webnovel

Permintaan Yang Tidak Mungkin

Jessica masih berdiri di depan pintu, matanya tetap melihat ke punggung Naira yang semakin lama-semakin menjauh darinya, dan kemudian menghilang saat pintu lobby tertutup. Ia menghela napas, lalu melihat telapak tangannya yang sedikit memerah. Rupanya, Naira sengaja menekannya dengan sangat keras.

Jessica tersenyum, entah apa yang ia pikirkan. Ia seperti sedang menyesali apa yang sudah ia perbuat pada Naira. Apakah itu rasa rindu yang terbesit sesaat di batinnya, dan masih adakah ingatan yang membuat ia menyesal telah menyakiti sahabatnya sendiri?

Namun, "Kamu pikir aku akan meminta maaf padamu, Nai. Yogi benar-benar laki-laki idamanku. Kaya, tampan bahkan sebentar lagi dia mati dengan meninggalkan uang asuransi yang sangat besar untuk kunikmati dan membuang anak perempuan sialanmu itu," bisik batinnya. Ia tidak benar-benar menyesali apa yang telah membuat persahabatnya putus. Justru dalam pikirannya, hanya keserakahan Jessica yang sedari dulu ingin ia miliki dari milik Naira.

Pintu ruang ICU terbuka, Jessica menoleh, anak perempuan dari Naira keluar. "Mah, Ibuku mana?" tanya Sabina. Ia tidak bisa menemukan Naira di dekat Jessica.

"Buat apa kamu mencarinya?"

"Aku kangen dia, Mah. Maka dari itu aku mengirim pesan agar dia datang dan nengokin Bapak!" tukas Sabina mengatakan semuanya.

Jessica melotot, "Ooh ... ternyata benar dugaan Mamah, kamu biang dari semua kehadiran wanita itu?"

"T-tapi dia Ibuku, Mah?"

Ucapan Sabina membuat Jessica kian bertambah marah. Ia mencengkeram bahu Sabina dengan kencang. "Dengarkan Mamah baik-baik, sekarang dia bukan Ibumu, tapi Mamah! Biarpun Mamah bukan Ibu kandungmu, Mamah yang mengurus kamu sampai sebesar ini, Sabina!" bentak Jessica. "Mamah harap, kamu tidak pernah lagi menghubungi Ibumu itu!"

"T-tapi Mah, Sabina sudah lama tidak ketemu Ibu. Dan Sabina benar-benar kangen sama Ibu! Biarkan Sa--"

"BERHENTI MERENGEK!" bentak Jessica sedikit berteriak. "Apa kamu belum sadar juga, Sabina? Antara Ibu dan Bapakmu udah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi, jangan pernah berpikir untuk menyatukan mereka lagi!" Ia lalu menggenggam tangan Sabina dengan sangat kuat.

"Ayo ikut Mamah!" Kemudian menarik tangan Sabina secara paksa. Sabina memberontak.

"Aku tidak mau, Mah! Aku mau ketemu Ibu!" teriak Sabina berusaha melepaskan jari-jari Jessica dari pergelangan tangannya. Namun, tenaga Sabina tidak sebanding dengan cemgkraman tangan Jessica yang terlalu kuat itu. Ia pun mengigit lengan Jessica.

"Awww ...!" pekik Jessica melepas genggaman jari jemarinya. Sabina bergegas kabur mencari Naira. "Sabina ... Sabina berhenti kata Mamah!" Sabina tak mempedulikan teriakan Ibu tirinya itu, ia terus berlari kearah luar. "Benar-benar kurang ajar! Berani-beraninya dia mengigitku." Jessica melihat bekas gigitan di lengannya.

"Maaf Bu, tolong jangan teriak-teriak di rumah sakit!" ujar Suster sedikit marah mendengar Jessica berteriak-teriak.

"Ooh, maaf Sus," sahut Jessica. Suster itu pergi dari hadapan Jessica.

Jessica menghela napas, ia sudah habis kesabaran menghadapi Sabina yang keras kepala. Namun ia menahan rasa marahnya itu agar ia tetap terlihat baik di hadapan Sabina dan Yogi selama ini. Ia tidak mau Yogi mendengar suara ia saat marah-marah dengan Sabina. Sekali lagi ia menarik napasnya, lalu di hembuskan dengan pelan-pelan.

Ia pun berjalan masuk setelah keadaannya tenang.

Sementara itu di taman.

Naira terduduk di kursi taman dekat parkiran. Ia mengusap wajahnya setelah beberapa kali menyeka airmata yang menetes seolah tak mau berhenti. Ia lalu menghela napasnya. "Tidak, aku tidak boleh begini. Dia masa lalu, jadi buat apa aku harus memikirkan hubungan mereka. Sekarang aku sudah punya Mas Gunawan dan juga kedua anakku dari pernikahan dari Mas Gunawan ...." Sekali lagi ia menghela napas. Rasanya, di dada Naira masih terasa sesak.

"Jadi buat apa aku harus menangisi mereka dan marah pada Jessica yang akhirnya jadi istri Mas Yogi!" lanjut Naira menyemangati dirinya sendiri. "Ayolah Nai ... jangan bersedih lagi. Jangan menangis lagi, biarin saja mereka berdua bersama. Kalau begini terus, itu namanya kamu sudah mengkhianati Mas Gunawan!" katanya menepuk-nepuk kedua pipinya agar tidak lagi memikirkan hal yang terdengar menjijikan itu.

Naira berdiri, sudah terlalu lama ia terduduk di kursi yang menemani ia yang sedang bersedih. "Aaah ... aku pasti bisa!" serunya menyemangati diri sendiri. Melangkah pergi dari taman.

"IBUUU!" teriak Sabina dari kejauhan. Langkah Naira terhenti dan melihat kearah suara yang memanggilnya.

"Sabina?"

Anak perempuannya terus berlari dan kemudian memeluknya. Suara isak tangisnya terdengar sesegukan di pelukan putrinya itu. "S-Sabina, kamu kenapa menangis?"

Sabina tak menjawab, ia hanya terus menangis dan mengingat perlakuan kasar ibu tirinya itu. Naira melepaskan pelukan putrinya itu, dan menatap wajah Sabina yang terus meneteskan airmata. "Hei ... kok, anak Ibu sudah besar cengeng sih?" Jari-jari Naira menyeka airmata yang menetes dari pelupuk matanya. "Kalau ada masalah, kamu boleh cerita sama Ibu!" ujarnya, tidak ingin anaknya berlarut-larut dalam kesedihan.

"Aku benci Mamah Jessica!" tingkah manja Sabina sangat terlihat jelas oleh Naira. Ia merajuk saat kata-kata itu terucap dari kedua bibirnya.

"Memangnya kenapa sayang?" Naira begitu penasaran ketika semua ini berhubungan dengan Jessica. Mendadak amarahnya sedikit naik. "Apa Mamah kamu berbuat kasar sama kamu, sayang?" tanya Naira sekali lagi, ia ingin mendengar jawaban dari putrinya itu.

"Mamah Jessica melarangku untuk bertemu Ibu!"

"Apa? T-tapi kenapa?" Emosi Naira semakin naik. Ia tidak menyangka Jessica juga ingin mengambil Sabina darinya. "Lalu apa lagi yang ia katakan sama kamu, Sabina?"

"Dan Mamah juga bilang jangan pernah menghubungi Ibu lagi bila ada apa-apa sama Bapak!"

Dahi Naira mengkerut, ini sudah keterlaluan buatnya. Naira tidak merasa dirugikan bila ia merebut suaminya, tetapi Naira tidak akan membiarkan Jessica juga mengambil anaknya dan menghalanginya untuk bertemu.

"Jessica ... kau benar-benar keterlaluan!" gerutu hatinya sangat kesal.

"Bu, apa Ibu bisa kembali pada Bapak?"

"A-apa?" Naira tidak bisa menjawab itu dengan cepat. Pertanyaan itu membuat bingung dan ambigu untuk menjawabnya. "I-itu tidak mungkin, Sayang!"

Gadis kecil berusia 15 tahun itu berdiri di hadapan Naira. Matanya menatap nanar penuh kesedihan. "Aku mohon sama Ibu, kembalilah sama Bapak!"

Naira tersenyum getir. Ia di buat bingung dengan pertanyaan putrinya barusan. Rasanya itu tidak akan pernah mungkin, sebab, antara dia dan Yogi sudah tidak ada lagi cinta seperti dulu, apalagi, selama ia menikah, Naira tidak merasakan kebahagian. Sekarang hanya ada kebencian, hanya ada rasa sakit yang pernah ditorehkan Yogi di hati hingga berbekas sangat dalam. Naira, memegang bahu anak yang telah ia lahirkan dengan susah payah. Walau ia hanya merasakan selama 3 tahun merawatnya, tetapi ia merawat dengan kasih sayang.

Tetapi Sabina harus diambil paksa oleh Yogi. Tanpa peduli dengan perasaannya, dan selama bertahun-tahun itu juga ia dilarang bertemu dengan Sabina bahwa dipisahkan secara fisik, kontak batin maupun komunikasi. Tapi sekarang, gadis ini datang meminta bantuan untuk merawat Bapaknya, juga memintanya untuk kembali ke sisi Yogi yang sudah selingkuh dengan perempuan lain termasuk dengan sahabatnya sendiri.

"Sayang, antara Ibu dan Bapak sudah tidak ada apa-apa lagi. Bapak sudah tidak mencintai Ibu, begitu juga dengan Ibu. Dan masing-masing sudah menikah dan punya keluarga. Jadi ... Ibu rasa itu tidak akan mungkin terjadi. Biarkan Bapakmu bahagia bersama istri barunya, Ibu tiri kamu, Jessica. Begitu juga dengan Ibu, biarkan Ibu bahagia bersama suami baru Ibu. Tapi, ingat satu hal, Ibu akan selalu mencintai kamu sampai kapanpun."

"Siapa bilang Bapak tidak mencintai Ibu?"

"Bapak kamu sendiri sayang, dia--"

"Tidak Bu! Asal Ibu tau, Bapak selalu melihat foto Ibu selama beberapa tahun belakangan ini. Bahkan bapak selalu berkata masih mencintai Ibu, dia sangat menyesal telah menyakiti Ibu dan berharap Ibu mau memaafkan Bapak!"

"Apa?" Bibir Naira kelu, ia tidak bisa berkata apa-apa mendengar penuturan putrinya itu. Ia tidak menyangka, Yogi melakukan itu semua.

"I-itu tidak mungkin, mana mungkin Mas Yogi menyesalinya? Dan ... mana mungkin dia masih menyimpan fotoku?" bisik batin Naira.

****

Bersambung.

Next chapter