webnovel

0 - Mansion Tua

Suasana kelas pada sore hari memanglah cocok untuk tempat berkumpul seperti saat ini. Ditemani cahaya mentari sore yang menembus jendela, sepasang remaja lelaki duduk bersama di atas meja.

Seorang lelaki berkacamata bersandar pada dinding sambil melihat keluar lapangan melalui jendela di kiri. Rambut hitamnya yang disisir lurus ke kanan sesekali nampak terbang terkena hembusan angin semilir.

Sementara lelaki satunya lagi duduk di sebelah kanan, menatap dingin ponselnya tanpa ekspresi sedikit pun. Tidak ada yang spesial dari rambut hitam pendeknya, melainkan yang menarik perhatian adalah bekas luka lecet melingkar di leher.

Tiba-tiba saja pintu kelas terbuka dengan keras karena seorang laki-laki menendangnya. Badannya bongsor dengan rambut acak-acakan sama seperti keadaan seragam yang ia pakai. Dari kedua mata coklatnya, ia memerhatikan kedua teman yang sudah menunggunya.

"Dean datang juga akhirnya," ucap si remaja berkacamata.

Lelaki yang dipanggil Dean itupun menarik sebuah kursi di dekat keduanya. Kepalanya mendongak ke arah temannya yang terus bermain ponsel lantas berkata, "Diki, Diki, lo senyum dikit napa?"

Diki yang memegang ponsel itu hanya menoleh sedikit dengan tatapan yang sama sebelum akhirnya sibuk kembali dengan dunianya. Dean hanya bisa mendengus lirih kemudian bertanya, "Jadi ada apa manggil kita, Sep?"

Remaja berkacamata itupun langsung mengeluarkan selembar koran dari laci meja sambil berkata, "Baca itu dulu!"

Dean segera membacanya cepat. Dengan nada agak kebingungan dia bertanya, "Berita apaan dah?"

"Oh, kau tidak tau? Aku agak terkejut. Lima tahun lalu, terjadi sebuah pembunuhan di mansion tua ini. Kasusnya udah selesai sih, tapi kita tidak kesana untuk itu."

"Biar kutebak, kau ingin mengunjungi mansion itu?" tanya Diki akhirnya membuka mulut.

"Yap, malam ini kita akan uji nyali ke sana."

"Hah?! Sumpah?! Gasss!" celetuk Dean penuh semangat.

"Oke! Kita entar ngumpul jam 11."

"Gue ngikut kalian aja dah," sahut Diki datar.

*

Akhirnya, mereka telah berkumpul di lokasi yang dimaksud kurang dari pukul 11 malam.

Sebuah mansion besar dengan dua lantai terlihat menyeramkan di depan mata mereka. Beratapkan langit hitam, mansion itu amatlah mirip tempat uji nyali di acara TV lokal.

Banyak retakan dan coretan-coretan di tembok. Kaca-kaca jendela juga banyak yang sudah pecah dengan serpihan yang masih berserakan di mana-mana.

Halaman depan yang tak terawat terlihat amat kotor karena banyak dedaunan kering yang bertebaran dan rumput liar yang tumbuh. Pohon-pohon besar menghiasi pelataran, bahkan di salah satu ranting pohon terdapat sebuah ayunan tua yang sudah usang termakan waktu.

Belum lagi di tengah pelataran tersebut terdapat bekas kolam ikan yang telah mengering. Di tengahnya terdapat sebuah patung malaikat setinggi tiga meter yang seluruhnya tertutupi oleh lumut hijau.

Di sini ketiganya sekarang, tepat di depan mereka terdapat pagar besi yang sudah berkarat sampai-sampai ditumbuhi tanaman merambat. Tertutup rapat oleh gembok dan rantai yang melingkar di pegangannya, mencegah orang-orang yang tidak diinginkan masuk ke dalam.

"Ngeri nih bakalan, anjir!" kata Dean sambil menelan ludah.

"Ok, sekarang dimana jalan masuknya? Gerbangnya aja digembok," tanya Joseph sambil menarik rantai yang melilit pintu gerbang.

"Mau coba manjat?" usul Dean sambil tersenyum masam.

"Kau gak liat ada kawat berduri di atas tuh."

Untuk sejenak mereka hanya melihat area sekitar, barangkali ada yang menemukan jalur belakang dari rumah itu. Tanpa disadari oleh lainnya, Diki ternyata sudah masuk terlebih dahulu.

"Anjir! Gimana cara lo masuk?" ujar Dean kaget.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Diki langsung menunjuk sebuah lubang dengan ukuran sebesar badan orang dewasa yang ada di pinggiran. Mereka berdua pun segera merangkak melewati lubang itu dan ikut masuk.

Ketiganya berjalan beriringan menuju pintu coklat yang merupakan pintu depan mansion tersebut kemudian membukanya. Walaupun agak berat, tapi perlahan akhirnya pintu itu terbuka diiringi suara deret yang cukup keras untuk memecah kesunyian di sekitar.

Sebuah ruangan kosong langsung menyambut mereka. Benar-benar kosong, tidak ada apapun di ruangan itu kecuali sebuah tangga di sisi kiri dan lorong-lorong gelap.

Baru saja melangkah masuk, atmosfer yang berbeda langsung membalut sekujur tubuh mereka. Hembusan udara dari dalam ruangan menerpa wajah ketiganya sehingga membuat bulu kuduk mulai berdiri. Suasana juga tiba-tiba menjadi dingin tanpa alasan yang jelas. Mengerikan, itulah pernyataan yang tepat untuk menggambarkan suasana saat ini.

Masing-masing dari mereka segera menyalakan senter dari ponsel sebagai penerangan. Langkah demi langkah diambil sembari mengantisipasi andai pintu masuk tiba-tiba tertutup dan mengunci mereka.

"Njir! Auranya ngeri banget sumpah! Dari sejak gue masuk tadi, ini bulu kuduk dah berdiri terus," ucap Dean dengan nada ketakutan.

"Dikira lo doang? Ini liat tangan gue! Heran asli, itu Diki beneran gak ketakutan apa gimana?" sahut Joseph.

Sementara itu, Diki masih tetap diam seribu bahasa dan terus berjalan ke depan menyusuri sebuah lorong panjang.

Hampir 200 meter mereka berjalan lurus melewati lorong gelap tanpa henti itu. Bahkan saking panjangnya, pintu masuk pun sampai tidak tersorot oleh sinar senter.

"Hoi, lo yakin kita masih di bumi? Ini lorong panjang amat dah!"

"Ya, berharap aja sih gitu."

Akhirnya setelah berjalan cukup lama, seberkas cahaya terlihat di depan mata. Sebuah taman kecil langsung menyambut mereka. Taman itu dibangun tanpa atap sehingga memperlihatkan terangnya langit. Tunggu dulu! Terang?!

"Ki-kita tadi masuk ke sini pas malam hari, kan? Ta-tapi kok... di sini udah siang?!" Dean seketika berteriak lantang.

Melihat kejanggalan ini, Diki reflek menarik tangan kedua temannya dan bergegas lari kembali ke lorong. Tetapi pintu lorong itu sudah tidak ada seperti menghilang tanpa jejak.

"Apa yang sebenarnya terjadi disini?" tanya Diki seolah tak percaya.

Mereka diam membeku melihat fenomena ini. Joseph menengok ke atas dan melihat langit kuning keemasan dengan awan-awan yang mengelilingi sebuah bola cahaya di tengahnya. Seluruh tubuhnya bergetar hebat karena melihat kejadian ini.

"Woi! Yang di belakang pohon itu cepat keluar!" perintah Dean dengan nada mengancam sambil menunjuk satu-satunya pohon di tengah taman.

"Wah, sepertinya aku sudah ketahuan. Sebenarnya aku mau melihat ekspresi kalian lebih lama, tapi mau gimana lagi."

Seorang anak kecil tiba-tiba muncul dari balik pohon. Dia memakai gaun putih selutut dengan bertelanjangkan kaki. Manik matanya berwarna keemasan terang seolah memancarkan cahaya sendiri. Semetara rambutnya yang pirang cerah sepinggang dibiarkan terurai tidak beraturan.

"Tempat apa ini?!" bentak Dean.

"Ini adalah Batas Semesta."

Diki yang mendengarnya langsung bingung kemudian bertanya, "Batas... Semesta?"

"Kalau aku harus menjelaskan, tempat ini adalah ujung dari ruang dan waktu dari Semesta kalian, lebih dari ini adalah Semesta lain. Susah dimengerti, ya? Tidak apa-apa, lagian itu bukan hal yang berguna."

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Joseph sekarang.

"Kalian bisa memanggilku Io. Aku adalah penjaga tempat ini."

"Jadi kenapa kau membawa kami ke sini?"

"Bukan aku, takdir yang membawa kalian ke sini," jawab Io dengan nada berat.

Ketiganya lagi-lagi dibuat bingung oleh perkataan Io. Dean yang tidak mempercayainya langsung berteriak keras, "Ha?! Jangan banyak omong kosong! Gue yakin kaulah yang menyeret kami kesini!"

"Aku tidak berbohong."

Io membalikkan badannya dan melihat ke pohon tempat dia bersembunyi sebelumnya.

"Takdirlah yang memilih, bukan aku," lanjut Io.

"Oke, gue jadi bingung sumpah."

"Akan aku jelaskan sedikit. Muncul sebuah ancaman besar yang dapat memusnahkan semua Semesta. Karena itulah, Kami meminta tolong pada kalian bertiga untuk menghentikan ancaman tersebut."

"Tu-tunggu sebentar! Sepertinya ada sedikit kesalahpahaman di sini. Seperti yang kau lihat, ka-kami hanya anak SMA biasa. Dan kau melimpahkan tanggungjawab sebesar itu? Serius?!" ucap Joseph agak terbata-bata.

"Jujur saja, kau memang benar. Ada banyak orang yang lebih kuat, lebih pintar dan jauh lebih baik untuk melakukan tugas ini. Tapi saat kalian ingin menyelesaikan sebuah puzzle, yang dibutuhkan adalah bagian yang tepat. Dan kalian adalah 'bagian' tersebut."

"Itu... terasa agak aneh."

Tba-tiba terdengar dentingan lonceng yang menggema dari langit. Ketiga lelaki itu reflek menutup masing-masing telinga mereka karena tak kuasa untuk menahan suara yang memekikkan pendengaran tersebut.

"Sepertinya ini adalah akhir dari pertemuan kita saat ini. Untuk sisanya, kalian akan paham dengan sendirinya."

Io kemudian menepuk tangannya sekali. Tiba-tiba saja semua bergetar dengan sangat hebat. Langit keemasan di atas mereka perlahan retak sebelum akhirnya pecah layaknya kaca dan menunjukkan ruang kosong gelap tanpa batas. Tanah berguncang sangat kuat sampai-sampai membentuk retakan di mana-mana.

Ketiga remaja tersebut sebisa mungkin mencoba untuk menjaga keseimbangan mereka agar tidak terjatuh. Perlahan, pijakan mereka runtuh sedikit demi sedikit dan memperlihatkan sebuah jurang yang dalam.

"Celaka!"

Joseph terpeleset dan hampir jatuh kalau saja Dean tidak memegang tangannya.

"Jangan dilepas! Diki! Bantu aku!"

Diki pun segera menarik perut Dean dan berhasil mengangkat Joseph kembali. Namun yang mereka lakukan sia-sia. Tanah di sekitar perlahan terkikis hingga hanya menyisakan secuil area yang harus mereka bagi.

Tidak ada hal yang bisa dilakukan untuk keluar dari situasi ini. Mereka hanya bisa saling menatap satu sama lain seakan menerima nasib malang yang menimpa.

"Lawanlah dunia, lawanlah takdir, bahkan lawanlah diri kalian sendiri. Aku mohon! Takdir seluruh Semesta berada di tangan kalian," ucap Io dengan nada menggema.

Pada akhirnya, area mereka berpijak juga hancur dan menjatuhkan ketiganya ke jurang yang dalam. Aneh, sedikit demi sedikit tubuh mereka yang terjun berubah menjadi partikel cahaya kecil, sebelum akhirnya mulai kehilangan kesadaran.