23 Aksel Berbeda

Danita kembali pada ruangannya. Ia menyuruh Anna untuk istirahat saja dahulu.

"Bagaimana dia?"

"Pak Aksel tanya sama saya?"

"Kamu pikir saya tanya setan?"

"Maaf, Pak. Maksud Bapak itu Anna kan?"

Aksel menganggukkan kepalanya.

"Dia cukup membaik tapi kepalanya masih pusing."

"Suruh dia pulang."

Danita berdiri kembali karena hendak ke ruang kesehatan menemui Anna kembali.

"Kamu hubungi saja apa salahnya! Enggak perlu ke sana."

"Aaa iya Pak, maaf."

Aksel meninggalkan ruangan tersebut dan pergi ke ruangannya. 

Danita segera menghubungi Anna.

["Hah? Pulang? Enggak kesambet dia?"]

"Enggak tahu deh, ya sudah pulang aja."

Anna hanya mematikan panggilan tersebut dan tak lama kemudian ia berjalan ke ruangannya. 

"Loh kok malah ke sini, mau ngapain?"

"Mau kerja lah."

"Kamu kan disuruh pulang, Anna."

"Kalau di rumah yang ada aku makin pusing, Danita."

Danita menghela napasnya dan memegangi keningnya sendiri kemudian melanjutkan pekerjaannya. 

***

"Kenapa perempuan itu bisa buat kacau lagi di sini?"

"Saya juga enggak tahu, mereka bilang katanya sudah dilarang. Kamu tahu sendiri gimana mantanmu itu."

"Kalau bukan karena perusahaan, saya juga enggak akan kencan dengan perempuan itu!"

"Tapi kamu suka."

"No! Hanya dia yang begitu, bukan saya."

"Setelah namanya buruk mungkin dia akan menggila atau tenggelam."

"Saya rasa dia bisa saja tenggelam, tapi melihat gelagatnya bisa juga makin menggila."

Edric menghela napasnya. "Anna gimana?"

"Pusing katanya."

"Kamu enggak lihat kondisinya?"

"Sudah."

"Ya sudah, tidak ada lagi yang mau dibahas kan. Saya keluar dulu."

Aksel hanya berdeham saja dan memegang lehernya yang pegal. Edric keluar dari ruangan Aksel terkejut melihat Anna yang duduk di kursinya.

"Loh kamu memang sudah baikan, Anna?"

"Sudah kok, Pak."

"Kalau memang masih sakit, pulang saja enggak apa-apa."

"Saya lanjut kerja saja, Pak. Terima kasih."

"Okay."

"Kamu lihat kan mending Pak Edric aja deh yang jadi CEO nya dibanding Pak Aksel."

"Ya gimana kan ini memang punya Pak Aksel kan?"

"Iya sih, benar. Tapi, Pak Edric itu baik, ramah, perhatian," Danita tak sengaja memuji Edric seraya tersenyum sendiri membuat Anna tertarik memperhatikan sahabatnya tersebut.

"Kamu suka sama Pak Edric?"

"WHAT! Enggak lah, gila apa, hahahaha enggak!"

"Ya sudah jangan panik gitu kali, Dan," Anna terkekeh melihat Danita yang terlihat gugup menjawab pertanyaannya. Padahal kalaupun Danita mengakuinya pun Anna tidak memiliki masalah. 

Bruk! Aksel membanting pintunya dan membawa jasnya keluar ruangan, ia melihat Anna yang berada di sana. "Bukannya anak ini saya suruh pulang."

Aksel berjalan menuju meja kerja Anna dan berada tepat di hadapan Anna. "Bukankah saya suruh kamu pulang?"

"Maaf Pak, tapi saya enggak apa-apa kok."

Setelah Anna mengatakan jawaban itu, Danita ditatap oleh Aksel. "Saya sudah bilang kok, Pak. Tapi memang Anna enggak mau pulang."

Tak ada jawaban atau perlakuan tak menyenangkan dari Aksel. Ia berlalu begitu saja. Merapikan pakaiannya dan meninggalkan kantor tersebut. Ia pergi pada suatu tempat seorang diri tanpa Edric.

"Apa kabarnya Pak Manajer yang kaya ini?" 

Sang Manajer yang sempat membuat kekacauan kini hanya meringkuk pada penjara Aksel. Ia memiliki sebuah ruangan rahasia hanya untuk menghukum mereka yang bermacam-macam pada Aksel. Bukan tanpa alasan ia melakukan hal tersebut. Akan tetapi hal ini karena kekacauan yang mereka sebabkan akan merusak reputasi Aksel jika diserahkan langsung ke polisi.

Namun, Aksel juga tetap memberi kebijakan untuk menyerahkan orang yang bersalah pada pihak kepolisian jika memang tak ada urusan yang membahayakan untuknya.

"Pak, apa tidak ada hukuman lain?"

"Oh tentu! Ada, kamu mau pilih yang instan atau lambat seperti ini?"

Manajer tersebut hanya menelan ludahnya paksa. Ia paham betul apa yang Aksel maksud dengan cara instan hanya akan menyiksanya habis-habisan. 

"Kenapa diam?"

"Keluarga saya bagaimana, Pak? Saya punya anak dan istri."

"Apa saya harus memikirkan urusan keluargamu?"

"Tapi ini sudah 2 minggu saya belum mengabari mereka, Pak," lirih manajer tersebut karena mungkin ia memang mengkhawatirkan keluarganya.

"Hah! Pecundang menangis? Lemah sekali! Berikan apa yang kalian dapatkan sama si cengeng ini!"

Aksel melangkah meninggalkan ruangan tersebut dan orang suruhannya memberikan amplop pada manajer tersebut atas perintah Aksel. 

"I—ni apalagi? Apa ini denda?"

"Buka saja!"

Tidak ada kata apa pun yang keluar dari bibir manajer tersebut selain tangisannya. Ia menjadi terlihat tak seperti yang melakukan kejahatan. 

"Simpan! Pak Aksel masih berbaik hati padamu!"

"Bagaimana bisa ini?"

"Kamu tuli apa yang saya bilang barusan?!"

"Ta—pi bukan seperti Pak Aksel."

"Wajar! Kamu tidak patuh padanya."

Orang suruhan Aksel pun pergi untuk duduk di pintu depan. Menghisap rokoknya kembali dengan kaki bertumpu di atas meja. 

"Ada masalah?"

"Sampai saat ini tidak, Pak. Semuanya menurut."

"Bagus!"

"Pak Aksel mau ke mana?" tanya seorang pesuruh yang berada di sana. 

"Saya hanya ingin memeriksa sebentar karena ada urusan lain."

"Bapak sudah lama sekali tak ke mari, mungkin bisa minum dahulu, Pak?"

Aksel terlihat berpikir dan akhirnya menyetujui untuk beristirahat sejenak.

"Wine, kopi, teh…" 

"Kopi saja."

"Baik, Pak."

"Ada pihak keluarga yang merengek pada kalian?"

"Sejauh ini masih masalah yang lama, Pak. Tapi ada sedikit kecurigaan saya dengan proyek yang akan bapak bangun."

"Di mana?"

"Di daerah rencana yang akan dibangun Mall."

"Memangnya ada apa?"

"Saya dapat info katanya di sekitar tempat itu banyak tempat bermain dan sering ada yang transaksi."

"Menarik!"

"Ha?"

"Kamu selidiki sampai tuntas, lalu kabari saya."

"Siap!"

Aksel meminum kopinya seraya memikirkan sesuatu. Entah apa yang membuatnya berpikir seperti itu. Setelah beberapa saat akhirnya Aksel pergi meninggalkan tahanan tersebut. Ia melaju kencang dan kembali ke kantor.

Namun, saat itu ia kembali saat hari mulai malam. Kantor sudah sangat sepi. Seperti biasa kantor tersebut menyisakan Anna seorang. Semenjak kedatangan Anna bergabung pada perusahaan tersebut ia menjadi orang yang sering pulang terlambat namun pergi paling dahulu.

"Naik! Saya antar!"

"Tak usah, Pak. Saya tunggu Bus saja. Mungkin enggak lama lagi "

"Ada yang mau saya bicarakan, cepat naik!"

Tidak ada penolakan dari Anna lagi, sebab sudah tak ada pilihan untuknya.

"Maaf, apa yang ingin Bapak bicarakan?"

"Masalah Cathlin."

"Oo mantan Bapak yang seksi itu," nada dan raut wajah dari Anna berubah seketika saat Aksel menyebut nama Cathlin. 

"Saya tidak suka minta maaf, tapi ini harus."

"Lalu?"

"Ya sudah kamu harus maafkan kekacauan tadi."

"Kalau memang enggak niat minta maaf mending enggak usah, Pak."

Aksel berhenti memandangi Anna "Apa kamu bilang?"

"Ha?" Anna heran mengapa Aksel sampai menghentikan mobilnya.

avataravatar
Next chapter