berada dekat di toko baju itu. Aku haus".

Namun, seorang Daiki yang tidak ingin diperintah, tentunya hanya terus berdiri di tempat dengan tatapan dingin yang membuat Haru mengangkat sebelah keningnya.

Haru tahu, bahwa Daiki tidak akan melakukan hal seperti itu. Ia hanya ingin menggodanya sekali lagi. Ia tidaklah serius dengan perkataannya sendiri.

*****