Bimbang
Melihatnya seketika membuat selera makan Calista hilang, ia membalikkan badan dan berjalan menuju pintu keluar.
"Calista!"
Pria itu berlari mengejar Calista mencoba meraih tangannya.
"Calista, sebentar," ucapnya.
Langkah kaki Calista terhenti saat pria itu berucap, tidak puaskah mereka menyakiti hatinya.
Apakah itu masih belum cukup Calista menarik nafas panjang.
"Ada apa, Nik?" kata bibirnya memaksa tersenyum.
"Kak, apakah kakak juga marah padaku?" cakap Niko sambil menundukkan wajah.
"Sudah, Nik. Aku sudah tidak peduli lagi. Aku mohon jangan ganggu aku lagi. Aku ingin sendiri, Nik," pinta Calista.
"Tapi, Kak."
Calista menggelengkan kepala seolah memberi isyarat bahwa ia sudah tak peduli lagi dengan Miranda dan Leo.
"Aku cinta Kakak," ungkap Niko.
Mendengar kalimat itu Calista terkejut bukan main. Apakah ia tak salah mendengar? Ataukah Niko sedang mabuk? Apa dia tidak waras mengatakan itu kepada dirinya?
Calista sudah menganggap Niko layaknya adik sendiri?
Mungkinkah ia salah mengartikan semua kebaikan dan perhatian Calista.
Calista diam mematung bibirnya terasa kelu matanya menatap Niko tajam.
"Aku mencintai kamu, Calista. Sudah sejak lama saat pertama kali aku melihatmu aku tertarik pada dirimu. Aku tahu apa yang aku ucapkan itu salah. Aku menahan rasa ini selama satu tahun. Bisa kamu bayangkan bagaimana rasanya menahan perasaan? Apalagi melihatmu selalu bersama Leo. Calista I love you," tutur Niko.
Perkataan Niko terdengar sangat tulus tetapi untuk saat ini Calista tidak ingin dekat dengan siapa pun termasuk Niko.
Ia ingin fokus mengejar karier soal asmara biarlah jika memang jodoh pasti akan bertemu.
"Maaf, Nik. Aku harus pergi," pamit Calista meninggalkan Niko begitu saja.
Niko hanya bisa pasrah ia sudah menebak bahwa gadis yang selama ini ia cintai akan menolak dirinya.
Dengan langkah gontai Niko berjalan melangkahkan kaki menuju tempat parkir.
Akan tetapi saat tiba-tiba ponsel miliknya berdering terlihat nama Gunawan papa Calista yang menghubunginya.
Tanpa pikir lama segera Niko mengangkat telepon.
"Halo, iya Om?" sapa Niko.
"Niko, kamu dimana?"
"Aku di kantor Calista ada apa ya Om?" tanya Niko.
Langsung saja Gunawan mengatakan apa maksud dan tujuannya menghubungi Niko.
Sejenak Niko terdiam ia ragu mengatakannya kepada Calista. Mengingat baru saja ia mengungkapkan perasaannya terhadap Calista.
Hati Calista benar-benar kacau ia tak habis pikir. Seorang Niko berani menyatakan cinta kepadanya.
"Heh!" panggil Damian.
Calista menoleh hadapannya kini berdiri bos tengil yang menjengkelkan hati dan perasaan.
Jika saja ia bukan anak pak Salman mungkin Calista sudah memberi dirinya pelajaran.
"Kamu sudah makan?" tanya Damian.
"Belum, Pak. Saya sedang puasa," cetus Calista.
"Heh." Damian tersenyum menyeringai ia berjalan mendekati Calista.
Membuat wanita itu sedikit gugup tak di bisa di pungkiri pesona Damian bak Arjuna.
Dia tampan, pintar menarik dan rapi cara berpakaiannya pun layaknya pengusaha muda masa kini.
"Kamu puasa? Apa saya tidak salah dengar?" cibir Damian.
"Dasar laki-laki enggak ada ahlak," gumam Calista.
Sebisa mungkin Calista menahan amarahnya berada dekat dengan Damian membuat tensi darahnya naik.
"Ayo ikut saya!" ajak Damian.
"Ke mana Pak?" ujar Calista sambil menepuk pipinya.
"Mau ikut tidak?" tantang Damian.
"Eh baiklah." Calista berjalan dengan cepat menyusul Damian.
Damian mengajak Calista ke sebuah restoran untuk makan siang.
Melihat tingkah Calista senyum di bibir Damian terukir indah.
"Katanya puasa tapi pesan makanan," sindir Niko.
Bagai angin lalu Calista sama sekali tak menghiraukan perkataan Niko. Matanya sibuk memilih menu makanan yang akan ia pesan.
"Mas, nasi goreng satu, sate satu, terus kebabnya dua ya. Oh iya lupa minumannya Air putih dan orange jus," pesan Calista.
"Kamu pesan banyak sekali apa muat di perut?" Damian terheran tubuh Calista kecil apakah tidak salah memesan makanan sebanyak itu.
"Mumpung saya di traktir bapak. Kenapa bapak tidak punya uang," olok Calista.
"Heh! enak saja masa anak pemilik Rajawali grup tidak punya uang yang benar saja," hardik Damian dalam hati perasaan emosi seketika muncul.
"Oh, bapak enggak pesan?"
"Saya pesan nunggu makanan itu datang," cetus Damian.
Tak lama pesanan mereka datang dengan lahap Calista langsung menyantap makanan yang ia pesan.
Melihat cara makan Calista, Damian merasa aneh.
"Ya Tuhan sudah beberapa hari dia tidak makan," gumam Damian.
"Pak kenapa tidak makan? Enak loh?" tawar Calista di sekitar mulutnya nampak beberapa makan.
Sungguh bukan wanita tipe Damian ia mengira Calista adalah wanita yang lembut dan sangat elegan.
Tetapi kenyataan tak sesuai ekspektasi.
Damian memijit keningnya ia merasa malu karena sedari tadi orang-orang yang berada di restoran memperhatikan Calista.
Mereka terlihat tersenyum menyeringai merasa tak tahan Damian beranjak meninggalkan Calista yang sibuk dengan makannya.
"Pak! Pak mau ke mana? Ini makanan masih banyak?" teriak Calista memanggil.
Tak mau ambil pusing kembali Calista melanjutkan aktivitasnya.
Bukan karena ia rakus tapi dengan cara ini ia melupakan semua emosinya.
"Nak?"
Bahu Calista serasa di sentuh lembut, suara itu sangat familiar di telinga.
Ia yang sedang menguyah makanan sejenak terdiam.
Kepalanya menoleh dan benar saja di belakangnya nampak Gunawan berdiri sembari tersenyum.
"Papa?"
"Iya, Nak. Ini papa," ucap Gunawan.
Tangan Calista meraih sebuah tisu mengelap wajahnya yang berplotan kemudian mempersilahkan Gunawan duduk.
Hati Calista merasa bahagia ternyata salah satu dari anggota keluarga masih ada yang peduli dengan dirinya.
Hanya papa, ya papa hanya dia sosok yang selalu bisa menenangkan hati Calista.
Sifatnya yang bersahaja, tutur sapa yang lembut sangat berbeda seratus persen dengan Revita.
"Papa pesan apa? Oh iya bentar aku pesankan minuman kesukaan papa," ucap Calista.
"Mbak!" Calista memanggil seorang pramusaji.
"Mbak teh hangat satu ya," pinta Calista.
Pramusaji itu mengagumkan kepala lalu pergi.
"Papa apa kabar? Maaf Calista belum sempat berbicara dengan papa," lirih Calista.
Gunawan mengangguk seolah dia mengerti bagaimana keadaan anaknya saat itu. Tak mungkin baginya mencegah Calista.
"Nak, maafkan papa." Gunawan membina menahan air matanya.
"Maaf kenapa, Pa? Papa tidak ada salah?" Calista menggenggam tangan Gunawan.
"Andai papa bisa melarang mama dan kakakmu semua tidak akan seperti ini. Kamu dan Leo masih bisa bersama. Kamu tidak akan merasakan seperti ini. Papa tahu apa yang kamu rasakan, Calista," sesal Gunawan.
Air mata yang ia tahan akhirnya luruh juga bersamaan dengan Isak tangis yang keluar dari mulut.
Calista menarik nafasnya sejujurnya ia sudah tak ingin lagi berurusan dengan Leo dan Miranda.
"Pa, aku sudah ikhlas jika Leo dan Miranda bersama. Papa, jangan memikirkan itu ya." Calista mengusap lembut air mata yang mengalir di pipi Gunawan.
"Terima kasih, Nak. Oh iya nak bolehkan papa minta satu permintaan?"
"Iya Pa katakan saja?" kata Calista.
"Pulanglah, Nak. Tinggallah bersama papa, papa tak bisa tenang jika kamu tinggal di luar sana sendirian," pinta Gunawan.
"Ah tapi itu tidak mungkin, Pa?" kilah Calista tak mungkin bagi dirinya tinggal bersama Leo dan Miranda.
"Tolonglah , Nak?"
Bersambung....