Di kantor jaksa Ilyas, Pak Saleh dan Angga sedang memberikan laporan hasil pemeriksaan terhadap Siti, berserta bukti-bukti lainnya yang mereka buat dalam satu dokumen.
"Pak ini laporan mengenai tersangka Siti, yang melakukan kerja sama dalam membunuh Rohani dengan pelaku yang masih kita selidiki," lapor Pak Saleh melihat Jaksa Ilyas yang sedang mengetik di laptopnya.
"Ya sudah letakkan saja di sana," jawab Jaksa Ilyas yang mengabaikan Pak Saleh dan Angga. "Kalian tahu siput tidak?" tanya Jaksa Ilyas melihat Pak Saleh dan Angga. "Jika kalian tahu, maka kalian harus saling bertegur sapa, karena mereka pantas jadi teman kalian. Pekerjaan kalian lelet seperti siput!" omel Jaksa Ilyas kepada Pak Saleh dan Angga.
"Bukannya seperti itu Pak, kasus ini merupakan jaringan dan kita harus menangkapnya satu persatu," jelas Pak Saleh menahan emosinya.
"Tidak usah banyak alasan! Kamu itu ketua tim macam apa, lihat dia anak buahmu yang berani sekali mengepalkan tangannya, seolah dia ingin memukulku," bentak Jaksa Ilyas sambil melihat ke arah tangan Angga yang mengepal.
"Tidak Pak. Ini memang saya sering seperti ini, bukan ingin memukul Pak," jelas Angga kepada Jaksa Ilyas yang menuduhnya.
"Alah banyak alasan. Saya tahu detektif macam kalian, yang hanya membuang-buang uang negara. Ingat kerja yang benar, jangan buang-buang waktu. Cepat tangkap pelakunya," teriak Jaksa Ilyas beranjak dari duduknya lalu menatap tajam mereka.
Pak Saleh sudah tidak bisa lagi menahan emosinya, lalu dia ingin meninju wajah Jaksa Ilyas, tapi Angga langsung memegang tangannya dan pergi pamit untuk pargi.
"Apa kamu berani kamu memukul wajah saya," tantang Jaksa Ilyas kepada Pak Saleh.
Angga memegangi tangan Pak Saleh. "Baik Pak. Kita akan bekerja sesuai instruksi," Angga mencoba menarik Pak Saleh untuk keluar bersamanya. "Kalau begitu kami permisi dulu Pak," pamit Angga membuka pintu dengan Manarik Pak Saleh untuk keluar bersamanya.
Di luar Pak Saleh melepas pegangan tangan Angga, dengan kesal dia berjalan lebih dulu. Angga lalu menyusul untuk berjalan di sampingnya.
"Aku ingin menghajar wajahnya yang sangat menyebalkan," ucap Pak Saleh dengan hati yang begitu kesal mendapatkan hinaan dari Jaksa Ilyas. "Aku yakin dia menjadi Jaksa, karena uang bukan karena otak yang dia punya. Otak kosong seperti itu, mana mungkin jadi jaksa," lanjut Pak Saleh menggerutu kesal sambil terus berjalan menuju mobilnya. "Lagi pula kenapa kamu terus melarangku untuk memukul wajahnya itu," omel Pak Saleh kepada Angga yang tadi menghentikannya.
Angga mengambil bungkus rokok yang ada di saku kemejanya. "Hisaplah ini dulu, sebelum kita lanjutkan perjalanan," pinta Angga menghentikan langkah Pak Saleh.
Mereka duduk di area perokok, dengan menghisap sebatang rokok membuat Pak Saleh berhenti menggerutu. Angga yang sudah melihat Pak Saleh tenang, lalu dia mulai membuka pembicaraan.
"Apa dengan memukul wajahnya, itu bisa membuat kita menemukan pelakunya secara langsung. Yang ada tim kami akan kehilangan ketua yang selalu pengertian dengan kami, dan kami tidak mau itu terjadi," ucap Angga mengingatkan kepada Pak Saleh.
"Aku benar-benar emosi. Terima kasih sudah mengingatkan aku, tidak tahu lagi jika tidak ada kamu disana, mungkin sekarang aku akan di pecat karena memukul seorang jaksa," jawab Pak Saleh sambil menghisap rokoknya.
"Aku juga sangat emosi Pak, mendengar perkataannya yang seolah kita ini tidak bekerja. Padahal jika dia tahu kita bekerja siang, malam. Bahkan sampai meninggalkan keluarga, hanya untuk mencari pelakunya," ucap Angga meluapkan emosinya.
"Aku mengerti perasaanmu. Aku yakin suatu saat nanti, dia akan sadar dan di beri ganjaran atas perilakunya terhadap orang bawah seperti kita," jawab Pak Saleh menenangkan Angga yang bergantian marah.
Setelah tenang dan selesai merokok, mereka kembali menuju mobilnya yang terparkir, lalu Angga mengendarai mobilnya untuk kembali ke kantor.
Di ruangan Jaksa Ilyas sedang menelfon seseorang, yang dari suaranya terdengar seperti suara Pak Wijatmoko.
"Bagaimana wanita itu sudah tertangkap?" tanya Pak Wijatmoko kepada Jaksa Ilyas.
"Sudah Pak, laporannya baru sampai kepada saya," jawab Jaksa Ilyas melihat dokumen yang tadi di bawa Pak Saleh.
"Ya sudah. Lihat nanti aku berikan kejutan pada mereka, hahahahahah," ucap Pak Wijatmoko lalu mematikan panggilannya.
Selesai menerima panggilan, Jaksa Ilyas menjadi merinding mendengar suara khas Pak Wijatmoko yang begitu dingin dan menakutkan.
"IHH…Mendengar suaranya saja aku sudah merinding seperti ini, aku seharusnya tidak berhubungan dengan orang sepertinya, tapi mau bagaimana lagi nasi sudah menjadi bubur, dan sekarang aku hanya mematuhi perintahnya," batin Jaksa Ilyas sambil mengusap tangannya yang merinding.
Seketika sekertaris barunya masuk ke dalam ruangannya, Tania gadis muda yang seksi, membuat suasana di kantor di ruangan Jaksa Ilyas semakin berwarna.
"Pak ini aku bawakan kopi untuk anda," ucap Tania meletakkan secangkir kopi di atas meja Jaksa Ilyas.
Jaksa Ilyas melihat dari ujung kaki hingga atas, postur tubuh Tania seperti model. Membuat dia merasa bergairah saat melihat Tania.
"Apa kamu sudah memiliki kekasih?" tanya Jaksa Ilyas kepada Tania.
"Tergantung Pak," jawab Tania sambil tersenyum manja mengigit bibir bawahnya.
"Tergantung bagaimana?" tanya Jaksa Ilyas beranjak untuk mendekati Tania.
"Tergantung keinginan bapak," jawab Tania memainkan rambut panjangnya.
Jaksa Ilyas dengan nafsu ingin menggerayangi Tania, tapi dia menolak lalu berbisik di telinga Jaksa Ilyas.
"Jangan sekarang, nanti saja. Tidak akan puas bermain di ruangan sempit seperti ini," bisik Tania lalu pergi meninggslkan ruangan Jaksa Ilyas.
Di ruangan tim kekerasan dan pembunuhan, mereka semuanya berkumpul untuk menyerahkan bukti yang berhasil mereka kumpulkan dari berbagai sumber.
"Arya dan Adamma bagaimana hari ini?" tanya Pak Saleh sambil duduk melihat ke arah mereka.
Arya dan Adamma beranjak untuk mendekati meja Pak Saleh. "Semua bukti rekaman dari bos rentenir itu, sudah saya rekam di alat perekam ini, dan Adamma juga telah menulis laporan di dalam dokumen ini," jelas Arya dengan menyerahkan alat perekam miliknya, dan Adamma menyerahkan laporan yang sudah di tulis olehnya.
"Baiklah, kalian boleh balik ke tempat," perintah Pak Saleh menerima laporan mereka. "Rio, Rangga apa yang kalian dapatkan?" tanya Pak Saleh melihat ke arah mereka yang sedang duduk.
Dengan cepat mereka beranjak, untuk mendekati meja Pak Saleh.
"Ini flashdisk hasil dari rekaman CCTV yang kita dapat dari toko yang berhasil merekam Siti yang di hadang hingga pengendara motor yang melempar tas berisi uang itu ada di dalam flashdisk ini," lapor Rio meletakkan flashdisk di atas meja kerja Pak Saleh.
"Saya sudah menulis plat motor milik pengendara motor tersebut dan sudah saya masukkan ke dalam laporan ini," lapor Rangga memberikan dokumen di atas meja kerja Pak Saleh.
"Baik jika seperti itu, kalian sekarang bisa pulang. Biar saya yang akan mempelajari laporan bukti dari kalian," ucap Pak Saleh dengan mengumpulkan bukti yang di berikan kepadanya.
"Anda tidak pulang Pak?" tanya Arya dengan melihat wajah ketua timnya begitu lelah.
"Pulang, tapi setelah ini," jawab Pak Saleh membuka dokumennya.
"Kalau begitu biar saya bantu Pak," Arya menawarkan bantuan kepada Pak Saleh.
"Tidak perlu, pulanglah saja. Aku sebentar lagi juga akan pulang," jawab Pak Saleh kepada Arya.
Arya menuruti keinginan Pak Saleh yang memintanya untuk pulang, dan membiarkannya sendiri di dalam ruangan.