webnovel

Dilema

Setelah berbelanja, Daud mengajak Mayang jalan-jalan mengelilingi khawasan Kuta. Jujur Daud bilang lupa sama arah pantainya, Makanya mereka jalan-jalan dulu. Tidak masalah sih, malah enak bisa sambil foto-foto di beberapa tempat.

Banyak café berjejer. Mereka sepakat untuk di café sejenak sebelum ke pantai. Mengingat hawa masih panas. Apalagi, Mayang yang tidak tahan kalau berada di bawah matahari lama-lama. Beda dengan Daud yang sepertinya malah tidak sabar. Dia enggak masalah hitam. Malah kesannya tampak maskulin. Cowok banget.

"Panas, panas begini enaknya makan es krim, Bu." Daud menyodorkan es krim vanilla kepada Mayang. Padahal Daud tidak bertanya, tapi dia sudah langsung membelinya. Dan sangat sesuai dengan keinginan Mayang. Apakah ini yang dinamakan dengan cowok peka?

"Makasih ya, Daud." Mayang agak kikuk memanggil Daud. Kelu lidahnya. Ingin sekali Mayang memanggil Daud dengan sebutan Mayang, abang. Atau apalah yang terkesan romantis. Ini Bali lho! Masa mau yang biasa-biasa saja.

"Iya, sama-sama, Bu." Tuh kan, dipanggil Ibu. Mayang cemberut. Baru kali ini Mayang ngambek dipanggil ibu padahal biasanya tidak.

Daud terlihat menegak beer yang dia beli. Mengangkat tangannya. Memperlihatkan bulu ketiaknya. Jakunnya bergerak naik turun. Walaupun hanya beer, tapi terlihat begitu menikmati.

"Bu Mayang kok cemberut?"

Daud yang selesai minum, meletakan kalengnya di atas meja, memandang Mayang yang membuang pandangan. Pria itu terlihat berpikir keras atas ngambeknya Mayang.

"Kalau ngambek soal es krim jelas enggak mungkin. Apa mungkin karena Bu Mayang bosan saya panggil, Bu?"

Mayang langsung menoleh ke Daud. Hebat betul pria ini bisa menebak pikirannya.

"Betul kan Bu? Bu Mayang sudah bosan dipanggil ibu ya. padahal usia kita kan tidak beda jauh. Bagaimana kalau saya panggil Mayang saja."

Mayang berkedip-kedip. Masih takjub. Kalau itu cuma tebakan tapi tepat sekali.

"Supaya lebih enjoy, May. Bagaimana?" Nah kan Daud sudah mulai manggil nama.

"Boleh, tapi di Bali ini saja ya, sepulang nanti jangan panggil nama."

"Deal?"

Mayang kembali meneruskan menjilat es krimnya. Namun, dia dibuat salah tingkah karena dipandang Daud sambil senyum-senyum.

"Ada apa sih, Daud?"

"Kamu belepotan makannya. Sebentar."

Daud mengambil tissue yang digunakan untuk melap bibir sensual Mayang. Wanita itu terdiam. Tak bisa menahan gurat merah di wajahnya. Untung saja, di café itu hanya ada Bule yang terlihat cuek. Coba saja kalau orang indo, terutama cewek. Pasti akan menjadi biang gossip. Berondong sedang bermesraan dengan tantenya.

"Daud, kamu apa-apaan sih. jangan bersikap gitu dong." Mayang protes.

"Bersikap bagaimana sih? Kan cuma membantu melap bibir kamu."

'Yang kamu lap bibir, tapi kerasa sampai ke hati.'

"Nah gini kan cantik."

Tiba-tiba Daud merogoh sakunya, mengambil kamera.

"Sepertinya angkelnya bagus. Ayo aku foto."

Mayang tidak bisa mengelak. Gayanya langsung luwes berfoto. Pasti gara-gara ketularan Andini. Mayang yang kaku sekarang lebih fotogenik.

"Kamu memang cocok sekali jadi model, May. Udah cantik. gayanya luwes lagi."

"Ah, dari tadi kamu puji aku terus. Kalau aku melayang bagaimana?" Mayang berusaha untuk tidak kaku berbicara dengan Daud. Well setidaknya untuk saat ini.

"Melayang? Gimana ya?"

'Aduh kok oon banget sih Daud, bukannya dibalas dengan rayuan. Malah gitu, tapi enggak apa-apa deh. Memang untuk satu hal ini. Mayang harus bersabar. Daud memang bukan tipe pria yang suka melontarkan gombalan, atau mungkin dia hanya mau menggombal sama pacarnya saja ya?

"Masih panas ini. bagaimana kalau kita kembali ke homestay saja?" Mayang mengalihkan pembicaraan.

Daud terlihat menekuk lengan besarnya. Melihat arloji sporty di sana.

"Jam satu siang. Sebenernya sangat bagus buat berjemur. Tapi, kalau kamu maunya sore. Iya, enggak apa-apa kita kembali ke Homestay dulu."

Mayang tersenyum. Daud tidak memaksakan kehendak sekalipun ini adalah jam-jamnya dia bisa berjemur. Namun, Daud lebih melihat Mayang dulu dalam melakukan apa-apa. Duh, kurang enak apa coba jadi Mayang. Dimanjakan berondong.

Mereka kembali ke homestay, istirahat sebentar sebelum memulai petualangan yang sesungguhnya di Kuta.

Di Homestay, Daud membelikan dua buah air mineral yang satunya diberikan kepada Mayang.

Di dalam kamar, Daud langsung membuka bajunya, tubuh setengah telanjangnya kembali Mayang lihat. Untuk hal satu ini, Daud cuek tanpa izin dulu kepada Mayang apa keberatan atau tidak. Daud tidak tahu apa betapa darahnya berdesir melihatnya telanjang begitu.

Daud melemparkan tubuh gempal berototnya ke atas ranjang sampai terlihat memantul.

Udara kamar sudah sejuk karena AC tidak dimatikan ketika mereka pergi.

Tidur menelungkup, Mayang memperhatikan bagian belakang tubuh Daud. Pantatnya menyembul padat sekali, pantat lelaki. Tidak tipis, tapi menggembung seksi. Aduh, bisa-bisanya, Mayang memikirkan bagian tubuh itu. Semua perawakan Daud memang tidak luput dari perhatian Mayang. Membuat wanita setengah baya itu kelimpungan sendiri.

Dan sesuatu yang membuat kewanitaan Mayang berkedut adalah bagaimana seandainya Daud menelungkup. Menindih dirinya. Bagaimana Mayang bisa merasakan kehangatan dari tubuh kokoh itu. Kontak fisik dengan perawakan gempal berotot. Bercampur keringat bersama. Oh, indahnya. Mayang sampai tidak sadar menggigit bibir.

Mayang juga tiduran di ranjang sebelahnya. Mayang tidak bosan memperhatikan Daud yang tampak menempelkan wajahnya ke bantal. Sepertinya dia mengantuk dan lelah juga.

"May." Daud memanggilku.

"Kenapa?" Mayang menyahut meskipun matanya sudah agak terpejam.

"Nanti kita ke pantainya jam tiga-an ya."

"Kalau begitu, aku pasang alarm dulu." Mayang berkata. Lagi-lagi perannya sebagai wanita dibutuhkan. Untuk mengatur waktu. Jelas Mayang tidak mau kalau sampai terlewatkan. Bersenang-senang di Bali.

Mayang memasang alarm pukul tiga kurang seperempat. Dia sebenernya juga sangat kelelahan. Di pesawat tadi juga tidak bisa nyenyak tidur. Sekarang ada waktu istirahat, ya harus dimaksimalkan.

Mayang meletakkan ponsel di samping bantal. Namun, baru saja dia memejamkan mata tiba-tiba, panggilan dari Andini masuk.

Mayang melihat Daud yang sudah tertidur. Dia pun mengendap-endap keluar kamar untuk menelfon.

"May, kok kamu enggak ngabarin kalau sudah sampai di Bali?"

Mayang menepuk jidat. Bagaimana dia bisa lupa total dengan Andini?

"Aduh, Din. Maaf banget. Aku lupa."

"Hadeh, ya sudah sekarang kasih tahu aku kalian berada di mana?"

"Sementara, kita menginap di homestay, Din. Baru nanti ke hotel. Ini semua rencana Daud. Aku mengikut saja."

"Tapi kalian tidak tidur sekamar kan?"

Mayang tergeragap. Duh, harus jawab apa ini. Enggak mungkin dia bilang sekamar.

"Enggak kok Din, beda kamar kok. Tenang saja kamu."

"Syukurlah. Pokoknya kamu harus menolak kalau sekiranya Daud meminta kamu tidur sekamar. Jangan sampai dia ngapa-ngapain kamu." Andini mewanti-wanti.

"Baik, Din."

Telepon ditutup. Perasaan bersalah langsung menyelimuti Mayang. Berbohong dengan sahabatnya.

Mayang masuk ke dalam kamar tanpa suara. Dipandangnya Daud yang sedang mendengkur halus. Mayang menyentuh dadanya. Betapa hatinya kembali dilanda dilema.