Kabut Subuh baru saja berlalu, tetapi Natasha telah dikejutkan oleh pemberitahuan dari salah satu asisten rumah tangga di rumah mewah itu. Bahwasannya, mulai pagi ini ia dilarang oleh Kathy untuk mengasuh duo Nona Kecil. Bahkan ia juga diberitahu sang asisten rumah tangga, jika pagi-pagi sekali tadi Diego mengantar ibunya menuju rumah sakit untuk memeriksakan kesehatan secara berkala.
Andai saja Natasha tidak teringat pesan ibu Diego, mungkin saja tadi malam telah kabur dari rumah mewah tersebut. Namun, ia tetap bertahan karena mendapat jaminan dari Merry yang senantiasa akan melindunginya.
Natasha yang berdiri di depan cermin, tampak mengelus wajah. Kelopak matanya masih sembab sisa tangisnya semalam. Ia tidak tahu jam berapa Diego pulang ke rumah, karena beberapa hari terakhir laki-laki itu memilih pulang ke apartemen.
Sejenak, ia teringat ucapan Kathy yang memintanya untuk melakukan aborsi hari ini. Seketika tubuhnya luruh ke ranjang. Ia merasakan otot-otot kakinya lemas membayangkan ruang aborsi yang menari-nari di pelupuk mata. Apalagi ia sering mendengar dan menyaksikan sendiri kesaksian para wanita yang mengalami keguguran atau sengaja melakukan aborsi. Natasha bergidik ngeri karena rasa takut yang menelusup ke dalam dada hingga menjalar ke urat nadi membuatnya semakin gemetar.
Ia tampak mengelus perut yang masih rata itu, meskipun ada segumpal darah kehidupan di dalamnya. Natasha bergumam, memanggil-manggil Diego. Ia tidak mengerti apa yang akan dilakukannya jika Kathy benar-benar memaksanya untuk aborsi.
Tok, tok, tok!
Ketukan pintu menyadarkan Natasha dari lamunan. Ia bergegas bangkit dari duduk dan menghampiri pintu. Sang asisten rumah tangga yang tadi telah datang ke kamarnya, kini datang lagi dengan raut wajah memelas.
"Ada apa, Bibi Ruth?" tanya Natasha yang mengernyit heran.
"Non Sasha disuruh Nyonya untuk cepat turun. Soalnya udah ditunggu yang mau ngantar Non Sasha ke rumah sakit, katanya," ujar Ruth yang wajahnya menampakkan rasa kasihan bercampur takut itu.
"Maksud Bibi Ruth, Nyonya Kathy yang menyuruh?" tanya Natasha kemudian.
"Iya, Non. Ya udah, Bibi balik lagi ke dapur ya, Non," pamit Ruth berjalan tergopoh-gopoh menuruni anak tangga menuju dapur.
Natasha mengangguk meskipun merasakan gemetaran. Ia begitu gugup dan ketakutan jika hari ini vonis untuk melakukan aborsi benar-benar dijatuhkan padanya. "Tuan Diego, bagaimana ini? Tolong saya, Tuan," rintihnya dalam hati sambil mengurut pelipisnya.
Ia lantas kembali duduk di sisi ranjang sembari termenung sejenak. Batinnya kembali terusik oleh ketakutan ruang aborsi. Sejujurnya, Natasha juga trauma jika harus berkunjung ke rumah sakit, meskipun bisa saja dirinya bekerja sebagai perawat rumah sakit. Semua itu karena kecelakaan yang menimpa orangtuanya kemudian meregang nyawa saat dirawat di sana.
Natasha lantas bangkit dari duduk, menyiapkan tas jinjing untuk menyimpan beberapa baju, dompet berisi sebagian uang gajinya, buku tabungan dan perhiasan pemberian Merry. Selesai mengemasi semua barang untuk dimasukkan tas, Natasha bergegas mandi. Ketakutannya pada Kathy membuatnya terpaksa menuruti permintaan istri Diego itu.
Berulang kali Natasha mengucapkan maaf kepada janin dalam perutnya itu sambil tangannya mengusap pelan. Ia bahkan meminta maaf pada Diego yang kemungkinan besar tidak tahu hal yang akan terjadi tersebut. Namun, Natasha yakin jika Merry akan memberitahu Diego kejadian kemarin.
***
Natasha telah berada di lantai bawah dengan menenteng tas jinjing berisi beberapa helai pakaian. Kepergian Merry dan Diego yang pergi ke rumah sakit, membuat nyawa Natasha dan janin yang dikandungnya dipertaruhkan di meja aborsi hari ini. Tentu saja, istri Diego itu pasti memilih rumah sakit yang berbeda dengan yang biasa dikunjungi Merry.
"Cepatlah, Tuan Jimmy telah menunggumu di teras!" hardik Kathy saat menghampiri Natasha yang duduk di ruang keluarga.
Natasha lantas bangkit dari duduk dan berjalan menuju teras. Tatapannya lantas tertuju pada laki-laki bernama Jimmy itu yang akan mengantarnya ke rumah sakit. Ia yang sedang mengandung dua bulan itu terpaksa menuruti perintah istri Diego.
Dia bergegas menuju mobil yang telah menantinya di halaman. Batinnya begitu sakit menerima kenyataan dirinya yang dipaksa menggugurkan buah cintanya bersama Diego itu. Tangannya mengelus lembut perut saat menanti laki-laki yang akan mengantarnya itu, karena masih berbicara dengan Kathy.
"Pastikan, wanita murahan itu benar-benar menuju ruang aborsi!" ujar Kathy kepada laki-laki itu yang tanpa sengaja didengar Natasha karena kaca mobil dalam keadaan terbuka.
Natasha menatap laki-laki itu yang mengangguk sejenak. Ia memalingkan wajah saat Jimmy menatap ke arahnya sambil tersenyum menyeringai. Natasha merasakan ada firasat jahat dalam diri laki-laki yang diperintah oleh Kathy itu, membuatnya semakin ketakutan.
Tak berapa lama, laki-laki itu memasuki mobil dan siap mengemudikannya. Mobil pun melaju meninggalkan rumah mewah milik Diego tersebut. Natasha terdiam sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Begitupun dengan laki-laki yang mengantarnya itu.
Pikiran Natasha terus bergelut dengan keadaan. Dia tak mampu menolak keinginan Kathy yang memaksanya untuk aborsi. Apalagi dia belum sempat mengatakan apapun pada Diego.
Mobil terus melaju menembus jalanan. Natasha menatap nanar keluar jendela kaca. Ranting dan dedaunan kering yang menutupi jalanan tersapu angin saat kendaraan melintas di atasnya. Pemandangan itu semakin menambah pilu batin Natasha.
Mobil tiba di halaman rumah sakit ibu dan anak daerah Jakarta Selatan itu. Natasha bergegas turun, setelah laki-laki bernama Jimmy itu membukakan pintu mobil.
"Cepatlah masuk, kemudian katakan namamu di meja pendaftaran. Mereka yang di dalam telah mengetahui dan segera menangani kamu" ujar Jimmy.
Natasha mengangguk, meskipun tubuhnya gemetar dan batinnya merasa tak keruan. Bahkan keringat dingin mulai membasahi tengkuk serta telapak tangannya. Ia berjalan memasuki pintu utama rumah sakit tersebut dengan gugup.
Dia berhenti sejenak saat tiba di sebuah lorong. Tatapannya lantas tertuju pada beberapa pasangan suami istri yang mimik wajahnya memancarkan kebahagiaan. Kemudian tatapan Natasha beralih pada ibu muda yang tengah menggendong buah hatinya. Natasha tersenyum miris menyaksikan pemandangan di depan matanya yang berbanding terbalik dengan kondisinya saat ini. Ia seakan-akan merasakan iri.
"Tuan Diego ... tolong saya! Apa yang harus saya perbuat, Tuan?" gumam Natasha dalam batin.
Natasha lantas melanjutkan berjalan kaki menuju ruang pendaftaran. Batinnya sebenarnya ragu untuk ke sana. Namun, ketakutan pada ancaman Kathy membuatnya terpaksa mengambil jalan itu.
"Selamat siang! Ada yang bisa kami bantu, Nyonya?" tanya salah satu petugas di ruang pendaftaran.
"Sa-saya mau tanya, Suster," sahut Natasha yang urung menyerahkan kartu identitas yang telah digenggamnya.
"Iya, Nyonya."
"Ruang bagian pemeriksaan kehamilan di sebelah mana ya, Sus?" tanya Natasha kemudian.
Salah satu perawat kemudian bangkit dari duduk dan memberikan arahan. Natasha lantas mengucapkan terima kasih dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada. Ia lantas melangkah menuju ruangan yang telah ditunjukkan padanya.
Natasha melangkah menembus satu per satu pintu kaca saat melewati lorong menuju ruangan yang akan menangani dirinya. Tubuhnya makin gemetar, tangan dan keningnya basah karena keringat dingin yang mengucur sejak tadi. Natasha merasa sangat ketakutan.