22 0022 Jangan menolaknya

Alisha menghela napas. Berganti posisi duduknya. Kedua tangannya menopang pelipisnya. Sikunya berada di atas meja.

"Sebetulnya, apa isi file yang diambil oleh kakakmu?" Alisha bertanya masih dengan posisi semula.

Tugas pertamanya, mengapa begitu berat? Belum juga memulai sandiwara pasangan pengantin yang ideal, Alisha sudah diancam untuk membunuh suaminya.

Gila! Sungguh gila dan tidak masuk akal.

Semurah itukah harga nyawa seseorang, demi mendapatkan file, yang bahkan Alisha tidak tahu isinya sepenting apa.

Hilman mendesah. "Jika aku tahu, aku tidak butuh bantuan dan kerjasama dari tim. Terutama kamu."

Hilman hanya menjalankan perintah dari atasannya. Tanpa mengetahui dengan detail, file macam apa yang begitu sangat diinginkan olah para petinggi. Bahkan Adrian, sang kakak mengapa mencuri data itu. Apa untungnya bagi dia?

Membuat perangkap sedemikian rumit, mirip virus Trojan.

Selama ia mengenal sang kakak. Adrian tidak pernah berbuat ulah seperti ini. Bekerja sebagai programmer di perusahaan swasta. Bisa-bisanya mendapatkan file data yang sangat diinginkan oleh semua petinggi. Bahkan mengerahkan banyak ahli untuk mengambil alih kembali. Namun gagal.

Hilman bukannya tidak bisa meminta baik-baik file itu kepada sang kakak. Masalahnya, jika ia meminta langsung, maka penyamarannya selama ini akan diketahui. Bahwa ia bekerja sebagai agen mata-mata milik pemerintah. Ibunya saja tidak mengetahui, bahwa Hilman adalah anggota BIN.

*

Alisha kembali dari ruang rapat menuju kafetaria, untuk menemui suaminya, Adrian.

Adrian tengah meminum kopi latte sambil matanya tertuju pada ponsel di tangan satunya, tampak begitu serius.

Alisha baru saja keluar dari lift, seorang diri. Sementara Mia tetap tinggal di ruang rapat bersama Hilman dan suaminya, Arya.

Pandangannya tertuju pada Adrian, kali ini ia memandang Adrian dari sudut yang berbeda. Ada misi yang harus ia selesaikan tanpa harus terjadi pertumpahan darah, apalagi hingga merenggut nyawa orang lain.

Alisha lekas mendekati meja Adrian, dan berhenti tepat di hadapannya.

"Ian ...." Seketika Adrian mendongak, tersenyum menatap Alisha. Diletakkannya cangkir kopinya.

"Sudah selesai?" Alisha mengangguk.

"Mau pesan sesuatu? Kebab di sini enak." Alisha menatap piring kosong di sebelah cangkir kopi milik Adrian. Ada bekas remahan kulit kebab di sana.

"Boleh." Adrian kemudian meminta Alisha duduk, sementara dia yang memesankan kebab untuknya.

Alisha duduk menanti sambil berpikir tentang pernikahannya. Pernikahannya nyata. Misinya juga nyata. Hanya saja, perasaannya kepada suaminya terasa tidak nyata. Jelas-jelas ia jatuh cinta pada Hilman, adik kandung Adrian. Namun, ia harus melupakan perasaannya.

"Ada yang mengganggu pikiranmu?" Alisha menatap wajah Adrian. Mengerutkan dahi. Sejak kapan ia duduk di hadapannya? Matanya beralih ke lengan Adrian. Luka itu masih tercetak jelas.

Adrian mengikuti arah pandangan Alisha. Kemudian tersenyum.

"Masih sakit tidak?" Alisha mencoba terdengar empati, didukung dengan memasang wajah menyesal.

"Harus terbiasa." Adrian terkekeh, membuat Alisha tidak jadi merasa menyesal telah menggigitnya tadi pagi. Kalau perlu, lebih keras. Biar tahu rasa!

Tidak lama, pesanan Alisha datang. Adrian menemaninya makan, sambil berbincang canggung–membahas kegemaran masing-masing, hingga kebab itu habis tidak bersisa. Saat itulah Alisha baru merasa lega, tidak perlu lagi berbasa-basi.

Adrian beranjak dari kursinya diikuti Alisha. Tanpa canggung, menarik tangan Alisha, menautkan jari-jemarinya, dan berjalan hingga ke depan lift. Menanti pintu itu terbuka. Beberapa karyawan yang kebetulan masuk pada hari itu dan mengenali Alisha, menyapanya sambil lalu. Membuat Alisha ingin melepas tautan tangannya. Namun, Adrian mengencangkan genggamannya sambil memasang senyum.

Tidak lama, pintu lift terbuka, mereka berdua pun masuk. Lift membawa mereka menuju ke basemant.

"Kau bisa melepaskan tanganmu, Ian." Alisha berkata lirih.

"Kenapa kau berbicara dengan berbisik?" Adrian bertanya lantang.

"Tidak ada siapa-siapa di sini, selain kita." Adrian menurunkan suaranya.

Uh! Gerutu Alisha.

"Lepaskan tanganmu!" Alisha menaikan sedikit suaranya namun masih terdengar seperti bisikan.

Adrian, melepaskan genggaman tangannya, dan tangannya beralih menyentuh kedua pipi Alisha.

"Jangan macam-macam, Ian. Kita di tempat umum." Alisha memperingatkan dengan suara rendah.

"Ah, kau malah memberiku ide."

"Apa maksud–"

Plak!

Ucapan Alisha terbungkam, dan tentu saja spontan ia menampar suaminya.

"Kenapa kau menamparku?" Adrian mengusap pipi yang ditampar Alisha.

"Kau menciumku!" Alisha berteriak. Lupa, jika ia seharusnya merendahkan suaranya, agar Mia atau siapa pun di sana, tidak mendengar pertengkaran mereka di lift.

"Aku suamimu. Apa salahnya menciummu?" Adrian tidak terima.

"Ini tempat umum." Alisha kembali merendahkan suaranya.

"Baik. Kita lakukan di rumah." Alisha membelalakan mata. Apa maksudnya? Batin Alisha.

Pintu lift terbuka dan Adrian lekas keluar dari lift, meninggalkan Alisha begitu saja.

Apa dia marah? Alisha bertanya dalam hati, sambil mengekor Adrian hingga tiba di depan mobilnya.

Mereka berdua masuk ke dalam mobil dan kembali pulang ke Bogor.

Sepanjang perjalanan, mereka berdua lebih banyak terdiam. Sesekali Alisha melirik Adrian. Apa dia marah, gara-gara tadi? Pikirnya.

Alisha kembali mengingat pesan Hilman, sebelum ia keluar ruangan. Agar mulai menerima pernikahan mereka dengan sungguh-sungguh.

Belajar untuk mencintai Adrian, suaminya, kakak Hilman. Jika tidak bisa melakukannya dengan hati, setidaknya melakukannya demi misi.

Alisha harus berhasil mendapatkan data itu, tanpa harus menumpahkan darah. Dan satu-satunya cara adalah mencoba menjadi dekat dengan Adrian, memberinya kepercayaan. Dan tidak berlaku bar-bar seperti saat bertemu pertama kali di Bandung.

"Belajarlah mencintai kakakku. Dia begitu menyukaimu, Al. Kau tidak ingin membunuhnya, kan." Pesan terakhir Hilman, sebelum akhirnya Alisha keluar ruangan, berputar berulang kali dalam ingatannya.

Ya, tentu saja Alisha tidak ingin mengorbankan nyawa siapa pun. Meski sejak ia menerima misi ini, berulang kali berhadapan dengan orang-orang yang ingin membunuhnya. Entah apa motif dibalik itu semua.

Siapa dalang di balik semua itu. Hilman dan timnya masih mengusutnya. Pria Rusia, dan wanita yang menyamar menjadi WO, yang telah diamankan di kantor polisi pun enggan memberikan keterangan apa pun. Memilih bungkam, meski diancam.

"Besok, kita tinggal di rumahku. Apa kamu mau?" Tiba-tiba saja Adrian memecah lamunan Alisha.

"A-apa? Maksudku, secepat itu? Aku belum mengurus pekerjaanku di Jakarta. Meski mendapat cuti nikah." Alisha terdengar keberatan.

"Aku juga bekerja. Dan pekerjaanku lebih banyak di Bandung."

"Atau kamu ingin menjalani pernikahan jarak jauh? Sepertinya itu lebih membuatmu nyaman." Adrian tidak memberinya pilihan. Meski pekerjaan Alisha bisa dikerjakan via online, hanya saja, semuanya terlalu cepat.

["Jangan menolaknya, Al. Jika kau jauh darinya, semakin sulit menemukan data itu."] Suara Hilman terdengar dari alat komunikasi di telinganya.

"Baiklah. Tapi setidaknya beri semalam lagi aku tinggal di rumah orang tuaku." Perintah dari atasan sudah turun, Alisha benar-benar tidak punya pilihan, kecuali menyetujuinya.

Adrian tersenyum puas. Mengendarai mobilnya dengan tenang, memasuki jalan tol menuju Bogor. Perjalanan kembali yang aman. Tidak ada lagi yang membuntuti mereka kali ini.

avataravatar
Next chapter