webnovel

After Found You

Tak pernah Nira sangka, jika dirinya yang lebih tua dari pada sepupunya ternyata sulit sekali mendapatkan seorang kekasih. Bahkan, di saat usianya yang sudah matang. Satupun laki-laki yang dekat dengannya pun tidak ada. Parahnya, adik sepupunya menikah lebih dulu darinya. Sampai Nira bertemu dengan seorang laki-laki yang menghidupkan hari-harinya. Bagaimana kisahnya?

Annelysme · Urban
Not enough ratings
4 Chs

Penjelasan Tak Terduga

Bagi Nira, kesalahpahaman itu perlu sekali untuk diluruskan—apalagi jika menyangkut nama baik kedua belah pihak.

Dan sekarang lah saatnya.

Sejak kejadian itu, Anja terus saja menerornya dengan berbagai pesan. Enjina pun tak mau kalah, sepertinya kedua orang itu bersekutu untuk mencari kebenaran darinya.

Namun, Nira masih beruntung—kedua adik sepupunya itu tidak memberitahukan masalah ini pada anggota keluarga yang lain.

Kalau itu terjadi, entah apa jadinya nanti.

"Mbak Nira itu diem-diem bahaya. Masa bawa laki-laki masuk ke dalam rumah, pakek minta baju lagi." Anja mulai mengeluarkan opini ngawurnya.

"Aku juga nggak nyangka. Aku pikir Mbak Nira itu polos nggak pekaan, nggak suka sama cowok. Nyatanya, Mbak Nira berani ngajak cowok masuk ke dalam rumahnya." Enjina pun ikut-ikutan.

Nira memijat keningnya, "Bukan begitu. Laki-laki itu adalah temanku, namanya Anden. Waktu itu dia kehujanan terus numpang mandi di rumah aku—aku izinin karena kasihan. Soal baju-bajunya 'kan basah, dia juga nggak bawa baju ganti."

"Tetap aja, Mbak. Bahaya tahu, Mbak tahu gimana khilafnya laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa. Seharusnya Mbak nggak nglakuin itu."

"Iya, aku tahu aku salah. Tapi mau bagaimana lagi? Semuanya sudah kejadian, lagipula kami tidak melakukan apa-apa."

"Mencurigakan?" Enjina menumpu dagunya menatap menyelidik Nira, "melihat sifat Mbak yang nggak bisa ditebak ini. Semuanya bisa aja mungkin. Apalagi Mbak udah ketahuan bawa cowok masuk ke dalam rumah."

"Astaga, Enji!" Nira memekik spontan, "pemikiran dari mana itu?! Aku nggak kayak gitu!"

Otak Enjina yang sulit ditebak ini selalu saja membuat siapa pun akan salah paham mendengarnya.

"Mbak Nira nggak usah ngelak lah! Kalian berdua udah sama-sama dewasa dan hal itu mungkin aja terjadi." Anja menengahi, "lagian, kalau disuruh menikah masa Mbak nggak mau?"

"Eh? Nggak boleh!" Bukan Nira yang menyahut tapi Enjina yang menyahutnya. "Aku maunya, Mbak Nira nikah sama Mas Leiko bukan si Ande-Ande Lumut itu!"

"Anden, Enji. Bukan Ande-Ande Lumut!" tegur Nira yang salah menyebutkan nama, nama adalah sesuatu yang berharga yang patut dilindungi.

"Sama aja, Mbak. Pokoknya, aku nggak mau kalau Mbak Nira nikahnya sama Ande-Ande Lumut, titik."

Nira memijat kepalanya yang pening, Enjina begitu keras kepala. Nira melirik Anja yang kurang lebih sama pusingnya.

"Enji, kamu harus ngertiin perasaan Mbak Nira. Mau bagaimanapun juga, kalau Mbak Nira maunya sama Mas Ande, kamu nggak boleh paksain." Anja yang berumur lebih muda dari keduanya mengatakan itu seolah-oleh lebih dewasa.

Enjina memberengut tidak terima, Enjina itu tim sukses 'Leiko love Nira' bukan 'Ande-Ande Lumut love Nira'. Enjina tidak terima kalau Nira menikah dengan Ande-Ande Lumut itu.

"Terserah kamu mau bilang apa, Anja. Pokoknya aku maunya Mbak Nira sama Mas Leiko." Enjina menjauh dari keduanya.

Anja bertatapan dengan Nira saling memberi kode. Nira hanya tak paham menangkap kode yang Anja berikan.

"Mbak Nira di sini aja, Anja susulin Enjina." Anja meraih tasnya dan langsung berjalan mengejar Enjina.

Nira mendesah, memangku dagunya. Kenapa harus serumit ini? Niatnya padahal baik untuk membantu Anden, tapi, kenapa malah diberi kesulitan seperti ini?

Kling

Nira menegakkan kepalanya mendengar suara notifikasi dari ponselnya.

Anja : Mbak Nira, aku udah dijemput sama Mas Allard. Enjina tadi aku lihat masuk ke mobilnya Marko, Mbak Nira pulang aja. Soal yang tadi, kapan-kapan aja dibahasnya.

Begini resiko memiliki saudara yang sudah menikah. Pasti semuanya sibuk sendiri dan lebih mementingkan suaminya.

Nira mengetuk-ngetuk kepalanya di meja kafe yang disinggahinya, bodohnya dia saat mengharapkan hal lebih dari keduanya.

"Nira? Ya ampun!"

Suara teriakan heboh membuat Nira kembali menegakkan kepalanya.

Siapa wanita berhijab agak berisi di hadapannya ini? Sepertinya Nira pernah melihat wajahnya.

"Nira, kamu apa kabar? Udah enam tahun nggak ketemu. Kamu nggak lupa 'kan sama aku?" tanya wanita itu secara beruntun. "Aku Trisya temen sebangku kamu selama tiga tahun di SMK." Gadis berhijab itu duduk di tempat yang tadi Enjina duduki sambil memegang tangannya.

"Trisya? Trisya Ayu?!" teriak Nira kaget saat ia melupakan nama orang yang menjadi teman akrabnya selama bangku sekolah menengah kejuruan itu. "Kamu apa kabar? Aku sampai pangling, kamu agak gendutan sih."

Trisya tampak tak tersinggung malah tertawa, "Gumana nggak tambah gendut, aku udah punya anak dua."

"Beneran? Anak kamu udah dua? Kapan nikahnya kok aku nggak diundang?" Nira kaget bukan main, temannya ini beneran sudah menikah dan tidak mengundangnya pula.

Trisya tersenyum, "Dua tahun lalu aku nikah. Sekarang aku punya sepasang anak kembar. Waktu itu aku mau ngundang kamu, tapi, kamu udah pindah. Nomor kontak kamu juga beda."

"Dua tahun lalu aku emang ke luar kota, soalnya ada tes yang mengaharuskan aku menetap di sana. Tapi, sekarang aku udah tinggal di sini kok. Nanti aku kasih alamatnya." Nira tersenyum. "Rumah kamu masih sama atau udah pindah?"

"Aku udah punya rumah sendiri sama suamiku, nanti aku kasih alamatnya. Kamu kapan-kapan main ke sana, nanti aku kenalin sama anak-anakku."

"Nggak masalah, nanti kalau senggang aku bakal ke sana. Oh iya, kamu ke sini sama siapa?" Nira menatap bingung sekitarnya yang tidak nampak siapa yang berasama Trisya.

"Sama suami, Nir. Tapi, dia lagi bayar di kasir." Trisya menunjuk suaminya yang bertubuh tinggi sedang mengantri membayar.

Nira spontan menoleh, "Itu suamimu? Kenal di mana?" Nira tersenyum jahil melihat pipi Trisya yang memerah.

"Ah kamu, Nir. Aku kenal dia di pengajian. Waktu itu nggak sengaja kita ketemu." Trisya menundukkan kepala malu.

Nira terkekeh, bisa aja ya Tuhan mempertemukan jodoh. Buktinya, jodoh Trisya ketemunya di pengajian.

"Berarti suamimu itu sejenis ustad gitu, Tris?" Nira tak mampu menahan tawanya mendengar pertanyaannya yang menurutnya lucu.

"Bukan sejenis, dia memang ustad. Aku sayang sama dia juga karena itu. Cinta karena Allah."

Kalau dulu ada bahasan seperti ini pasti keduanya akan berteriak jijik, namun sekarang, semuanya telah berbeda. Keduanya malah saling melemparkan senyum penuh arti.

"Enak ya punya suami ustad, bisa dituntun menuju jalan kebaikan? Kualitasnya pasti baik, imam idaman pokoknya."

"Ya gitu. Kamu sendiri gimana? Mana suamimu?"

Nira terdiam, suami ya? Menikah saja belum bagaimana ia bisa punya suami.

"Nira."

Kepala Nira kembali menoleh siapa lagi yang memanggilnya.

"Itu suamimu, Nir? Ganteng lho, dapet di mana?" Nira membalikkan badannya menghadap Trisya.

"Dia b—"

"Kamu di sini nggak bilang-bilang?"

Nira tersentak saat laki-laki itu duduk menempel padanya. Nira melirik Trisya yang tampak tersenyum ingin menahan tawa. Nira yakin, Trisya salah paham.

"Ra, ditanya malah diem. Jawab!"

Nira menoleh menatap tajam laki-laki yang beraninya menempel padanya. "An, agak jauh sana jangan deket-deket temanku salah paham tahu." Nira mendorong Anden menjauh darinya.

"Aduh, nggak usah canggung gitu, Nir. Aku nggak papa kok, wajar aja kalau suamimu mau deket sama kamu."

Pupil mata Anden membesar mendengar kata sakral dari temannya Nira. Suami katanya? Bahkan status dengan Nira saja masih teman, bagaimana bisa menjadi suami?

Melihat ekspresi Anden membuat Nira merasa bersalah, Anden pasti terkejut. "Tris, Anden itu t—"

"Umi! Abi cariin di sini!" suara lain di belakangnya membuat ucapan Nira terpotong.

Suami Trisya tampaknya memanggil Trisya, "Abi, Umi cuma mau temuin teman lama Umi." Trisya menjawab, "kenalin, Bi. Ini namanya Nira, dia temen sebangku Umi, dan ini suaminya Nira namanya Anden."

Suami Trisya tersenyum ramah menatap keduanya bergantian, suami Trisya hanya menyalami Anden saja.

Nira tertegun dibuatnya, ternyata benar-benar Pak Ustad sesungguhnya.

"Saya Rasyid, suaminya Trisya." ucap Rasyid sopan dengan lembut.

Nira terserang iri, melihat bagaimana sempurnanya suami Trisya itu. Andai saja dirinya punya yang seperti itu.

"Nira, Anden. Kita pulang dulu ya? Kalain lanjutin aja kencannya, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam, hati-hati di jalan, Tris."

Nira tersenyum menatap kepergian keduanya. Seperti keluarga bahagia mereka itu.

"Aku butuh penjelasan, Nira."

Nira menoleh, melihat tatapan nyalang dari Anden membuatnya bergidik ngeri.

"Sejak kapan kita menikah?"