webnovel

After Found You

Tak pernah Nira sangka, jika dirinya yang lebih tua dari pada sepupunya ternyata sulit sekali mendapatkan seorang kekasih. Bahkan, di saat usianya yang sudah matang. Satupun laki-laki yang dekat dengannya pun tidak ada. Parahnya, adik sepupunya menikah lebih dulu darinya. Sampai Nira bertemu dengan seorang laki-laki yang menghidupkan hari-harinya. Bagaimana kisahnya?

Annelysme · Urban
Not enough ratings
4 Chs

Tempat Singgah Nira

Nira mengetuk-ngetuk meja kubikelnya dengan perasaan tidak tentram.

Pekerjaannya tidak ia lakukan dengan sepenuh hati, mengingat bagaimana pikiran lain yang menyitanya.

Sejak tadi, banyak sekali typo yang Nira buat. Nira lebih banyak membenarkan typo daripada melanjutkannya.

Ah, otaknya benar-benar blank siang ini. Nira perlu asupan nutrisi untuk otaknya.

"Nir, Pak Awan manggil lo tuh. Mau nagih revisi laporan sales kemarin yang belum beres."

Nira mengangkat kepalanya, baru ingat kalau dirinya masih punya utang dengan Pak Awan, manager pemasaran di kantor tempatnya bekerja.

"Arum, aku lupa! Kemarin belum sempet aku kerjain. Soalnya, perusahaan penerbitan yang ngontrak aku nyepam mulu." Nira menggoyang-goyangkan tubuh Arum panik.

Arum adalah salah teman terdekatnya, kubikel Arum pun tepat di sampingnya.

"Ya salah lo. Harusnya lo bisa atur mana yang lebih cepet dikumpulin sama yang enggak." Arum cuek, memilih meneliti berkas yang dikerjakannya.

"Yah, Rum. Masa nggak kasihan sama aku? Aku temen kamu lho, nanti kalau didepak sama Pak Awan gimana? Kerjaanku pupus dong!"

Arum mengetuk dahi Nira dengan pulpennya. Nira ini sebenarnya orangnya lebaynya kebangetan kalau sudah dekat sama seseorang. Image-nya yang kalem itu sebenarnya bohongan. Aslinya mah—petakilan.

"Udah sana temuin Pak Awan dulu. Paling-paling kena SP-1." Arum mendorong Nira keluar dari kubikelnya.

"Rum! Aku bilangin sama Mas Bagas nih, istrinya nggak setia!" ancam Nira dari luar kubikelnya.

Arum menegakkan tubuhnya, terpaksa harus menghadapi kekeras kepalaan Nira dengan cara yang lebih bermutu.

"Bilang aja sama Mas Bagas, dia nggak percaya. Gue istrinya, lo siapa? Palingan Mas Bagas nggak kenal."

"Hey, kamu lupa. Mas Bagas pernah jadi kakak kelas aku, aku tinggal bilang aku sahabat baiknya Arum pasti dia percaya." Nira masih ingat kalau Bagas, suami Arum adalah kakak kelas di sekolahnya dulu.

"Nggak ada sahabat baik yang jelek-jelekin sahabatnya, Nira." Arum menepuk kepala Nira, "udah ah, lo pergi aja temuin Pak Awan. Sebelum dikasih SP-1." Arum mendorong tubuh mungil Nira menuju ruangan Pak Awan yang masih di area manajemen pemasaran.

"Sana, ketuk pintu ucap salam sebelum masuk." Arum meningalkan Nira di depan pintu ruangan Pak Awan.

Nira menatap Arum yang kembali ke kubikelnya sendiri. Nira itu deg-deg-an nggak karuan tahu, ngadepin Pak Awan benar-benar menyeramkan.

Tok tok tok

"Assalamu'alaikum, Pak Awan. Saya Nira."

"Wa'alaikum salam, Nira. Masuk saja."

Nira memutar pelan kenop pintu ruangan Pak Awan. Dadanya masih berdebar tak karuan, dirinya begitu bodoh lupa mengerjakan sesuatu yang begitu penting ini.

"Saya kira kamu tidak datang."

Nira mengangkat kepalanya, menatap Pak Awan yang tersenyum kecil kepadanya.

Pak Awan itu tipe pejabat musiman. Kadang baik, kadang kejam, kadang santai, kadang galak. Sifatnya itu bisa berubah-ubah tergantung bagaimana kerja bawahannya.

Nira menarik kursi untuk didudukinya, "Revisi laporan sales kemarin masih dalam tahap pengerjaan, Pak."

Lebih baik Nira jujur dan langsung pada intinya saja. Itu lebih baik.

Raut wajah Pak Awan berubah dingin, tuh kan Nira bilang apa. Pak Awan itu pejabat musiman, kalau berbuat kesalahan begini pasti langsung marah.

"Saya sudah memberi kamu waktu seminggu, Nira. Itu waktu yang lebih cukup untuk menyelesaikan revisi laporan sales."

"Iya, Pak. Tapi, seminggu kemarin saya ditanya soal deadline terus, Pak. Jadinya, saya tidak bisa selesai hari ini. Saya benar-benar minta maaf, Pak." Nira menunduk hormat, "nanti jam makan siang, saya janji akan langsung saya kumpulkan, Pak."

Pak Awan menghela napas, "Ya sudah. Karena kamu sebelumnya disiplin dan rajin—saya maafkan. Nanti jam makan siang laporannya harus sudah ada di meja saya. Mengerti?"

"Mengerti, Pak!" tubuh Nira langsung tegak begitu saja diberi perintah mutlak oleh atasannya.

"Bagus. Kamu boleh pergi." Pak Awan mengusir Nira untuk segera pergi.

Nira mengangguk, "Permisi, Pak."

"Gue kayak cacing kepanasan beneran dah. Hari ini kok gerah banget sih!" seru perempuan berambut blonde yang sibuk menegak esnya.

"Lo pikir gue nggak? Gue juga panas, apalagi AC-nya nggak adem-adem banget."

"Panasnya nggak nahan bener dah," celetuk yang lainnya.

"Duh-duh, udah ya? Marmut-marmut.Kalian ini bener kepanasan karena matahari apa karena liat Doi gandengan sama yang lain?" Arum tiba-tiba datang sambil membawa nampan di pelukannya.

Senyum jahil terukir di bibirnya. Arum itu orang paling jahil sedunia, mulutnya lemes tak terkira.

"Eh, Rum! Jangan ngasal ya lo, gini-gini gue setia sama suami!" protes perempuan berambut blonde—Emmely. "Kesetiaan yang tak terbatas waktu."

"Ah, bener tuh kata Ely. Kita tuh istri setia!" sahut yang lain, namanya Tina.

"Lo jangan nyebar gosip aneh deh, Rum. Kita 'kan se-genk, Sist." Mira ikut menyahut.

Arum terkekeh, ikut duduk di lingkaran istri-istri yang kesetiaannya tak terbatas waktu. "Terus, kalau nggak panas lihat Doi sama yang lain, kenapa? Padahal di luar mendung gitu."

"Tuh!" Emmely menunjuk sudut kantin yang bersebelahan dengan ruangan fotocopy, di sana ada Nira yang sibuk fotocopy.

Arum menoleh, "Kok Nira ikut-ikutan? Dia nggak nimbrung sama kalian loh!"

Saat melihat Nira, Arum kaget—Nira kelihatannya adem ayem tanpa beban gitu. Malah sempet-sempetnya senyum nggak jelas, padahal lagi dihukum jadi babunya Pak Awan.

"Pikir aja, Rum." Tina menyentil lengan Arum, "selama ini yang kelihatannya deket sama Pak Tama tuh Nira. Tapi, tadi lo lihat sendiri—Pak Tama malah jalan sama Bu Salwa. Gimana hati nggak panas coba?"

Selama ini, gosip tentang Nira dan Pak Tama itu sudah mendarah daging sampai ke akar-akarnya.

Pak Tama itu, manager SDM yang handal, profesional dan banyak sekali nilai plus-plusnya. Sedangkan Nira itu, karyawan biasa yang cerobohnya minta ampun—nggak terkenal pula.

Mereka ketahuan jalan bareng saat rapat mingguan, kebetulan waktu itu rapatnya diadakan di luar kantor.

Nira waktu merangkap jabatan jadi babunya Pak Awan, maklumlah Pak Awan nggak mau punya sekretaris.

Salah satu sekretarisnya manager yang ratunya gosip menyebarkan foto mereka sedang berbincang-bincang ria, mojok pula.

Mulai saat itu, semua orang mikirnya Pak Tama sama Nira itu sepasang kekasih.

Namun, kenyataannya Pak Tama malah gandengan sama Bu Salwa. Kurang nyesek gimana coba?

"Halah, kalian ngawur! Walaupun berita kayak gitu udah kesebar ke mana-mana. Gue yakin, Nira sama Pak Tama itu nggak ada hubungan. Kalian nggak tahu apa, gimana kupernya Nira? Dia tuh, mana mikir pacaran. Di otaknya aja isinya, deadline-deadline. Kalau nggak gitu, Ayah sama Ibu di rumah mau makan apa kalau sibuk pacaran?"

Arum mengungkapkan fakta buruk tentang Nira dengan begitu gamblangnya. Seolah-olah semua itu bukan apa-apa.

"Bener juga lo. Nira mana mikir pacar, ditinggal nikah sama sepupunya aja dia biasa aja." Tina menyetujui, "tapi gue nggak terima! Gimanapun kita harus comblangin Nira sama Pak Tama!"

"Tina Toon! Mulut lo!" Emmely membungkam mulut Tina yang asal ceplos dengan suara gaspol. "Lo dibilang gila, nyesek nanti!"

"Maaf-maaf, gue semangat banget nih bawaanya." Tina tersenyum lebar.

"Udahlah, Sist." Mira yang paling kalem dari ketiganya menyahut. "Menurut gue nih, Sist. Coba tanya dulu kebenarannya sama Nira. Mereka beneran ada hubungan apa enggak. Kalau ada kita cus, comblangin mereka."

"Tumben, Mir. Otak lo isinya bukan, berlian gue mana nih? Yuk Sist, nyalon kuy! Perawatan wajah gih, gue bayarin," ledek Tina yang tidak mau diam.

Mira terkekeh, "Lo nggak tahu gue aja, Sist. My husband is kere now."

Ketiganya kompak tertawa.

"Your husband, kere? Mana mungkin jurangan emas kere, Sist? Bwahaha ...." Arum tertawa ngakak.

"Duh, diem deh. Ada masanya orang kaya itu merendah, Sist. Gue ngaku suami gue kere itu artinya gue merendah, Sist." Mira mengangkat dagunya tinggi-tinggi.

Mira itu adalah orang paling kaya di perkumpulan mereka. Suaminya itu jurangan emas, perusahaannya dari Sabang sampai Merauke pun ada.

Anehnya, Mira lebih memilih menjadi karyawan biasa daripada duduk santai di rumah mewahnya.

"Serah lo deh, Mir." Emmely mengusap sudut matanya yang berair, "jadi bahas Nira and Pak Tama nggak nih?"

Mereka bertiga sadar, mereka sudah ngawur bicara sampai ke mana-mana padahal tujuannya bukan itu.

"Ide Mira yang tadi oke juga, boleh dicoba," sahut Tina yang masih ingat ide bijak Mira.

"Mira Ratu gitu loh," sombong Mira sambil memamerkan cincin emas bertabur berliannya.

Arum menggeplak tangan Mira seketika, "Ini serius, Bu Jurangan!"

Mira itu mengacaukan suasana saja, bikin darah mendidih.

"Sory, Sist. Kebiasaan lama ini mah. Maklum, di rumah yang kayak gini banyak."

"Abaikan." Emmely mengangkat tangannya menyerah, menghadapi Mira yang tak pernah serius itu percuma. Jadinya kita ketularan.

Mereka mulai pada mode serius.

"Kalau tanya sama Nira percuma, dia pasti nggak jawab cuma mesem aja. Kalau nggak gitu—lola. Dia malah balik tanya, percuma."

Arum menolak ide itu, bertanya pada Nira soal masalah beginian tidak akan ada hasilnya Nira itu susah nyambung—lebih baik nggak usah aja.

Emmely menatap Nira yang sudah tidak ada di ruang fotocopy, "Orangnya nggak ada, udah pergi."

Tina, Arum, dan Mira kompak menoleh pada ruangan fotocopy. Nira sudah pergi entah sejak kapan.

"Nira itu anehnya kebangetan ya? Kita di sini nggak disamperin, waktunya santai-santai malah kerja keras. Tu anak kurang piknik kali ya?" ceplos Tina.

"Tina bener. Gue pikir di antara kita berlima cuma Nira yang paling waras nyatanya sama aja, walaupun kalem dan pendiem, Nira itu kelakuannya minta digeplak beneran," sahut Emmely yang sejujurnya kadang jengkel dengan kelakuan abnormal Nira.

"Kalian kayak nggak tahu dia aja. Nira emang ajaib, isi otaknya aja nggak ada yang tahu. Apa karena itu juga dia jadi karyawan kesayangannya Pak Awan?" Arum menelungkupkan tangannya, makanan yang ia beli dari tadi pun belum disantapnya.

"Bukan kesayangan kali, malah karyawan yang sering di-bully sama Pak Awan!"

"Nggak inget apa? Tiap ada salah kecil yang dibuat Nira, Pak Awan selalu jadiin Nira babu. Walaupun dia ngomong, kamu karyawan yang disiplin dan rajin, tetep aja jadi babu."

Mira menatap ketiganya bergantian, "Pak Awan emang missquen banget ya, Sist? Karyawan sendiri jadi babu."

"Mira!!"

Ingatkan ketiganya untuk mengeplak kepala Mira setiap saat.