1 Prolog

Kukerjapkan mataku untuk masuknya cahaya ke dalam mataku setelah tak melihatnya selama 3 hari, namun nyatanya...

"Lihat, pasien no. 052 sudah siuman"

"Sepertinya ia mengalami kebutaan permanen dan shock berat"

Pandangan gelap ini mengaburkan harapan dan kenangan yang telah kubangun.

"Saya dari tim penyidik kecelakaan Anda. Anda mengalami kecelakaan di jalan tol Madiun-Nganjuk dengan pelaku pengendara truk yang kabur. Nomor mobil belum teridentifikasi. Ayah dan ibu Anda telah meninggal di tempat dikarenakan rusaknya airbag, sedangkan Anda kami bawa ke rumah sakit ini untuk mendapat pertolongan segera"

Hati hancur bagaikan ditusuk belati setelah mendengar pernyataan dari tim penyidik. Seakan langit mendengar risakan hati ini, menurunkan rintikan hujan penuh sarat kesedihan. Kini aku akan hidup sendiri dengan kosongnya pandanganku. Aku tidak tahu apakah dunia ini memperbolehkan aku untuk menjadi normal atau menolak dan membiarkanku mati dalam kehampaan ini.

"Perkenalkan saya, dokter Aito akan bertanggung selama Anda di sini. Saya akan mengecek tanda vital Anda," ucap dokter itu dengan menunduk. Aku hanya diam tak bergerak. "Kondisi Anda sudah bagus. Apabila tetap stabil seperti ini, besok sore sudah bisa pulang."

Persetan dengan semua itu. Aku langsung memunggungi pintu yang tertutup dan mendengar hujan gerimis yang semakin membesar. Kini yang aku pikirkan siapa yang akan menerimaku dan merawatku. Waktu yang kugunakan untuk menjadi seorang paskibra yang bisa berpartisipasi tingkat kota menjadi sia-sia. Aku menghela nafas dan sayup-sayup aku mendengar dokter berbicara tentang diriku yang sebatang kara. Aku tak suka dikasihani. Hidupku seperti beban. Tekadku sudah bulat untuk mengakhiri hidup.

Keesokan paginya

"Ahh..." teriakku kencang. Dokter Aito yang sedang bersiap untuk memeriksa langsung berlari sekencang mungkin. Ia mendobrak pintu kamar seperti orang kesetanan, kemudian memelukku dan mengelus punggungku. Aku pun mulai diam dan mendengar detakan jantungnya. Beberapa detik kemudian langsung kulepaskan pelukan itu dan menghapus air mataku. Kembali kupandangi dokter itu tidak suka.

"Selamat pagi, nona," sapa dokter itu dengan ramah, "Jika kamu ingin menangis, menangislah tidak ada yang melarang." Aku pun diam saja karena masih kesal. Aku menidurkan diriku dengan kepala menghadap ke atas. Ia mulai memeriksa diriku.

"Kondisimu sudah stabil. Sore nanti setelah infusmu habis, kamu sudah bisa pulang, namun aku tidak tahu kamu memiliki kenalan atau tidak dilihat dari sikapmu yang sangat dingin ini. Jadi aku memutuskan untuk mengantarkanmu. Kebetulan juga bukan shiftku sore nanti," ucap dokter tersebut.

"Aku tidak i..."

"Tidak menerima penolakan, nona," potong dokter itu. Aku menyerah dan pura-pura menutup mataku. Aku berencana untuk menuju ke bagian paling atas dari rumah sakit tersebut.

Derap kaki sang dokter sudah tak terdengar. Aku pun beranjak dari kasur sialan itu dan membawa tongkat infus itu meskipun mengalami kesulitan. Aku berjalan perlahan dan menabrak dinding sehingga badanku yang masih lemah terjatuh.

"Aww...," erangku kesakitan namun, aku berusaha bangkit lagi dan berjalan sedikit demi sedikit lagi hingga akhirnya aku berhasil meraih kenop pintu.

Kumenarik nafas dan membukanya perlahan dengan penuh kekhawatiran. Pendengaranku kini menjadi lebih tajam menggantikan. Samar-samar kudengar derap kaki yang melintasi pintu kamarku.

"Permisi, bisa bantu saya ke bagian atas rumah sakit ini?" ucapku memberanikan diri.

"Lo pengen apa di sana?" ucap orang ini dengan ketus.

"Hanya ingin mencari udara. Lagipula Anda siapa sehingga bisa mengatur keinginan saya," balasku kesal.

"Kalo lo ketus terus, gua nggak bakal bantuin lo," ucap orang itu meringis.

"Jangan seperti itu! Kumohon!" ucapku penuh harap. Andai saja tidak mengalami kebutaan sialan ini, aku pasti akan berjalan sendiri.

"OK. Gue kasihan sekali dengan lo yang buta ini. Dibanding lo nabrak-nabrak orang lain dan ditangkep sama dokter lo. Ikutin perintah gue kalo lo tetep pengen," perintah orang itu. Aku langsung refleks menganggukan kepala karena masih ingin menjalankan tekadku.

"Pegang tangan gue," ujar orang itu. Tanganku langsung mencari-cari tangannya, namun ia langsung menautkan tangannya membuatku terkejut. Ia menarikku dengan berjalan cepat. Aku yang harus membawa tiang infus langsung kupegang erat. Di saat berlari, kurasakan hangatnya tangan sama seperti milik kakak laki-lakiku yang telah menghilang selama 2 tahun ini. Aku termenung dan bernostalgia tentang kakakku yang selama ini menjagaku dari berbagai hal meskipun ia terkenal sangat dingin.

"He, lo udah sampe," ucapnya sambil melepaskan tautan tangan. Aku tak membalasnya. Dia yang kesal langsung mengguncang badanku.

"Hei, lo bengong aja. Udah selesai tugas gue kan? Gue tinggal," ucapnya. Derap kakinya telah menghilang. Kuraba sekitarku dan ternyata aku berada di tepian tembok.

"Hebat sekali orang itu. Dia bisa tahu aku ingin berada di mana," batinku.

Aku langsung melepaskan jarum infusku dan memanjat tembok dengan berbalik dan melompat sehingga mendarat dengan posisi duduk. Kunaikkan kaki dan mulai berdiri menghadap bangunan-bangunan yang tinggi dan megah.

"Andai aku bisa melihat indahnya pemandangan kota seperti dahulu bersama kakak"

"Mengapa kalian semua harus meninggalkanku sendiri?"

"Aku tak paham dengan seluruh caramu. Kenapa Engkau terus menghilangkan orang-orang yang kusayang?"

"Kenapa mama dan papa tidak pernah berbaikan demi diriku?"

"Kenapa kakak meninggalkanku dalam kehancuran?"

"Kalian menghancurkan impian dan harapanku"

"Kalian..."

"Kenapa menghancurkan hidupku?"

Pertahanan hatiku meruntuh. Aku mulai menangis.

"Memang benar, orang terdekat merupakan orang yang menyebabkan rasa sakit paling dalam"

Kumulai tutup mataku dan menarik napas. Aku melentangkan tangan dan bersiap meloncat.

"Satu dua tiga"

"Kau gila ya?" ucap suara orang yang kukenal itu.

"Kenapa nggak biarin aku mati? Aku capek dengan semua ini," teriakku sambil menangis.

"Turun sekarang dengan sukarela atau kuangkat tubuhmu"

"Aku eng..."

Dia langsung mengangkat tubuhku. Aku memukul badan dokter Aito dengan keras sambil menangis, namun dia memelukku dengan erat. Ia mengelus punggungku. Perlahan aku mulai merasa tenang.

"Kamu kenapa seperti ini? Aku tahu kamu punya banyak masalah, tapi apa dengan cara seperti ini kamu bisa menyelesaikan masalah?," ucap dokter itu.

"Kamu tidak pernah mengetahui rasa sedihnya ditinggal secara tiba-tiba oleh semua orang yang kamu sayang," elakku sambil menangis.

"Memangnya kamu tahu apa rencana Tuhan buat kamu? Memangnya kamu tahu apakah jalan hidupmu akan selalu semakin buruk? Jika kamu berpikir iya, buktikanlah sekarang juga"

"Aku tidak mengetahui rencana Tuhan. Aku tidak tahu jalan hidupku. Aku..." ujarku.

"Oleh karena itu, kamu tak bisa mengutuknya dengan seperti ini. Aku yakin di dunia ini pasti memiliki sisi kebahagiaan yang tersisa untukmu," nasihat dokter Aito.

"Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk tetap hidup hingga bisa mendapatkan kebahagiaan itu"

"Aku berjanji akan menemanimu hingga kau bahagia. Jangan buat diriku kecewa setelah meluangkan waktuku untukmu. Pinky promise"

"Kamu juga jangan ngecewain aku," ucapku sambil membalas pinky promise.

"Aku nggak bakal ninggalin kamu asal kamu tetap semangat"

Kata-katanya membuatku sedikit bersemangat untuk mulai berjuang dengan seluruh kemampuanku.

avataravatar
Next chapter