webnovel

Akhir Cinta Avissa

"Kok ada ya makhluk seperti kamu di bumi ini. Gendut, item, pake kacamata tebel. Kayak elien. Nggak ada sisi bagusnya. Enek lihatnya." Ardian mendorong jidat Avissa dengan jari telunjuknya hingga gadis itu terjengkang. Kemudian Ardian tertawa terbahak-bahak diikuti oleh kedua temannya. Avissa hanya bisa memeluk tasnya dengan takut, tanpa bisa melakukan perlawanan. Ya, seperti itulah teman-teman Avissa Maharani memperlakukan dirinya. Bukan hanya Ardian, tetapi juga teman-teman yang lainnya. Avissa maharani, Seorang siswi SMA yang tidak good looking, selalu menjadi bulan-bulanan teman-temannya dan juga kakak tingkatnya. Sampai suatu saat, avissa hampir putus asa dan mengakhiri hidupnya karena tidak kuat lagi menghadapi bully-an. Beruntung, dia diselamatkan oleh seseorang. Pada saat itu, Avissa nekat melakukan sesuatu agar hidupnya bisa berubah. Kalau memang dia tetap hidup, dia harus berubah. Berhasilkah dia melakukan sesuatu tersebut? Bagaimana kehidupan dia setelahnya? Akankah dia membalas dendam kepada orang-orang yang telah membullynya tanpa rasa bersalah?

Roisatul_Mahmudah · Urban
Not enough ratings
20 Chs

Ingin Terlihat Sempurna

Siang itu, Avissa Maharani duduk manis di jok belakang motor sport milik Alul. Dilihat dari motor sport yang keren keluaran terbaru yang tergolong mewah itu, dapat disimpulkan bahwa Alul bukan berasal dari keluarga yang sembarangan. Dia pasti berasal dari keluarga yang berada.

Rani hanya diam. Tidak bisa menikmati perjalanan seperti biasanya. Otaknya masih berputar, dia berpikir bagaimana caranya agar dia bisa benar-benar menghancurkan Ardian dan Novita tanpa direcoki oleh alul. Namun, meskipun makhluk ini dianggap sebagai ancaman oleh Rani, hati kecilnya masih mengatakan bahwa ada ketulusan dari apa yang dilakukan oleh alul kepadanya.

Dia memang laki-laki yang cengengesan dan celometan. Namun, dia tahu betul bagaimana cara memperlakukan wanita.

Ditengah-tengah perjalanan, terdengar suara perut berbunyi. Itu suara perut Rani. Dia memegangi perut, Malu. Saat itu motor berjalan pelan, jadi alul mendengar betul suara perut Rani.

"Kamu lapar?" tanya Alul di sela deru suara angin.

"Nggak."

Hening. Alul tidak merespon apa-apa, dia hanya tiba-tiba saja membelokkan motornya di sebuah rumah makan.

"Kenapa kita kesini?" tanya Rani yang masih duduk di atas motor.

Alul mematikan mesin motornya, melepaskan dan meletakkan helm di atas stang motor.

"Numpang ke kamar mandi. Ayo turun!"

"Nggak mau."

"Nini Thowok, Jangan keras kepala. Aku tahu cacing di perut mu itu sudah jerit minta dikasih makan. Ayo turun!"

Sebenarnya Rani memang sangat lapar. Karena memang dia tadi pagi tidak sarapan. Memang seperti itu kebiasaan Rani, dia tidak mau makan banyak karena menjaga berat badannya. Dia benar-benar tidak mau kembali gemuk. Saat ini yang terpenting baginya, adalah mempunyai tubuh dan wajah yang cantik. Supaya tidak ada lagi yang merendahkan dan menginjak-injak seperti dulu.

Rani memegang perutnya, memang perih sekali rasanya. Namun, dia memang masih gengsi.

"Kalau aku bilang enggak mau ya enggak mau. Kita pulang sekarang!"

Alul benar-benar geregetan dengan sikap Rani. Sudah jelas Dia kelaparan, masih saja gengsi. Alul segera turun dari motor, agak sedikit ribet karena di belakang masih ada Rani yang tetap duduk sambil cemberut.

"Turun!"

"Nggak mau."

Alul tidak bisa lagi bersabar. Dia segera beraksi dengan melingkarkan tangan di pinggang Rani lalu menurunkan Rani dari motor. Tentu saja gadis itu teriak-teriak seperti orang kesetanan.

"Heh, Apa-apaan sih sapu, Jangan kurang ajar ya." Rani berteriak sambil mengibas-ngibaskan kakinya, dan tangannya menepuk-nepuk pundak Alul.

Alul tidak mengindahkan ucapan Rani, dia mengangkat tubuh pacar 2 bulannya dengan tangan kanan. Tubuh Rani yang saat ini sudah ramping tentu saja sangat mudah bagi Alul untuk mengangkatnya dengan cara melingkarkan tangan di pinggangnya. Alul membawa Rani menuju ke dalam rumah makan. Meskipun ada beberapa yang menatap mereka. Namun, Alul hanya mengangguk sambil tersenyum seraya berucap bahwa semuanya baik-baik saja dan itu hanya sebuah candaan.

Setelah sampai di sebuah meja kosong Alul segera menurunkan Rani.

"Jangan kurang ajar ya kamu." Rani melotot ke arah alul sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke rok dan baju.

"Makanya nggak usah gengsi. Duduk situ, Nini Thowok sayang."

"Sekali lagi panggil sayang, kupastikan ada sepatu yang melayang."

"Sekalian, kalau mau melempar sepatu sekalian sepatu mahal sepasang ya? Sini aku tunggu." Alul tersenyum dengan gaya tengilnya. Lalu dia segera duduk di kursi. Rani masih mematung ditempatnya dengan cemberut.

"Duduk! Apa mau dipaksa lagi? Atau mungkin sengaja ya mau dipaksa-paksa biar digendong lagi?"

Rani semakin memelototkan matanya. Dengan kesal, dia melangkahkan kakinya menuju ke kursi berhadapan dengan kursi Alul.

Tak lama kemudian, seorang pelayan menghampiri mereka dan menyodorkan buku menu.

"Smoothies alpukat aja 2 porsi," ucap Rani.

"Jangan alpukat. Cari yang lain. Kamu makan nasi."

"Aku mau jus alpukat saja. Itu sudah cukup memenuhi nutrisiku. Jadi kamu jangan sotoy."

"Ish, gadis ini kenapa keras kepala banget sih. Nggak usah makan jus alpukat, minum air putih aja yang banyak. Terus pesan makanan berat supaya perut kenyang."

"Aku cuma mau smoothies alpukat saja. Kenapa kamu harus mengatur-atur seperti itu."

"Mohon maaf mas, mbak. Ini mau pesan apa mau lanjut bertengkar dulu. Kalau masih butuh waktu untuk bertengkar saya ke yang lain dulu." Pelayan itu pun geregetan dengan tingkah laku dua remaja yang ada di hadapannya.

"Maaf ya mbak. Dia memang selalu seperti itu. Smoothies alpukat aja dua porsi," ucap Rani ramah.

"Kenapa kamu keras kepala sih. Harusnya kamu makan makanan yang berat, jangan minum jus alpukat. Kamu harus benar-benar menjaga kesehatan, karena kamu lagi hidup dengan satu_" suara Alul tertahan. Dia terdiam tidak meneruskan kata-katanya.

"Hidup dengan satu apa? Hah? Coba teruskan?"

Saat itu Rani mulai curiga. Apakah Alul tahu kalau dirinya hidup dengan 1 ginjal? Lalu siapa sebenarnya dia?"

"Nggak. Aku cuma ingin kamu makan-makanan yang normal aja. Enggak usah terlalu diet. Jadilah diri kamu sendiri yang tidak terlalu membatasi diri."

"Aku perempuan. Jadi wajar kalau aku harus menjaga berat badan. Kenapa kamu bawel melebihi mama?"

"Apa bagusnya punya tubuh kerempeng seperti itu. Makan sewajarnya, tubuh kamu juga butuh nutrisi. Tubuh ramping itu bukan jaminan kita akan bahagia."

"Apakah kau fikir mempunyai tubuh yang tidak proporsional itu juga akan bahagia? Apakah kamu pernah merasakan diinjak-injak oleh orang lain dan direndahkan karena tubuhmu gendut dan tidak enak dipandang karena kelebihan berat badan? Pernahkah kamu merasakan itu? Pernahkah kamu diejek habis-habisan karena kamu gemuk? Tidak pernah kan? Makanya kamu diam. Kamu nggak tahu apa-apa sama sekali." Rani menatap dengan tatapan tajam. Matanya membulat dan merah, sepertinya kata-kata alul benar-benar melukai hatinya. Dia segera berdiri menahan air mata yang akan segera jatuh.

Rani memang tidak pernah bisa menahan air mata ketika dia mengingat masa lalunya. Diambil secara kertas yang tadi diletakkan di atas meja lalu dia bersiap pergi. Namun, Alul segera menahan lengan Rani.

Sementara si mbak pelayan hanya terbengong lihat perdebatan dua anak manusia yang tidak ada akhlak itu.

"Rani, Maaf aku nggak bermaksud_"

"Lepasin! Sejak awal aku bertemu denganmu, kamu memang selalu merecoki hidupku."

Rani mengibaskan tangannya dan segera berlari. Alul pun segera mengejar dan meraih tangan Rani.

"Berhenti!" Tangan Alul mencengkeram lengan Rani erat. Rani pun mau tidak mau menghentikan langkahnya.

"Lepasin!"

"Aku hanya ingin membuat kamu menjadi dirimu sendiri. Aku hanya ingin melihatmu bahagia tanpa ada yang dibuat-buat. Bahagialah, berbahagia dengan lepas tanpa ada batasan ini itu. Itu saja yang aku inginkan. Sampai kapanpun Kamu tidak akan bisa bahagia kalau kamu terus membatasi diri demi terlihat sempurna dimata orang lain."

Rani menunduk. Saat itu rasanya dia ingin berteriak. Dia merasa apa yang dikatakan Alul itu selalu benar, meskipun dia selalu mencoba mengingkari.