webnovel

About Last Night

Impian dan harapan bagaikan hancur dalam sekejap hanya karena seorang yang bersamaku selama ini. Apakah aku akan menyerah karena ini atau aku harus berjuang menghancurkan persepsi buruk orang-orang di sekitarku? Apakah aku akan tetap menerimanya setelah mengambil seluruh asa yang kuinginkan? Aku mungkin bukan menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini karena luka-luka yang belum kering, namun aku bisa menjadi orang pembawa rasa bahagia untuk orang lain ~ Christella

Isabelle1310 · Teen
Not enough ratings
8 Chs

Bab 1

Barangku telah selesai dibereskan. Kami berada di mobil. Aku memalingkan wajahku ke jendela. Meratapi nasibku dan janjiku ke dokter.

"Hei, jangan terus menerus sedih. Nanti otakmu terlau banyak tekanan sehingga kamu menjadi pusing," ucap dokter itu. Aku menghiraukan ucapan dokter itu.

"Bangunkan aku jika sudah sampai! Aku tak mau kau gendong!"

"Baiklah nona! Selamat tidur!"

Dia mengelus rambutku dengan rasa sayang. Kumasukkan tanganku ke dalam kantong hoodie.

~

Hari bahagia yang kutunggu telah tiba. Aku bisa meminta apapun yang kuinginkan. Pada tahun ini, aku ingin mama dan papa terlihat seperti pasangan bahagia. Sudah lama kakak laki-laki meninggalkanku dan rasanya sangat sepi. Biasanya dia akan melindungiku dari berbagai hal, namun aku sekarang terbiasa menjaga diriku.

Kutapakkan kakiku mengikuti semangat yang membara. Segera kuganti baju dengan seragam dan langsung menuruni tangga dengan langkah riang.

"Selamat pagi, nak. Selamat ulang tahun," sapa ibuku sambil tersenyum.

"Selamat pagi," balasku.

"Selamat ulang tahun, nak. Kamu ingin apa?" ucap ayah tanpa basa-basi sambil membaca tablet.

"Aku ingin kita berjalan-jalan dengan tenang tanpa perdebatan sehingga aku merasa lebih bahagia," ucapku penuh harap.

"Hmm... Bukankah itu terlalu mudah? Kamu tidak ingin hal yang lain," tanya ayah.

"Tidak apa-apa, yah. Sudah lama kita tidak pernah berpergian bersama. Baiklah, nak, setelah pulang sekolah, kita akan roadtrip saja mengingat ayah sangat sibuk" ucap mama dan mengelus kepalaku.

"Baiklah, aku akan berangkat sekolah sekarang. Bye semuanya," pamitku.

Sepulang sekolah, aku langsung dandan dan berganti baju. Aku juga tidak lupa membawa sedikit cemilan karena aku mudah sekali lapar. Kemudian, kupanggil mama dan papa.

"Ayo, mama dan papa, aku sudah siap," ujarku sambil menunjukkan kepalaku sedikit.

"Hei, sayang. Masuk saja! Mama mau lihat bagaimana cantiknya dirimu"

Aku pun masuk dan berputar di hadapannya.

"Putri mama cantik sekali," ucap mama sambil tersenyum.

"Sini papa cium"

Aku berjalan menuju ke ayahku. Ia langsung menarik tanganku dan mendekapku. Ia mengelus kepalaku, kemudian menciumiku.

"Anak papa sudah besar. Semoga kamu bahagia selalu ya nak dan Tuhan menyertaimu selalu"

"Iya pa"

"Yuk, ma pa berangkat biar jalan-jalannya bisa lama"

"Baik sayang"

Semua sudah berada di mobil. Papa mulai menjalankan mesin mobilnya.

"Sudah lama kita tidak seperti ini. Sejak kakakmu meninggakan kita..." kata mama.

"Kamu tidak boleh membicarakan hal itu di saat sedang bahagia seperti ini"

"Memangnya kenapa? Dia adalah anakku juga,"

"Dia sudah bukan anak kita"

"Mama papa cukup pertengkarannya. Ingat hal yang kuinginkan. Tidak boleh ada pertengkaran," ucapku melerai sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan.

"Kamu di saat besar nanti mau menjadi apa?," tanya papa.

"Kamu harus menjadi seorang dokter" pinta mama.

"Tidak, kamu bisa menjadi apapun asalkan kamu bisa mempertanggung jawabkan pilihanmu," balas papa.

"Zaman sekarang, kita sebagai orang tua tidak boleh membiarkan anak kita untuk memilih sendiri. Nanti yang ada hidup mereka akan hancur," balas mama.

"Kita hanya bisa memberikan dukungan saja kepada anak kita. Jika kita mengekang, pasti nanti akan terjadi seperti kakak. Apakah kau tak belajar dari pengalaman yang ada?" teriak papa.

"Papa mama, cukup sudah bertengkarnya! Itu semua pili..."

"Tidak bisa seperti itu, sayang. Mama tidak ingin hidup kamu hanc..."

"Aaa..."

"Brakk..."

~

Untung saja hanya mimpi buruk. Kubuka mataku dan mengatur nafasku.

"Dokter!" panggilku sambil meraba kananku ternyata, dia tidak ada. Aku baru menyadari bahwa aku berada di kamar. Aku beranjak dari kasur dan meraba tembok-tembok yang berada di sekitarku.

"Prangg..."

Aku merabai pecahan kata tersebut. Aku tak menyadari bahwa pecahan-pecahan kaca tersebut melukai tanganku karena yang kurasakan hanyalah rasa kebas saja.

"Astaga. Kamu baru kutinggal sudah seperti ini," ucap dokter Aito terkejut.

"Maafkan aku. Aku tak bermaksud seperti itu," ujarku ketakutan.

"Hei, tidak apa-apa. Duduklah di kasurmu. Aku akan mengambil kotak P3K"

Aku berjongkok dan meraba lantai untuk mencapai ranjang. Setelah sampai, aku mulai berdiri dan memutar badanku sehingga aku bisa duduk.

Tak terasa lama, kurasakan getaran di ranjangku.

"Kemarikan tanganmu!" perintah dokter Aito. Kuserahkan tanganku. Dia mulai mengobatinya dengan telaten.

"Kenapa kau tak membangunkanku?" ucapku kesal.

"Karena kamu tidur terlalu pulas dan aku tak ingin membangunkanmu," ucapnya dan keadaan kembali hening.

"Hei... Aku belum mengetahui namamu. Bisakah kamu memberi tahu namamu," ucap dokter Aito memecah keheningan.

"Namaku Christella. Bisa kau panggil Ella," ucapku dengan senyuman.

"Nah, teruslah tersenyum seperti ini. Kamu bisa membuat hati orang lain lebih tenang sedikit. Oh iya, panggil namaku Kak Aito karena umur kita tak terlalu jauh," ucapnya. Aku pun menganggukkan kepalaku.

"Nah, sudah selesai. Ayo kita makan!" ucap Aito.

Kami telah berada di meja makan. Aku mencium bau khas yang gurih. Aku pun tersenyum senang.

"Duduklah!"

"Sudah lama tidak pernah makan di meja ini," ucapku.

"Sini kuambilkan," ucap Aito dengan tulus.

"Yey, selamat makan! Aku sudah tidak sabar"

"Hei, pelan-pelan! Nanti kamu tersedak"

Aku pun mengangguk. Aku makan tempe goreng dan tumis buncis dengan lahap sehingga tanpa kusadari ada nasi di pipiku. Aito berpindah duduk di dekatku. Ia mengambil nasi yang berada di pipiku.

"Kamu makan seperti anak kecil"

"Maaf, aku sudah lama tak merasakan makanan yang sederhana ini. Aku hanya makan vegetarian. Terimakasih"

"Sama-sama," ucap Aito sambil mengelus kepalaku.

"Oh iya, besok malam, aku akan bekerja. Besok pagi, aku akan memberimu pelajaran mengenai huruf Braille. Selain itu, kita akan membereskan barang-barang kaca biar tanganmu tetap aman," lanjutnya.

"Baiklah. Omong-omong, mengapa kamu bisa belajar tentang itu?"

"Aku belajar itu karena ibuku mengalami kebutaan jadi aku belajar terlebih dahulu kemudian, aku baru mengajari ibuku"

"Mmm... Maaf, aku mengingatkanmu tentang ibumu," ucapku merasa bersalah

"Tenang saja, itu terjadi sudah sangat lama. Ayo cepat dihabiskan habis ini akan kubantu kamu untuk bebersih diri"

Aku pun mengangguk dan kami makan dalam diam.

~

Kami telah berada di kamarku. Aku diantarkan di depan lemari. Kubuka lemariku dan meraba isi lemariku. Kuambil pakaian yang dibutuhkan.

"Gimana sudah?" ucapnya. Aku menggangguk dan dia langsung menarik tanganku.

"Sakit," keluhku ketika sampai di kamar mandi.

"Ahh... Maaf. Kata ibuku, luka itu harus dielus biar cepet sembuh," ucapnya sambil mengelus tanganku. Aku termenung dan mengingatkanku pada mama.

"Sudah sana mandi, ucapnya sambil mendudukanku di kursi yang telah tersedia.

"Permisi, ada yang saya bisa bantu?," ucap seorang perempuan tua.

"Ahh... Bibi," ucapku senang. Bibi telah membantuku dari aku lahir hingga dewasa ini. Ia yang memberikanku kekuatan untuk menerima apapun dan bertahan di berbagai masalah.

"Itu siapa La?" tanya Kak Aito.

"Bibi yang barusan pulang dari desanya"

"Ahh... Bibi bisa minta bantuannya untuk membantu Ella bersih diri?" ucap Aito dengan sopan.

"Bisa kok," ucap bibi dengan tulus.

~

"Makasih bi," ucapku tersenyum setelah bibi mendudukanku di ranjang.

"Ndak papa, nak. Kamu kok bisa jadi begini?" ucap bibi sambil mengambil tanganku untuk diganti perbannya.

"Kecelakaan. Oh iya, orang yang tadi namanya Aito, bi. Mmm... Di mana dia?"

"Dia titip pesan sama kamu katanya sampai ketemu besok pagi di meja makan," ucap bibi.

"Sudah, nak," lanjut bibi dan beranjak meletatakkan kotak obat di lemari, sedangkan aku berposisi untuk tidur.

"Selamat malam, nak. Mimpi indah," ucap bibi tulus dan mengelus kepalaku.

Bibi beranjak pergi dari kamar tidur dan tak lupa mematikan lampu.