webnovel

Ivory The Forgotten Tomb

"Tunggu sebentar, saya akan mencari denah kota ini terlebih dahulu untuk menunjukkan semua lokasinya."

Setelah beberapa saat kemudian, Dough pun membawa sebuah denah usang yang menunjukkan semua lokasi bangunan.

"Setidaknya kami berhasil menemukan enam buah mayat di beberapa tempat dengan jeda waktu yang berbeda. Saat itu sayalah yang secara langsung ikut berpartisipasi dalam mencari pembunuh ini," jelasnya sambil mencoret beberapa bagian dengan pena bulu.

"Jadi semua tanda ini adalah...."

Dough hanya mengangguk pelan dengan wajah meyakinkan. Aku merasa pada awalnya ia sedikit keberatan, tetapi setelah ia saling bertukar pandang dengan wali kota. Ia pun langsung menjelaskannya padaku.

"Pertama kami menemukannya di sebuah gang sebelah utara kota dekat dengan toko buah-buahan, kedua adalah di sekitar taman yang berada di selatan kota, hari esoknya di tempat yang sama sebuah mayat kembali ditemukan, lalu dua hari setelahnya sebuah mayat ditemukan kembali tepat di distrik toko senjata yang berada di bagian barat. Seminggu telah berlalu dan kami kira semuanya telah selesai hingga pada hari ketiga minggu kedua seorang perempuan menjerit karena melihat dua mayat laki-laki tergantung pada sebuah tiang kayu di dekat distrik toko bunga," lanjutnya sambil menunjuk semua tanda coret itu setelah penjelasan yang singkat.

Wow. Ini seperti film misteri yang selalu ia tunjukkan padaku saat itu. Sepertinya aku bisa merasakan seperti apa jadinya jika aku benar-benar terlibat dalam insiden ini.

"Panjang juga, ya? tapi terima kasih atas penjelasannya. Kami akan istirahat dulu di tempat ini jika kalian tidak keberatan"

"Ahh. Tentu saja tidak, tapi mengapa tempat ini?"

"Aku takut jika berada di tempat yang kalian rekomendasikan akan membuat orang-orang resah, apalagi dengan salah satu rekanku"

"Begitukah?"

Melihatnya dalam kebingungan, aku hanya bisa tersenyum tipis ke arah Dough. Setelah itu baik sang Kakek maupun dirinya pergi dengan ekspresi tenang, tidak seperti sebelumnya yang terlihat pucat, dan dipenuhi oleh kegelisahan.

Ketika mereka benar-benar telah keluar. Aku pun meminta Luk dan Val untuk masuk ke dalam.

"Kalian sudah mendengarnya, 'kan? Menurutmu bagaimana tentang hal ini, Val?"

"Hmm. Aku sedikit penasaran dengan lokasi penemuan mayat."

Berbeda dengan Val, Luk mulai menguap, dan melayang mendarat tepat di atas kepalaku. Ia terlihat begitu kelelahan, mungkin karena sudah malam juga ia tidak bisa menahan rasa kantuknya.

"Apakah ada yang aneh dengan itu?"

"Kalau aku lihat dari sini, lalu menarik garis sambung menuju sini, dan menyelaraskannya dengan waktu saat itu. Mungkin ini akan membentuk sebuah simbol pemanggilan"

"Simbol pemanggilan?"

Ia pun mengangguk pelan, "Simbol pemanggilan seperti ini terlihat sangat amatir apalagi di tempatkan pada posisi yang kurang tepat. Hanya ada dua kemungkinan, pertama adalah orang yang menggunakan simbol pemanggilan ini adalah seorang pemula atau kedua... orang ini sengaja memperlihatkannya untuk mempercepat proses pemanggilannya"

"Aku tidak mengerti sama sekali," celetukku lalu memiringkan kepala.

"Pada dasarnya simbol seperti ini adalah hal umum yang selalu bisa kau temukan di Dimensi Ruinsheim. Simbol ini membutuhkan waktu agar semua proses pemanggilannya lancar, hal paling mudah yang bisa digunakan adalah mana kegelapan alias Ether Nox atau rasa takut alias Ether Diesca. Di sini kita bisa lihat bahwa penempatan setiap mayat setelah gang adalah tempat-tempat terbuka yang bisa dilihat oleh khalayak umum, 'kan?"

"Umm... "

"Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh orang ini adalah memanen rasa takut karena mana kegelapan di tempat ini sangat tipis. Menggunakan penyerangan Albaz dan juga memunculkan Ortuos adalah salah satu opsi cepat yang bisa dilakukannya untuk mempercepat ritual pemanggilan ini," lanjutnya dengan gerak-gerik seperti seorang pengajar.

"Masuk akal juga. Lalu menurutmu makhluk seperti apa yang akan orang ini panggil?"

"Aku sendiri masih belum yakin, tapi menurut semua garis penghubung ini kemungkinan besar makhluk yang ia akan panggil adalah Seekor Meetus"

"Meetus? Makhluk apa lagi ini?"

"Seperti seorang raksasa, tapi dengan elemen kegelapan. Bisa tipe Ortuos atau bisa juga gabungan antara Aruna dan Albaz. Lihat saja sudah berapa banyak korban dari mereka saat ini"

"Hehhh. Jadi raksasa, ya?" gumamku sambil memejamkan mata, "tapi aku sama sekali tidak paham mengapa ia ingin memunculkan sesuatu sebesar itu di kota kecil yang bahkan tidak termasuk salah satu kota besar ini?"

"Kau bisa menganggapnya sebagai percobaan. Apakah hal seperti ini bisa dilakukan pada keadaan yang berbeda dengan keterbatasan sumber daya. Namun, jangan salah Raven, dibandingkan Dimensi Vytair yang sarat akan kode etik, Dimensi Ruinsheim mengabaikan semua itu hanya demi memuaskan rasa penasaran, dan juga pencapaian"

"Pengalaman, eh?"

Tiba-tiba saja wajah Val seperti membeku, ekspresinya mengeras. Apakah aku tepat sasaran?

"Jangan terlalu dipikirkan. Sekarang kita istirahat dulu"

"Umm. baiklah."

Seperti biasa aku tidur dengan keadaan bersandar, untungnya bukan batang kayu lagi melainkan bantalan sofa. Begitu juga Val yang selalu menempatkan posisinya di dekatku.

Dengan semua rasa kantuk yang sebelumnya aku tahan, akhirnya aku bisa melepaskannya juga. Berakhir dalam keheningan yang semu dengan pencahayaan samar, perlahan-lahan, tapi pasti mataku mulai terpejam.

—Biarkan aku yang membantumu kali ini.

Kesadaranku benar-benar lenyap setelah mendengar suara halus itu.

***

Mataku pun mulai terbuka perlahan-lahan. Namun, entah mengapa rasanya aku seperti berbaring di atas tempat yang keras dan juga dingin. Aku juga bisa merasakan tempat di bawahku sedikit bergetar beberapa kali.

Namun, hal yang membuatku kaget setelah aku benar-benar tersadar adalah tempat ini sendiri.

"E-eh? Di mana ini!?"

Ketika kesadaranku menghantam nalar pikiranku sendiri. Aku pun hanya bisa terdiam sambil menoleh ke arah kiri dan kanan seperti orang linglung.

"Bukankah seharusnya aku berada di atas sofa di sebuah rumah tua?"

Tempat ini bisa aku deskripsikan sebagai tempat yang sangat luas dengan berbagai bangunan menggantung di langit-langit. Tepat di samping kiriku adalah sebuah sungai yang mengalir, memisahkan dua tempat yang berbeda.

Di bagianku adalah jalanan batu marmer dengan dinding tembok berlumut yang memancarkan cahaya kunang-kunang. Sedangkan tempat di seberang sana di penuhi oleh bangunan kecil yang menempel pada dindingnya.

Aku juga bisa melihat tempat ini di penuhi oleh lumut dan beberapa lampion yang masih menyala mengambang di atas sungai. Lampion yang memancarkan cahaya hijau zamrud.

"Aku sedang tidak bermimpi, 'kan?"

Setelah itu kuputuskan untuk menelusuri jalan ini. Berjalan pelan dengan perasaan aneh, aku melihat ada seseorang yang sedang bersandar pada sebuah rumah kayu kecil yang bobrok.

Seluruh tubuhnya di tutupi oleh jubah usang yang lusuh. Berwarna cokelat. Bahkan ia juga telanjang kaki.

Aku tidak tahu siapa orang ini, tapi jika ia membutuhkan bantuan mungkin aku membantunya karena aku sama sekali tidak tahu tempat ini, dan saat ini aku harus menyelesaikan insiden penyerangan di kota itu secepat mungkin.

Ketika aku memutuskan untuk pergi mendekatinya, sebuah aura hitam keluar dari sekitarnya mengeluarkan tekanan yang tidak terlalu bersahabat.

"Jangan mendekat...."

Seorang perempuan?

"Kalau begitu... apakah kau tahu tempat apa ini?"

Untuk sesaat kepalanya seperti berusaha mendongak untuk melihatku, tapi mungkin itu hanya khayalanku saja karena sedari tadi ia tidak bergerak sedikit pun.

"Makam Bawah Tanah Ivory... itulah nama tempat ini," ucapnya dengan nada berat.

Makam... bawah tanah?