webnovel

Bab 3

Cemburu

Calista berjalan mendekati pak Salman, dalam hati ada rasa cemas.

Pimpinannya itu pasti akan memarahinya habis-habisan karena ulah tadi pagi.

"Pak."

Sebisa mungkin Calista bersifat tenang meski jantung berdetak sangat kencang seperti kuda yang sedang berlari di pacuan.

"Ikut saya!" perintah pak Salman.

Tanpa basa-basi Calista mengikuti langkah kaki pak Salman dan pria itu melihat Calista dengan pandangan sinis.

Mereka bertiga masuk ke dalam ruang Pak Salman, Salman mempersilahkan pria itu duduk dan juga Calista.

"Calista perkenalkan ini anak saya Damian," ucap Pak Salman sambil menoleh kearah Damian.

Damian yang terkesan cool hanya diam saja, ia sama sekali tak memperkenalkan diri.

"Halo, Pak Damian. Kenalkan saya Calista sekretaris pribadi pak Salman." Calista memperkenankan dirinya.

"Hem," jawab Damian.

"Oh iya Calista untuk beberapa waktu Damian akan menggantikan saya," ungkap Salman.

Mendengar ucapan itu Calista sedikit terkejut apakah ia bisa bekerja sama dengan orang seperti Damian?

Dia memang tampan tapi kepribadiannya seperti seorang yang angkuh.

"Bagaimana Calista?"

Suara pak Salman mengejutkan Calista yang sedang termenung. Perasaan hatinya sedikit bimbang.

"Ah, iya Pak," kata Calista.

Mau tidak mau ia harus menerima semua ini. Dalam hati Calista berdoa agar saat melakukan pekerjaannya nanti dengan Damian semua berjalan dengan lancar.

Ia tak mau melakukan kesalahan yang akan membuat dirinya mendapat teguran.

"Ya sudah kembali ke meja kerjamu!" cakap Salman.

Kembali Calista berjalan menuju meja kerjanya, dari dalam ruang nampak Damian dan Salman sedang beradu pendapat.

Calista yang merasa penasaran menempelkan telinganya di dekat pintu pembatas ruang kerjanya dengan pimpinannya.

"Papa, aku tidak mau!" sungut Damian.

"Damian ini semua demi kebaikan kamu! Kamu anak terbaik papa, apa kamu mau hidup miskin!" bentak Salman.

"Pa lebih baik aku hidup miskin dari pada aku harus menuruti kekonyolan papa!" hardik Damian lalu ia beranjak pergi meninggalkan ruangan.

Sialnya saat Damian membuka pintu, Calista yang masih berdiri depan pintu tersungkur di lantai.

"Sedang apa kamu disini?" ketus Damian.

"Ah. Heheh aku mau mengetuk pintu," kilah Calista.

"Ya Tuhan kenapa seperti ini," gumam Calista.

"Jangan suka ikut campur urusan orang lain," bisik Damian.

Ucapan Damian seketika membuat Calista termenung, seharusnya ia tak melakukan itu.

Bodoh memang sungguh bodoh kenapa tak berpikir sebelumnya.

Sementara itu di kediaman Gunawan, Miranda terlihat sangat bahagia.

Akhirnya ia menikah juga dengan Leo lelaki yang sangat ia cintai.

Rasa penyesalan hilang begitu saja.

"Miranda besok aku mulai berangkat kerja," tutur Leo.

Miranda yang sedang menyisir rambutnya menghentikan aktivitas.

Ia menoleh kearah Leo dengan pandangan bertanya.

"Kenapa? Kenapa secepat itu? Bukannya biasnya seminggu atau lima hari. Kita baru menikah sehari dan besok kamu kerja. Kamu gila uang atau bagaimana sih," renggek Miranda.

Maklum pengantin baru sama sekali tak ingin berjauhan walau sebentar saja.

"Mir, aku enggak enak sama papa kamu." Leo coba menenangkan hati Miranda ia mengusap lembut rambut istrinya.

"Leo, kenapa kamu tidak pindah kerja saja."

Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulut Miranda. Mangkinkah ia takut benih-benih cinta Leo dan Calista akan tumbuh kembali.

Mengingat keduanya bekerja di satu perusahaan yang sama hanya berbeda bagian.

"Kenapa?" Leo mengernyitkan keningnya.

"Tidak aku takut saja kamu kembali ke Calista." Miranda menatap cermin.

"Untuk apa? Bukankah kalau memang aku lebih mencintai dia aku akan memilih dirinya. Tapi kenyataannya kamu lihat aku lebih memilih dirimu dari pada dia," ungkap Leo sedikit kesal.

Tok...Tok

Terdengar suara pintu di ketuk dari luar

"Mir!" panggil seseorang dari luar.

"Iya, Ma," sahut Miranda kemudian berjalan mendekati pintu dan membukanya.

"Hmm Anak mama cantik banget," puji Revita.

"Apa sih, Mama."

"Kamu enggak berencana kemana gitu, Mir?" Revita mengamati sekeliling.

"Enggak, Ma. Aku capek banget."

"Oh." Revita sedari tadi memperhatikan sekeliling mencoba mencari tahu dimana keberadaan menantu barunya.

"Ya sudah mama pergi dulu ya." Revita menutup pintu.

Di meja makan Gunawan duduk termenung, ia sangat merindukan anak bungsunya Calista.

Enam bulan tidak pernah bertemu namun saat dia kembali.

Bukan kebahagiaan yang ia dapat tetapi rasa sakit dan pengkhianatan.

"Mas, kamu enggak makan?" Revita duduk di sebelah Gunawan.

"Bagaimana aku bisa makan jika putriku merasa sakit," sindir Gunawan.

"Nah, itu salah kamu, Mas. Belum tentu Calista juga memikirkan kamu," cemooh Revita.

"Apa maksudmu?"

"Yah, Mas semua anak sudah punya takdir masing-masing," cela Revita.

Gunawan semakin tak mengerti dengan perkataan Revita. Calista juga anaknya, seharusnya sebelum ini terjadi ia menasihati Miranda agar tidak melakukan itu.

"Maksud kamu apa? Bukankah Calista itu anakmu juga!" bentak Gunawan.

"Ingat Mas tapi kamu juga ingat bahwa dia!" Revita menghentikan ucapannya dia tak ingin masa lalunya kembali ia ingat.

"Kamu fikir jika bukan keran dia hidupmu tidak seperti ini!" hardik Gunawan.

Selera makannya seketika hilang sungguh ia tak mengerti dengan pemikiran Revita.

Batinnya menangis hatinya nelangsa tak pernah ia bayangkan keluarganya yang harmonis akan berakhir seperti ini.

Miranda dan Calista yang sangat akur sekarang menjadi jauh.

Rasa gagal mendidik anak menyeruak dalam hati.

Andaikan waktu dapat berlalu ia tak ingin semua ini terjadi.

Sejatinya orang tua ingin menginginkan yang terbaik untuk anaknya begitu juga dengan Gunawan.

Yang ia inginkan sekarang adalah kepulangan Calista.

Karena baginya Calista bukan hanya anaknya melainkan malaikat kecil yang selalu menemani dirinya.

Leo yang mendengar pertengkaran kedua mertuanya merasa tak enak hati. Ia merasa semua ini karena dirinya tetapi apalah daya ia tak bisa menjalani hubungan jarak jauh.

Setiap menit ia selalu merindukan Calista menginginkan ia berada di sisinya.

Saat itulah Miranda hadir dan memberi warna bagi hidupnya.

Menemani dirinya dan selalu membuat kejutan.

"Maafkan aku Calista," lirihnya hatinya begitu sakit.

"Akhirnya selesai juga pekerjaanku." Calista meluruskan otot tubuhnya yang tegang karena mengerjakan tugas begitu banyak.

Entah kenapa Damian memberikan pekerjaan yang begitu banyak.

Beberapa kali ia harus memperbaiki dokumen yang ia buat.

"Apa-apaan ini dokumen tak berfaedah!" teriak Damian.

Ucapan itu yang teringat di pikiran Calista, dia memang tak banyak bicara akan tetapi sekali mulutnya membuka perkataan begitu menusuk hati.

"Ya Tuhan kenapa aku memiliki bos seperti itu," gerutu Calista.

Waktu menunjukkan pukul satu siang, kini saatnya jam istirahat tiba.

Buru-buru Calista berlari menuju kantin perutnya terasa sangat lapar.

Tadi pagi ia lupa tidak sarapan karena telepon Pak Salman.

Setibanya ia di kantin pandangannya tertuju pada seseorang pria.

Pria itu duduk sambil memandang Calista penuh senyum.

Akankah Calista mau menghampiri pria itu?