webnovel

Bagian 17

Hann



Alisa Naftalena, perempuan yang sempat kusukai (dulu) itu menatapku heran. Sambil memiringkan kepalanya ia bertanya, “Apakah aku mengenalmu?” tanyanya berusaha menautkan alisnya.

Wajar, sudah bertahun-tahun kami berpisah, tapi aku tahu betul jika itu wajah Alisa. Tidak salah lagi. Wajah yang tak banyak berubah seperti terakhir kali aku melihatnya. Untuk soal ini, aku cukup jeli dan cermat.

“Tidak, kah, kamu ingat siapa aku?”

Alisa memerhatikanku dengan seksama. Matanya menyipit, berusaha keras mengingatku. Tapi sepertinya sia-sia mengingatku. “Maaf, aku tidak begitu mengenalmu,” jelasnya yang masih sama bingungnya seperti beberapa detik yang lalu. “Tapi aku merasa, sepertinya aku pernah bertemu denganmu. Di suatu tempat, entah di mana.”

“Kamu merasa begitu?”

“Hmmm…,” Alisa mendenguskan napasnya. “Ah, barangkali hanya pikiranku saja, iya, ‘kan?” gumam Alisa setengah tertawa.

Aku menyerahkan bunga pampasnya kepada Alisa. “Tapi benar, ‘kan, kalau kamu memang memesan bunga dari pak tua Lunin?”

“Benar,” sahut Alisa. “Terima kasih.”

Ketika menerima bunga itu, lidahku bergerak dengan sendirinya, lalu tiba-tiba, “Aku Hann,” terangku.

Awalnya ia sempat berpikir berusaha mengingat namaku sambil mengernyitkan dahi dan menerawangku. Matanya penuh selidik alih-alih aku berbohong. “Hann?” tanyanya. Aku mengangguk.

Tetapi Alisa masih tak percaya, ia bertanya lagi untuk memastikan kalau aku tidak berbohong.

“Hann, yang tinggal di Kryze. Tetanggamu dulu,” jelasku.

Terbetik satu ingatan lama. Itu terpahat jelas di wajahnya. Awalnya Alisa tak memercayaiku, tetapi aku berusaha meyakinkan jika aku adalah Hann yang dulu sempat menjadi tetangganya di Kryze.

“Kamu, kah, itu?” Masih dalam situasi kejut, benar-benar terkejut.

Aku mengangguk. “Benar.”

Ia ternyata masih tidak percaya dengan teman lamanya. Ia juga benar-benar terkejut kala itu. Matanya terbelalak. Kedua tangannya menutup mulutnya. Tak berselang lama ia terpekik, “Teman lama!!” Suaranya keras.

Andaikata saat itu aku seorang perempuan, aku yakin Alisa sudah memelukku daritadi. Tapi karena aku seorang laki-laki, pelukan itu tak pernah terjadi.

Alisa tertawa melihatku, seolah ia tidak percaya dan hari ini adalah mimpi. Seketika ia tersenyum, senyuman yang tak banyak berubah seperti wajahnya. Kemudian Alisa berbalik, “Ayo, masuklah,” titahnya sambil memasukan seikat bunga pampas itu ke dalam vas berukuran besar di ruang depan.

Aku nampak setengah gamang ketika masuk ke dalam rumahnya. Tetapi Alisa tetap saja menyuruhku. “Teman lama.” Ia duduk di kursi, aku menyusul.

Sambil menuangkan segelas air, ia bertanya lagi. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu di sini?” Alisa menyodorkan cangkirnya.

Pertanyaan kecil itu ternyata membuatku berpikir ulang. Tidak mungkin, ‘kan, jika aku harus menjelaskan kepada Alisa kalau aku sedang mengejar seorang perempuan. Kukira itu sangat konyol. Jadi saat itu, aku mengarang jawabannya. “Beberapa hari yang lalu ketika aku hendak pergi ke Moruz, di Belousva, aku mendapatkan satu masalah yang pelik. Aku tidak tahu bagaimana harus keluar dari masalah itu. Tetapi seorang lelaki tua, Lunin, orang yang kamu kenal itu akhirnya menolongku. Karena tak tahu bagaimana harus membalasnya, dan sebagai rasa terima kasihku, aku membantunya membawakan banyak sekali bebungaan yang ia bawa entah dari mana.” Sambil mengangkat kedua bahu, “kebetulan juga aku tidak sedang diburu-buru oleh waktu. Singkat kata, aku ikut dengannya sampai ke sini. Sambil bertamasya.”

Ia memerhatikanku seperti anak hilang. “Dan apa yang membuatmu bekerja untuk lelaki tua itu?” Alisa masih penasaran.

Aku mendengus. “Ketika lelaki itu menuruni tangga di tokonya, tiba-tiba pinggangnya sakit. Dengan kondisi seperti itu, akan sangat merepotkan bila ia sendirian yang harus mengantarkan pada pelanggannya. Jadi, aku datang sebagai gantinya.”

“Baiklah, aku mengerti,” tukasnya. Namun Alisa sepertinya masih belum puas dengan jawabanku alih-alih mengapa aku muncul di Zsigrid.

“Ngomong-ngomong,” kataku, “sebenarnya aku juga terkejut ketika Anna yang dimaksud oleh Lunin adalah Alisa yang kukenal,” jelasku.

Alisa menahan setengah tawa. “Hmmm…. Bagaimana, ya.” Alisa berpikir. “Nampaknya nama Alisa terlalu anggun untukku yang tak seanggun itu.” Jelasnya dengan anggun dengan suara yang sama anggunnya. Ah, bukan main.

Kami berdua berbincang hangat bak kawan lama tak jumpa. Aku juga bertemu dengan kedua orangtuanya. Bibi Lena dan paman Joy, nama yang selalu familiar di telingaku sejak aku kecil dulu.

Sudah lama aku tidak melihat mereka. Bibi Lena, aku tidak lupa dengan wajahnya. Walau lebih dari sepuluh tahun berlalu, wajah bibi memang tak banyak berubah selain kulitnya yang sudah mulai keriput. Tapi itu tidak terlalu signifikan, sama seperti Alisa. Jadi aku tak perlu susah-susah mengingat mereka berdua. Namun untuk paman Joy, nampaknya sudah sangat berbeda. Sekarang tubuhnya tidak sebesar dulu, tidak sekekar dulu, kulitnya tak seputih dulu, dan otot-ototnya sudah agak mengendur. Sekilas, paman Joy bukan lagi paman Joy yang biasa kulihat di pagi hari sepuluh tahun yang lalu ketika ia masih segar seperti pemuda-pemuda di zamannya.

Saat itu kami berbicara sebagai dua individu. Pertama, sebagai tetangga. Kedua, sebagai kawan lama. Kami kembali bernostalgia, terkekeh bersama, juga berbincang soal masa lalu yang memalukan ketika aku diuber masa saat kami masih sama-sama tinggal di Kryze.

“Sepertinya sekarang kamu tidak seperti dulu, ya?” kata bibi Lena sambil melemparkan senyum. “Dulu kamu seperti anak yang… pokoknya nakal sekali. Dan sekarang aku harap tidak demikian.” Tandasnya gemas.

Aku tak punya kata untuk menanggapinya. Tapi memang, aku juga merasa sudah cukup berbeda dari aku yang dulu. Hann yang sekarang berumur 15 lanjut tentu berbeda sekali dengan Hann ketika berumur 6 tahun, ‘kan?

Ada satu pertanyaan yang membuatku terhenyak, yang membuatku diam membisu seketika, yang membuatku tertunduk, dan yang membuatku diam seribu bungkam. Saat itu paman Joy bertanya soal orangtuaku, “Ayah dan ibu, bagaimana keadaan mereka? Aku harap mereka sehat-sehat saja.”

Cukup lama aku tertunduk sebelum kembali membuka mulutku lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, “Beberapa waktu lalu, mereka resmi bercerai,” tukasku.

Mendengar itu, ketiganya kaget. Tapi bibi Lena dan Paman Joy-lah yang paling kaget. Alisa masih tidak terlalu mengerti soal perceraian, dia masih muda dan tidak tahu apa-apa.

“Maaf mendengarnya,” sahut bibi Lena berduka.

Tanpa sepatah kata pun penjelasan dariku, paman Joy menyadari alasan kenapa aku bisa berada di sini. Melarikan diri, matanya berbicara langsung padaku.

Aku tak pernah merasa kalut hanya karena orangtuaku bercerai. Sebuah pertunjukkan harus tetap berlangsung, teguhku. Dan bagaimana pun situasinya, waktu tak pernah berjalan mundur. Langkah manusia pun tak bisa kembali. Waktu bergerak secara linear, seperti kata Nala. Dan aku harus tetap melanjutkan hidup.

Tapi ke mana? Aku bahkan tak punya tujuan yang jelas.

Akhirnya kami mengenyampingkan masalah di keluargaku. Putar haluan, ganti topik. Saat itu perbincangan hanya seputar kehidupanku dulu dan sekarang, dan juga kehidupan Alisa yang dipenuhi dengan nada-nada tuts piano. Ia pernah memenangkan kompetisi bermain piano. Dari sekolah dasar hingga selesai SMP, sudah cukup banyak medali yang ia raih. “Bisa dong aku mendengarmu memainkan pianonya,” kataku seolah menggoda (sebenarnya tidak). Alisa lantas tertunduk, tersipu, dan terlihat kikuk. Perhelatan sementara itu ternyata cukup memakan waktu sampai-sampai aku lupa, aku harus melapor kembali ke pak tua Lunin.

Hanya beberapa langkah dari bibir pintu depan ketika aku hendak kembali ke toko, Alisa memanggilku. Ia hendak pergi bersamaku ke tempat pak tua Lunin. “Aku belum membayar bunganya,” jelas perempuan itu. Aku sempat menawarkan diri untuk menjadi perantaranya. Maksudku Alisa bisa menitipkannya padaku. Tapi Alisa menolak. Dalihnya, “Aku ingin melihat bunga-bunganya. Barangkali ada bunga-bunga lain yang membuatku tertarik.”

Aku tidak melarang perempuan itu untuk tidak ikut bersamaku. Kami keluar, berjalan bersama menuju toko milik lelaki tua itu. Awalnya Alisa memang terlihat gamang ketika berjalan bersebelahan denganku, tapi lama kelamaan, ini seperti nostalgi. Pikiranku melambung ke masa itu, masa ketika ke mana pun aku pergi, kami selalu bersama, Alisa selalu ada, tidak pernah meninggalkanku. “Aneh rasanya mengingat-ingat memori dulu,” terangnya di siang hari. “Jika sudah takdir, pertemuan memang selalu sederhana. Tapi juga rumit,” sambungnya. “Manusia tak pernah bisa menyangka.”

Dua detik kemudian, “Kukira wajah kesalmu saat itu adalah wajah terakhir yang bisa kulihat darimu.” Aku bergumam. Alisa menengok ke arahku. Pandangannya terangkat karena badanku lebih tinggi darinya beberapa senti.

“Ya, kukira juga demikian.” Alisa mengayun-ayunkan tangan. “Tapi ketahuilah, saat aku mengatakan akan pindah karena aku tak ingin menjadi tetanggamu lagi, sebenarnya tidak begitu. Ada mutasi kerja untuk ayah. Itu saja,” jelasnya sambil terkekeh. “Aku bohong kala itu. Tapi percayalah, aku tidak pernah membenci orang-orang, termasuk kamu.”

Sesampainya di toko, pak tua itu tengah duduk di belakang bunga-bunga miliknya. “Sudah sampai?” tanya lelaki itu ketika aku baru saja mendongakkan kepala masuk ke tokonya.

“Sudah,” pekik Alisa yang muncul setelah aku dan senyumnya yang khas dan matanya yang menyipit ketika tersenyum.

Lunin sempat tercekat. “Kalian saling mengenal?” tanyanya heran. Aku dan Alisa lantas menoleh ke arahnya. Kujawab, “Kami teman lama,” jelasku. “Teman masa kecil tepatnya,” jelas Alisa.

“Sebuah kebetulan?”

Kami berdua mengangkat bahu. “Siapa yang tahu...”

Alisa menghampiri Lunin. “Ini, terima kasih,” cetusnya sambil menyerahkan uang 75 riil.

Satu alunan melodi terdengar dari sebuah tape tua milik Lunin. Dari yang kudengar, musiknya menyenangkan, tapi juga rumit. Dan aku tak tahu siapa yang memainkannya. “Tuan Stuart!” Alisa tiba-tiba memekik.

Lelaki tua itu menoleh, “Kamu menyukainya?” tanya Lunin.

“Permainannya selalu memukau. Aku sangat menyukainya.”

“Aku juga,” jelas Lunin. “Sudah sejak muda dulu, aku sering mendengar ia memainkan pianonya. Dia berbakat, ‘kan?”

Alisa mengangguk. “Sangat,” timpalnya.

Awalnya aku tidak tahu siapa Tuan Stuart yang mereka bicarakan. Lalu Alisa menjelaskan padaku jika ia adalah seorang pianis yang cukup terkenal dikalangan para penikmat musik zaman ini. Nyatanya walau aku suka musik-musik, tapi aku hanya tahu soal musik klasik, tidak dengan musik-musik kontemporer.

Lunin lebih tau soal musik-musik Tuan Stuart daripada siapa pun di sini, karena ia hidup lembih lama. Dan musik-musik Tuan Stuart adalah musik-musik yang terkenal di zaman ketika Lunin masih muda. “Seringnya,” kata Alisa suatu hari, “semenjak ia berada di sini, ia selalu saja memutar musik-musik Tuan Stuart, entah kenapa. Mungkin di sangat menyukainya. Kupikir begitu.”

Aku mengangguk memakluminya.

Sambil mendengarkan musik-musik yang diputar di tape tua milik Lunin, Alisa juga mencermati setiap bebungaan yang ada di sana, mengendusi aroma-aroma yang menguar, kadang matanya terlihat berbinar di depan satu atau dua bunga yang saat itu mekar. Memang benar walau matanya berbinar, tapi tidak lantas semua bunga-bunga itu menarik hatinya.

Aku menyampirkan ranselku ke belakang punggung. Berdiri membelakangi toko, dan…

“Mau ke mana?” tanya Alisa.

Aku kembali bingung, bola mataku bergerak ke atas. Ke mana. Pertanyaan itu membayangiku. Tidak mungkin juga aku menanyakan perempuan lain kepada Lunin di depan Alisa, ‘kan?

Aku menoleh kepadanya, “Tidak tahu,” jawabku nahas.

Alisa menahan tawa melihat kebodohanku siang itu. Aku sudah siap dengan ransel di punggung, seperti para petualang, tapi aku tak tahu ke mana aku harus pergi. Sampai sini, aku kehilangan jejak Nala. “Dasar,” ketus Alisa.

Atas ajakan Alisa, ia membawaku kembali ke rumahnya lagi. Tapi sebelum itu, kami berdua memutuskan untuk pergi ke salah satu bistro di sana. Kami membeli minuman dingin, berjalan lagi, sambil membicarakan masa lalu. Bagaimana Kryze sekarang, atau, bagaimana sekolahku sekarang. “Apakah kamu tidak akan melanjutkan sekolah?” Itu pertanyaan Alisa yang kembali membuatku bingung. “Mungkin tidak,” jawabku gamang.

Alisa menyesalkan keputusanku. Hal itu jelas tergambar di wajahnya.

“Buatku, sekolah sudah tak ada artinya lagi.”

Mendengar itu, Alisa terhenyak, bisa-bisanya aku mengatakan itu dengan enteng dan tanpa dosa. Tapi Alisa tak ambil pusing. Ia mafhum.“Setelah ini bagaimana?” tanyanya lagi.

Aku menggeleng. “Tidak tahu,” jawabku tak bergairah.

Sambil berjalan, “Tak buru-buru, ‘kan?” tanya Alisa.

Aku menggeleng. “Tidak juga,” jawabku.

Kemudian mata perempuan itu membesar, “Kalau begitu, tinggallah sedikit lebih lama di sini,” pintanya.

Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Kutimbang sarannya, mungkin itu juga dapat membantuku. Tinggal sedikit lebih lama, tak ada salahnya.

Aku kembali ke rumah Alisa lagi, seperti yang ia minta. Aku duduk di ruang depan, dan di balik sekat dinding, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara. Suara piano! pikiranku memekik. Suara itu berasal dari kamar Alisa.

Awalnya aku hanya mendengar ia memainkan pianonya dari tempatku duduk saja. Kemudian suara-suara itu menggaung memenuhi setiap sudut kamar. Merambat, dan gelombang-gelombang itu serasa menyapaku, seperti salam perkenalan, menyapuku, membelaiku. Seiring jam berdetak, aku tergugah untuk mendongak dari luar kamar. Kudapati pintu kamar Alisa terbuka; dan benar saja, ia tengah memainkan pianonya.

Aku yang kala itu hanya mematung mendengarkan tuts-tuts piano ditekan, terkesima melihat Alisa begitu piawai bermain piano. Satu pemandangan yang baru, yang tak pernah kudapat dari seorang Alisa kecil sepuluh tahun yang lalu. Menjelang remaja, Alisa bukan sosok anak kecil lagi.

Aku mengamati kamarnya yang dipenuhi lembaran-lembaran partitur musik yang sampai-sampai, kertas-kertas berisi not itu bahkan lebih tebal daripada buku pelajarannya sendiri. Di setiap sisi, terpampang foto-foto seorang pianis jenius. Tuan Stuart, pianis yang tadi sempat ia ceritakan padaku, pianis yang diidolakan Alisa, tentu saja.

Awalnya Alisa sempat malu-malu, tapi aku menyuruhnya untuk kembali melanjutkan apa yang sudah ia mulai. “Permainanmu bagus sekali.” Aku terpukau sambil menyunggingkan senyum kala Alisa berbalik menolehku.

Kemudian ia kembali bergegas memainkan pianonya kembali sampai tuntas, tanpa sepatah kata pun terucap. Aku diam, menyimak melodi yang ia mainkan. aku sungguh terkesima melihatnya dari samping belakang. Benar-benar menawan, indah, dan.. Alisa nampak berkilau sore itu.

Seusai ia memainkan nadanya yang cantik, aku bertanya. “Apa judul lagu ini?” tanyaku.

Alisa menoleh, mantapku yang sedari tadi mematung di dekatnya, “Pertemuan,” jelasnya singkat.