webnovel

Kesaksian Gunawan.

Naira tidak bisa berkata apa-apa saat putrinya itu meminta kembali. Ia juga tidak pernah menduga sebelumnya apa yang dikatakan Sabina. Bagaimana bisa Yogi masih menyimpan rasa untuknya? Padahal dulu dia sangat membencinya kala masih dalam satu ikatan pernikahan dengan Yogi.

"Ibu mau kan balikan lagi sama Bapak?"

Ia menghela napas, baginya ini hanya sebuah permintaan anak kecil yang merindukan Ibu dan Bapaknya untuk tetap bersama. Jadi, itu suatu hal yang mustahil buatnya. Naira tersenyum getir, lalu dia pandangi wajah penuh harap putrinya itu.

"Maaf sayang, Ibu tidak bisa! Bagaimanapun pernikahan antara Ibu dan Bapak sudah tidak bisa diperbaiki. Kalaupun bisa, itu rasanya sangat tidak mungkin Ibu lakukan." Naira menyentuh lembuh kedua pipi Sabina. Tatapannya begitu sendu, ia tau putrinya akan kecewa dengan jawabannya ini.

"Ibu sudah mencintai suami Ibu yang sekarang. Begitu juga dengan Bapakmu, dan ucapan Mamah Jessica benar, seharusnya kamu jangan lagi menelepon Ibu saat ada apa-apa dengan Bapak! Jadi--"

"CUKUP!" teriak Sabina terlihat sangat kesal. "Aku sudah tidak mau dengar apa-apa lagi!" Sabina meninggikan nada suaranya itu. "Bilang saja Ibu tidak mau, jadi tidak usah banyak alasan!"

"Bukan begitu sayang, suatu saat kamu akan mengerti apa yang Ibu katakan," kata Naira mencoba menjelaskan. Tapi ....

"Masa bodo, aku sudah tidak mau dengar semua penjelasan Ibu lagi." Sabina tak mau mengerti. Ia sangat marah pada Naira yang tidak bisa menuruti apa yang ia minta seperti janjinya di pesan chat tadi pagi. "Ibu bohong sama Sabina, Ibu bilang akan menuruti semua yang Sabina minta. Tapi Ibu tidak bisa menuruti permintaan Sabina ini. Sabina benci Ibu ... Sabina muak sama Ibu!!" Ia berlari setelah berteriak pada Naira.

"Sabina ... Sabina dengarkan Ibu dulu!" panggilnya setengah berteriak. Beberapa orang yang melintas di hadapan Naira memandang heran. Ia meminta maaf dan kemudian pergi. Namun tidak mengejar Sabina, ia keluar. Naira rasa urusannya sudah selesai, hanya tinggal memberi pengertian pada putrinya itu.

Di lain tempat, beberapa menit sebelum Sabina berteriak pada Naira.

Gunawan, ia sudah sampai di parkiran gedung tempatnya bekerja. Ia meraih tas yang diletakan di belakang. Ia mengecek sekali lagi berkas-berkas penting untuk rapat dan presentasi rencana kerja pada proyek baru peluncuran produk-produk baru yang akan keluar minggu depan. 

"Di mana file-file yang aku kerjakan semalam?" Mendadak wajahnya terlihat pucat. Ia mengeluarkan laptop dan barang lainnya dari tas kerjanya itu. Tak ada tumpukan file yang dia cari dari dalam tas. Gunawan juga mencari di belakang mobil, di sana juga tidak ada file yang sangat dia butuhkan saat ini. "Atau jangan-jangan ketinggalan?" pikir Gunawan mencoba mengingat-ingat file-file itu.

"Aaah ... sial, di atas meja ruang tamu! Kenapa aku bisa melupakan file sepenting itu?" Ia menepuk jidatnya ketika mengingat di mana ia meletakan file-file itu di atas meja. "Tidak mungkin aku balik lagi ke rumah, waktunya sudah sangat mepet!" gumamnya sambil melihat jarum jam di pergelangan tangannya.

"Bunda!" Yang ia ingat hanya istrinya. Ia pun merogoh saku celananya, mencari ponsel di situ. "Aku harap bunda bisa mengantarkan file-file itu!" ucap Gunawan sendirian di mobil. Ia pun bergegas mencari nama istrinya yang bertuliskan kata 'Bunda' di daftar kontak ponselnya.

Kemudian ia menekan tombol hijau dan mulai mendengarkannya. Nada tersambung terdengar, namun Naira, istrinya itu tidak mengangkat panggilan teleponnya.

Sekali.

Dua kali.

Tiga kali.

Hingga sepuluh kali ia meneleponnya tapi Naira mengabaikan teleponnya.

"Ck!" Gunawan berdecak kesal. Hal penting bagi dirinya, Naira tidak mengangkat panggilan teleponnya. "Kamu kemana sih, Bunda? Tidak biasa-biasanya dia mengabaikan panggilan teleponku!" gerutu Gunawan cukup kesal. Ia pun menaruh ponselnya sedikit membanting. Kunci mobil di putar, mesin mobil pun kembali hidup. Mau tidak mau ia kembali ke rumah untuk mengambil file-file itu.

Gunawan mengendarai mobil dengan sangat kesal. Lalu laju mobil terhenti oleh lampu berwarna merah, antrian panjang membuat roda mobil berjalan tersendat-sendat. Ia memukul pelan setir mobilnya, sangat kesal. Ia ada meeting sekitar jam 10, dan sekarang sudah setengah 9. Menuju rumahnya membutuh 30 menit bila tak terhalang macet. Bila ia harus kembali lagi kekantor akan membutuhkan waktu cukup banyak dan benar-benar membuang waktu, habis di jalan.

Gunawan mengendurkan dasinya, udara panas membuat keringat di pori-porinya mulai bercucuran. Ac tidak mampu mendinginkan tubuhnya di cuaca panas dan membuat di dalam mobil terasa pengap dan gerah.

Tanpa sengaja, kedua matanya melihat Naira bersama Sabina di dekat pintu masuk rumah sakit. Berdua dan sedikit bertengkar. "Bunda?" Gunawan membuka kaca mobil untuk mempertegas bahwa pengelihatannya tidak salah. "Ngapain dia di sini? Dan siapa anak perempuan itu?" batin Gunawan terus bertanya-tanya siapa sebenarnya gadis yang sedang bertengkar dengan istrinya itu.

Sesaat ia mempertegas wajah dari seorang anak perempuan yang sedang berteriak pada istrinya. Dan di saat itu juga ia mengingat anak perempuan istrinya dari pernikahan pertamanya. "Jangan-jangan anak perempuan itu ....?" Gunawan mulai menduga-duga. Ada rasa marah yang mendadak muncul di hati Gunawan. "Mau ngapain Bunda bertemu anak perempuannya itu?" Ia hendak turun dari mobil, namun..

Tiiin ...

Tiinn ...

Suara ribut klakson dari mobil belakang membuat ia mengurungkan niatnya untuk menghampiri Naira dan mencari tau siapa sebenarnya anak perempuan yang tampak kesal pada Naira. Gunawan melanjutkan perjalanannya ke rumah dengan perasaan menduga-duga.

Naira pergi naik taksi, Sabina menangis di lobby. Permintaannya memang tidak masuk akal, ia hanya menuruti egonya. Sebab, ia sangat merindukan sosok ibu kandung yang selalu dianggap meninggal oleh semua orang di dekatnya.

Jessica masuk menatap Yogi dengan sangat marah. "Buat apa kamu memegang tangannya lagi? Mau balikkan lagi sama perempuan itu?"

"K-kamu salah paham, Jes. Itu semua tidak seperti yang kau pikirkan, aku hanya tidak menduga dan ingin meminta maaf padanya. Itu saja, tidak lebih!"

"Alasan!" tukas Jessica bersedakep. Ia duduk dengan menyilangkan kakinya. "Kamu tau Mas? Kamu bukan seperti dulu, kamu sudah mau mati, jadi jangan banyak tingkah dan macam-macam! Aku akan terus mengawasimu kalau kau berani macam-macam!" ancam Jessica.

Yogi hanya terdiam, melengos dan melihat kearah jendela. Ada segurat penyesalan di wajah Yogi yang terlihat pucat. Ia seolah menyesal pisah dari Naira dan menikah dengan Jessica. Sudah hampir tiga tahun belakangan, setelah ia di vonis kanker hati, sikap Jessica mulai berubah. Ia jarang mengurusinya, melayaninya dan sering pergi keluar rumah tanpa ijin. Ia juga sering bersikap kasar pada Sabina.

"Apa ini karma untukku? Ya Tuhan, maafkan aku. Aku menyesal telah menyakiti Naira dan tidak pernah menganggap ia ada selama kami menikah," bisik batinnya, sangat menyesal.

"Kamu pikir aku bisa melepaskanmu, Mas? tidak, uang asuransi sebesar delapan miliar tiga ratus lima puluh juta masa aku harus menyerahkannya pada Naira setelah aku bertahan dengan kamu yang penyakitan ini, Mas? Terlalu naif bila aku tidak membutuhkan uang itu!"

Yogi terperangah mendengarnya. Dia baru tau Jessica bertahan hanya karena uang asuransi miliknya. "Ternyata dia ....?" Yogi tak meneruskan kalimatnya, dia hanya mendengus lalu mengalihkan pandangan matanya keluar jendela.

****

Lalu Naira sudah sampai di depan rumah, Gunawan sengaja tidak lebih dulu sampai di rumah. Ia ingin memberi kejutan yang akan membuat Naira sangat kaget.

Gunawan melajukan mobilnya dan berhenti tepat di depan rumahnya. Ia bergegas turun saat Naira hendak masuk ke dalam rumah.

"Dari mana saja kamu, Bun?" tanya Gunawan, ekspresi wajahnya sangat berbeda. Ada nada suara yang sedikit menuduhnya.

"A-ayah ... b-bukannya tadi Ayah sudah berangkat? Kenapa balik lagi?" Naira terlihat terkejut. Ia mendadak gugup di hadapan suaminya.

"Ayah tanya, Bunda dari mana sampai-sampai telepon dan chat Ayah tidak dibalas?" kata Gunawan mempertegas.

"Ah ... oh ... maaf, Bunda tidak tau kalau Ayah telepon. Tadi ponsel Bunda di silent." Naira bergegas mencari ponselnya di tas. Dan ia memastikan bahwa ponselnya dalam posisi silent.

"Jawab pertanyaan Ayah, dari mana? Dan siapa anak perempuan yang ribut sama Bunda!"

Degh!

Naira cukup terkejut dengan pertanyaan Gunawan. "D-dari mana Mas Gunawan tau? Apa Mas Gunawan melihat aku sama Sabina bertengkar di depan rumah sakit?" bisik batinnya resah. Ia tatap suaminya, begitu besar amarah yang di tunjukkan Gunawan terhadap dirinya selama sebelas tahun ia menikah.

****

Bersambung.