webnovel

Si Dia

Pepatah yang mengatakan kalau dunia ini sempit, ternyata bisa kuakui kebenarannya sekarang. Lelaki itu, dia … dia … dia, Malik!

Oh … Malik.

Apakah dia masih mengenalku?

Ya Alloh, mengapa hatiku berdegup sangat kencang. Dada ini rasanya tidak karuan. Ingin sekali tangan ini meraih lelaki itu yang kini sedang berjalan bersama teman-temannya yang berlawanan arah dengan langkahku.

Malik, ini aku. Mita!

Ups, apaan sih aku. Enggak jadi ngehalu. Maaf. Diriku mengira sedang bermain Bollywood kali ah. Slow motion gituh.

Tanganku yang tadi menjulur dengan refleks pun kembali kutarik. Jangan geer Mita! Dia enggak kenal sama kamu. Ah, aku kumat lagi. Mana mungkin dia mengingatku. Berada di sampingnya pun, Malik biasa saja dan malahan sudah lolos melewatiku.

Jangan tengok ke belakang Mit! Jangan!

Busungkan dada dan melangkah ke depan. Targetmu sekarang adalah baso ikan! Bukan lelaki pujaan yang sekarang tiba-tiba wajahnya terlihat di pemukiman sekolahan. Memang seperti tertiban sekantung emas, dengan gepokkan uang. Sungguh keberuntungan. Tapi, jangan sampai deh tuh emas dan gepokkan uang terasa sakit karena jatuh ke kepala dan kamu nantinya geger otak. Ya iyalah, kalau Alloh kasih tuh kekayaan sekarung dan kena ke kepala. Yang ada hari ini pun aku mati, dan orang-orang memunguti emas sama uang-uangnya. Tak peduli ada orang kejer.

Eh, apaan sih Mita. Ah, ngawur. Bisa-bisanya sambung-sambungin kejadian ini dengan peruntungan uang yang turun dari langit terus kalau jatuhnya menimpa kepala jadi geger otak. Emch, emch. Istigfar Mita! Ya Alloh gusti, kok aku jadi error ya?

Tarik napas Mit. Ketemu Idola memang bikin hati nari-nari, apalagi dia ada di sekolahan ini tanpa kamu sadari. Tapi kamu harus tetep waras, kan? Ayo! Jalan menuju si mang Mumun untuk beli baso ikannya. Si Ayu pasti sedang sekarat di kelas karena kelaparan.

Wajah Ayu yang nelangsa pun terbesit begitu saja dalam visualisasi otak. Ck! Seperti hantu Sadako yang klepek-klepek.

Aku harus buru-baru berlari menuju si mang Mumun biar enggak ngantri.

Slebewww, melesat, cepat!

Awok, awok … kenapa? Kakiku tertahan.

“Ada apa?” tanya seseorang, terdengar ke telingaku.

Sang lelaki yang ditanya pun sepertinya mundur dan menatap perempuan yang tengah canggung ini. Dia menunjuk wajah. Aku seperti buronan yang ketahuan oleh pak Polisi.

“Mita? Kamu Mita, kan?” tanya dia. Malik bertanya padaku.

Hey! Tabung oksigen, mana tabung oksigen? Huh hah huh hah, aku kehabisan napas nih.

Syukur alhamdulillah, berarti dia masih ingat.

Ya Alloh, si Shaleh, si Tampan, si Putih, si Manis, si Tajir Melintir ini ingat padaku (maklum, banyak penyebutan untuk mengambarkan sosok Malik).

Pada si Mita yang tidak dipedulikan oleh beberapa orang selama ini? Sungguh tidak percaya. Di luar dugaan.

Namun, aku tidak bisa mengelak dari rasa gugupku ini. Teman-teman Malik yang sudah berada jauh pun menatap ke arahku, tepat ke wajah. Terkhusus salah satu temannya yang berdiri di belakang Malik, dia juga menyelidikiku dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Kurasa dia mungkin kaget kenapa Malik mengenali aku. Sosok yang tidak famous di sekolah.

Aku hanyalah butiran debu, yang jika tertiup angin. Ah, sudahlah! Sedih kalau dibicarakan.

“Kamu Mita, kan?” tanya Malik sekali lagi sebagai bentuk penegasan.

Dia butuh jawaban pembenaran, dan aku pun dengan gerak cepat mengangguk. Dia tersenyum, dan kemudian kembali berbicara, “kamu sekolah di sini juga?” tanyanya.

Lagi-lagi aku mengangguk. Kulihat, teman lelaki di belakang Malik tidak sabar ingin segera pergi. Kondisinya mungkin akan beda jika aku secantik Ritta atau Eva. Mereka pasti mengerumuniku dan bertanya-tanya, melemparkan jurus gombalan dan semacamnya. Tidak seperti sekarang. Mereka justru melihatku seperti menghakimi seorang penjahat. Ish, sebegitunya aku dalam pandangan para lelaki? Tidak ada daya tarik sama sekali? Hah?

“Aku murid baru di sini. Pokoknya saat tahun ajaran baru, pas naik ke kelas dua belas,” jelasnya tanpa diminta.

“Oh gituh, pantesan jarang lihat,” balasku sekenanya.

Temannya yang berdiri di belakang pun seperti semakain sudah tidak sabaran, karena rekan mereka yang lain sudah pergi lebih dulu. Dia menepuk punggung Malik sebagai isyarat mengajaknya untuk segera pergi. Tapi Malik tidak bergeming.

Kali ini, Malik justru tersipu malu. “Mmmm, temanmu yang waktu itu juga sekolah di sini?” tanyanya, menunjuk-nunjuk ke sembarang arah.

Aku jelas tahu siapa orang yang dimaksud oleh Malik.

“Reni?” tanyaku memastikan.

“Nah, dia.” Malik terlihat antusias sekali. Tapi aku tidak berpikir apa-apa soal itu karena waktu itu saat berkenalan dengannya, aku tidak sendirian. Ada Reni juga. Wajar kan kalau Malik tanya Reni?

Aku pun menggelengkan kepala. “Tidak. Dia tidak sekolah di sini. Kita berbeda.”

“Oooo.” Malik mengangguk-anggukan kepalanya dan mulutnya pun membentuk huruf ‘o’, tampak bulat. “Kalau begitu aku duluan ya, temanku sudah enggak sabar pengen masuk kelas.”

Teman Malik pun nyengir, dia masih betah berdiri di belakang Malik sedari tadi. Aku juga mengiyakan seraya menganggukkan kepala dan tak lupa tersenyum pada keduanya.

Punggung mereka masih kuintai dengan kedua bola mata. Terlihat temannya Malik banyak bertanya pada lelaki pujaanku itu. Mungkin dia penasaran, kenapa si Malik bisa punya kenalan di sini. Kalau dia tanya aku, bisa kuceritakan awal mula aku berkenalan dengan Malik waktu itu padanya secara rinci.

Sayangnya dia tidak bertanya padaku sih.

Dan setelah itu ….

“Ayu! Ayo bangun! Aku bawain baso ikan nih.” Kubangunkan Ayu dengan menggerak-gerakkan bahunya dan berusaha memperlihatkan baso ikan yang kubawa. Begitu dekat dengan wajahnya agar aromanya juga kecium oleh hidung si Ayu.

Ayu menggeliat, dia menatapku dengan mata merah. Mmmm, pasti dia sudah menguras matanya sendiri agar mengeluarkan air kesedihan itu.

“Mana?” Ayu celingak celinguk. “Gratis, nih?” Kemudian Ayu tersenyum setelah apa yang dicarinya terlihat.

Aku pun juga. “Iya, gratis. Asal kamu jangan nangis lagi.”

“Iya,” balas Ayu sambil meraih satu bungkus baso ikan. Dia senang dengan itu.

“Eits!” Aku mencegahnya. “Janji, enggak nangis lagi kan?” Kupandangi Ayu dengan tatapan seperti seorang Algojo. Kalau kamu enggak nepatin janji, kutebas leher kau! Tampak seperti itulah kira-kira ancamanku.

Haha, tidak. Memangnya Algojo suka menatap orang yang mau dipenggal gituh? Tahu ah, aku enggak hidup di zaman mereka.

Beberapa murid mulai berdatangan ke kelas. Si Ayu dan aku masih menggiling jajanan baso ikan kami yang belum habis. Sedikit lagi.

Aku pun bertanya, “Yu, gimana rasa baso ikannya?”

Dengan mulut masih penuh, Ayu menjawab, “banget. Ini efek karena aku laper dan udah nangis. Enak banget!”

“Bukan,” sergahku dengan cepat.

Ayu melotot. “Terus? Rasanya tidak berubah, Mit. Penjualnya sama, kan? Ini karena aku laper aja, makanya terasa enak. Gratis pula. Jadi enak banget.” Ayu selesai lebih dulu dan membuang sampahnya ke kolong bangku.

Langsung kupukul tangannya. “Jorok! Bisa ke aku ‘JANGAN BUANG SAMPAH SEMBARANGAN!” Aku sambil memeragakan gaya Ayu setiap kali dia berkata seperti itu. “Kayak bukan anak sekolahan aja.” Aku membalik kata-kata Ayu yang biasa dia lontarkan padaku.

“Ayolah, Mit! Besok aku piket. Lagi males juga buang ke depannya, enggak mau lihat wajah si Rizky.” Ayu menjulingkan mata, sontak membuatku tertawa. Bukan karena mata julingnya, tapi karena ucapan Ayu.

“Iya aku ngerti. Tapi, seharusnya kamu jangan gituh. Biarpun begitu juga, dia pernah ada di hati kamu. Buktinya tadi kamu masih nangisin dia.”

Ayu memasang wajah nelangsa dan nangis boongan. “Aku kan baru sehari putus Mit, wajarlah. Hiks! Hiks!”

“Iya, aku maklumin. Mana siniiin! Biar aku yang buang.”

Ayu menyeringai. “Nah, gituh dong. Baru sahabat sejati.” Ayu kembali merogoh sampah di kolong bangku dan memberikannya padaku.

“Tapi, bener loh Yu. Baso ikan tuh rasanya tetep sama, yang beda adalah suasana.” Aku pun meninggalkan Ayu sambil cekikikkan. Kurasa dia belum paham kalau temannya ini sedang dilanda perasaan bahagia.

Ayu melongo melihatku yang berjalan keluar, masih merasakan aura kebahagiaan itu. Pertemuan kedua nyatanya bisa jauh lebih membangkitkan gairah, ya.

Gimana menurutmu? Iya kamu. Kamu yang sama-sama pernah merasakannya, hehe. Yang belum pernah, belum tahu pasti rasanya gimana. Jadi, aku enggak mau tanya. Ckckckc.

Next chapter