webnovel

Bagian 16

Nala



Seorang lelaki berdarah Austro-Hungariaseumuran denganku datang ke kediaman bibi pagi-pagi buta. Ia mengetuk pintu, kemudian aku menghampirinya. Lelaki itu ternyata meminta bantuan bibi karena kudengar, ayahnya sedang sakit parah. Tapi Bibi tak memberitahuku apa penyakitnya.

“Ayah kembali berhalusinasi,” jelas lelaki itu, Fransz Magnus.

Bibi mengangguk. “Tunggu sebentar.” Bibi merapikan barang-barangnya, lalu memasukkan peralatan medis ke dalam tasnya. Aku pun membantu bibi membawa beberapa peralatan medis. Jadi mungkin, aku akan berguna sedikit buatnya, harapku demikian.

“Maaf kalau aku sudah mengganggumu sepagi ini,” cetusnya dengan kepala tertunduk.

“Tak apa. Tak perlu cemas,” jawab bibi santai.

Lelaki itu memandang bibi dengan penuh harap. Tapi sekali-kali, ia juga melirikku. “Terima kasih,” cetus lelaki itu pada bibi.

Anak muda yang kutahu nama panggilannya Magnus setelah ini, masih berada di luar di dekat bibir pintu. Dia berdiri dengan kedua tangannya disilangkan di belakang. Seperti perampok kena borgol polisi. “Ayo,” sergah bibi ketika melewati pintu.

Aku diperkenankan ikut bersama bibi ke rumah lelaki Austro-Hungaria itu. Kulitnya yang putih, lalu rambutnya yang bergelombang berwarna pirang, bentuk wajah yang hampir tirus, dan yang aku sukai dari lelaki itu adalah matanya yang berwarna biru jernih. Dengan sorot matanya yang sendu, dia melirikku. “Aku Magnus,” katanya sambil menjulurkan tangan. Aku mengangguk gamang, “Aku Nala,” jawabkuragu meraih uluran tangannya.

Bibi segera memasuki rumah dan menaruh barang bawaan sesampainya di tempat lelaki renta itu berbaring, namanya Sigurd. Begitu pula aku mengikuti di belakangnya, seperti anak itik yang mengekor di belakang sang induk.

Seorang wanita paruh baya dan seorang lagi –mungkin pembantu atau kerabatnya, tengah merawat seorang lelaki tua tak berdaya. Aku menaruh peralatan yang kubawa di samping kasur paman Sigurd. Rambutnya telah memutih, bahkan tak ada lagi sehelaipun yang berwarna hitam segar. Di bagian depan, rambutnya sudah mulai rontok karena penyakitnya. Dahinya sangat jelas bergurat-gurat, kulitnya keriput, sorot matanya tak jernih lagi, dan kosong. Beberapa kali, giginya bergemeletuk. Ketika mengangkat salah satu tangannya,ia bergetar. Pun –katanya, sudah beberapa minggu ini ia tidak pernah berkata apa-apa.

Bibi menyuruhku keluar. Aku mafhum karena ini bukan tontonan untuk anak sepertiku. Yang aku tahu, aku harus keluar menjauh dari mereka.

Aku keluar, dan yang bisa kulakukan hanyalah diam mematung menunggu bibi di halaman depan. Sesekali aku membalikkan badan. Kutatapi langit di sana begitu cemerlang, tak ada awan yang bersemayam di atasnya. Biru seperti samudra, cerah, dan bersih. Aku memangku dagu, dan tangan yang lain bertumpu pada pagar tembok setinggi –kira-kira satu meter, sambil berdoa memohon agar tidak terjadi hal-hal serius pada orang tua itu.

Sembari berdoa, derap langkah suara kaki terdengar. Lelaki Austro-Hungaria itu datang menghampiriku.

“Oh ya, siapa namamu tadi?” tanyanya tiba-tiba hampir saja mengagetkanku. “Aku lupa.”

Aku menoleh padanya. Spontan, “Kamu bukan tipe pengingat yang baik, ya,” sahutku. “Aku Nala. Kamu juga, Ma…”

“Magnus,” ucapnya meluruskan. “Kamu juga bukan tipe pengingat yang baik.”

“Aku tidak cukup baik mengingat nama orang.”

“Tak apa. Itu biasa. Aku juga,” katanya memafhumi dirinya sendiri.

Percakapan itu tertahan kala aku mendengar suara kambing-kambing mengembik. Kambing itu gemuk-gemuk. Nutrisi makanannya mungkin baik, pikirku.

“Aku suka dengan kambing-kambing,” cetusku merespon situasi memecah kekikukan. “Tapi aku tidak suka mengembala.”

“Sejauh yang aku tahu, para nabi pernah menjadi seorang pengembala,” jelasnya.

“Benarkah?” retorika ini berlanjut.

“Ya, mungkin…,” katanya.

“Ya, mungkin?” aku menarik napas. “Yang terdengar ditelingaku seperti ini; aku memiliki keraguan.”

“Benarkah?” Lelaki itu terkekeh tetapi tak pernah melanjutkan lagi.

“Tak semua nabi dijelaskan. Jadi.. Kamu perlu telaah tentatif untuk itu,” saranku.

“Itu akan menjadi benar-benar sulit,” kata Magnus sambil menatapku lekat-lekat. “Karena banyak kisah para nabi yang tak diketahui hidupnya.”

Aku mengangguk menyetujuinya. Namun tak lama, kegemingan dan keheningan mulai hinggap lagi sebelum lelaki itu kembali membuka mulutnya.

“Pertama kali datang ke sini?” tanyanya.

Aku mengangguk. “Jika ke rumahmu, iya, ini kali pertamanya.”

Lelaki itu terkikih. “Maksudku, ke Walczak.”

“Hahaha..” aku tertawa. “Tidak. Aku sudah cukup sering ke sini, sejak dulu.”

“Begitu, ya,” jawabnya lirih.

“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyaku. “Karena aku cukup sering ke sini. Barangkali saja aku pernah melihatmu, ‘kan?”

Lelaki itu kembali menghadapkan wajahnya padaku. “Aku tidak tahu. Mungkin iya, mungkin juga tidak.”

“Ya?” Aku memiringkan kepalaku.

“Kalaupun kita pernah bertemu, tidak ada artinya pertemuan itu bagiku dan bagimu. Alasannya karena kita asing bagi satu sama lain. Dan kalau pun kita belum pernah bertemu sebelumnya, itu bagus. Karena hari ini akan menjadi sejarah. Tapi aku tak tahu untuk siapa sejarah itu. Aku ataukah kamu. Namun satu hal yang pasti, dunia melebar selangkah lebih luas,” jelasnya.

Mendengar itu, aku hampir dibuatnya cekikikan. “Kamu pandai mengada-ngada, ya,” balasku, dan kami pun tertawa bersama.

Pagi itu kami menghabiskan waktu berbincang di pekarangan rumah sambil menunggu pemeriksaan bibi selesai. Rencanaku setelah ini, aku akan pulang ke Verge. Karena esok pagi, kelas pertamaku segera dimulai.

Dalam lamunan yang berharga itu, aku penasaran kenapa keturunan Austro-Hungaria sepertinya tinggal di sini. Saat kutanyakan, ia hanya menjawab, “Karena orangtuaku.”

Aku menyimak.

“Hubungan romansa mereka, maksudku ayah dan ibu, saat itu tak sempat direstui oleh keluarga ibu sendiri. Ayah dulu seorang reporter dan kerjanya nyaris nomaden, tentu saja. Sedangkan ibu, ia dididik untuk menjadi perempuan sebagaimana mestinya; yang baik, yang tetap tinggal di rumahnya di desa, yang konservatif, dan tak perlu mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan hanya untuk sekolah pun, nenekku sulit memberi izin. Oleh karena itu, mereka berdua sepakat untuk keluar dari kungkungan adat seperti itu. Mereka menginginkan kehidupan ideal seperti yang mereka harapkan,” jelasnya lagi. “Keduanya melarikan diri hingga sampai ke sini. Ke sebuah negeri yang bebas, yang mengapung di pasifik,” sambungnya.

“Tapi kukira, itu adalah sebuah pelarian yang mengagumkan. Kamu lihat, cinta bisa setolol itu.”

Magnus menahan setengah tawanya ketika mendengar ucapanku. “Memang, cinta membawa kita pada ketololan yang akut.”

“Atau, lebih baik tak pernah jatuh cinta?” Obrolanku mulai beralih. Lidah ini kembali meracau di luar kendali pikirku.

“Hmm,” lelaki itu menimang. “Aku tidak tahu,” jawabnya, dan tak lama aku melihat bibi keluar.

Pemeriksaan itu memang tidak lama. Bibi memberikan beberapa pil obat untuk ayahnya Magnus.

“Sudah waktunya aku mengakhiri percakapan singkat ini,” tukasku pada Magnus. “Aku harus pergi.”

Lelaki itu tersenyum kepadaku sambil kembali menjulurkan tangannya, mengajakku bersalaman. Awalnya aku ragu untuk menyambarnya. Tapi tidak sopan juga kalau aku tak menerima ulurannya. Saat itu kami bersamalam, dan aku merasa benar-benar kikuk.

“Senang bertemu denganmu,” ucapnya ketika aku hendak meninggalkannya.

“Ya, aku juga, senang bertemu denganmu,” sahutku pelan sambil menjauhinya perlahan. “Semoga ayahmu lekas membaik,” jelasku.

“Ayahmu sudah kuberikan obat sementaranya,” kata bibi. “Aku berharap penyakitnya tidak semakin bertambah buruk,” jelas bibi.

Seperti biasa, Magnus mengangguk. “Terima kasih.” Hanya kata itu yang ia ucapkan.

Aku dan bibi pergi meninggalkan lelaki itu. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya lagi, selain mata yang terus memandangiku hingga aku terbenam bak matahari ditelan lautan.

Di sepanjang jalan pulang, bibi bercerita padaku soal keadaan ayahnya Magnus. Keadaan sekarang ternyata jauh lebih buruk daripada setahun yang lalu. Diagnosisnya terdeteksi setelah di stadium-stadium akhir (bibi masih tak menjelaskan apa penyakitnya). Ia sempat kaget awalnya, sebab ayah Magnus tidak pernah memeriksakan penyakitnya kepada dokter. Pada stadium-stadium awal, ayahnya hanya mengeluhkan cemas, tak bisa tidur, dan ada masalah pada pencernaan. Anggapan itulah yang membuat penyakit itu tidak terdeteksi secara dini. Bahkan ketika gejala-gejala sepele muncul, ia tidak pernah sekalipun memeriksakannya ke rumah sakit hingga tubuhnya semakin hari semakin digerogoti dan sekarang, lelaki itu tak bisa bangun. Bahkan ia sudah sulit menggerakkan tubuhnya. Dengan kata lain, sudah parah.

Aku tertunduk lesu mendengarnya. Tak tahu respon macam apa yang harus kulontarkan hingga kembali ke rumah bibi.

Pukul 11 siang, aku mengemasi barang-barangku. Sepuluh menit kemudian, aku pergi dan meluncur dengan trem listrik menuju stasiun Belousva.

Setibanya di stasiun besar Belousva, aku teringat tempo hari ketika aku menjejalkan kaki di stasiun ini dan berjalan ke taman Veyssierre. Sepintas aku teringat soal lelaki yang saat itu makan bersamaku, Hann. Itu adalah sikap paling beraniku dengan orang yang baru saja kutemui beberapa menit sebelumnya; makan bersama dengan orang asing. Terlebih, dengan seorang lelaki. Berbeda sekali dengan Magnus.

Anehnya kala itu, aku tidak merasa canggung. Dia seperti… seorang teman. Senyumku mengembang. Kalau dipikir-pikir, tak pernah sekalipun aku bisa seakrab itu, tak pernah juga sekalipun aku bisa segampang itu jalan bersama orang asing.

Sekarang, aku tak tahu di mana ia berada. Dengan seenaknya aku mengharapkan keajaiban terjadi. Bertemu lagi, misalnya. Setengah senyumku merekah ketika melewati batas peron. Sekonyong-konyong pikiranku menyangkalnya, itu konyol, tambahku. Hann, ‘kan, sudah pergi?

Kemudian aku membeli tiket dan segera menghampiri kereta di jalur kepulanganku ke Zsigrid. Aku berjalan hingga akhirnya hampir tiba di bibir pintu kereta. Samar-samar terdengar suara ribut di sisi lain sebelum memasuki area perlintasan kereta api. Beberapa petugas meniupkan peluit dan berhambur-berlarian. Orang-orang yang berada di sekitarnya panik. Aku kira ada seorang copet yang beraksi dan kena uber masa, dan akhirnya tertangkap basah. Aku tak tahu orang bodoh macam apa yang membuat keributan di ruang publik seperti ini. Dan, aku memilih untuk mengabaikannya.

Kakiku masuk ke dalam kereta dan duduk dikursi yang kosong disebelah kanan dari tempatku muncul. Tak butuh waktu lama, suara-suara speaker peron dibunyikan tanda keberangaktan. Pukul 12.31, aku meninggalkan Belousva.

Aku menyeret langkahku menuju rumah. Perjalanan ini terasa cukup meletihkan. Padahal perjalanannya tak seberapa.

Ibu bertanya soal lawatanku ke rumah bibi. Kujawab, “Aku baik-baik saja,” jawabku. “Benarkah?” ibu bertanya untuk kembali memastikan.

Aku mengangguk dan segera membenamkan diri ke dalam kamar.

Sambil merebahkan tubuh, aku membayangkan hari pertama sekolahku besok. Apakah akan menyenangkan, atau sebaliknya. Klub apa yang akan aku ikuti, kegiatan macam apa yang akan menantiku. Aku membuat daftar resolusi yang harus kutunaikan selama tiga tahun ke depan. Salah satunya mengikuti olimpiade matematika. Kejuaraan yang paling ingin aku ikuti, tidak boleh tidak. Dan lucunya, bayangan-bayangan di sekolah baru itu akhirnya membuatku lupa waktu. Bahkan aku lupa untuk memejamkan mataku. Akibat perasaan sumringah yang tak tertampung, kutengok jam ternyata sudah menjelang sore. Hah! Padahal baru tadi aku tiba di atas ranjang. Dan sekarang, matahari sudah menggelantung di cakrawala barat.

Untuk mengakhiri liburan musim panas ini, aku ingin melewatkannya bersama Anna sambil mendengarkan alunan permainan pianonya yang merdu. Maka sore itu, kuputuskan untuk pergi menemui Anna sebelum matahari tergelincir.

Rumah coklat susu itu memiliki satu jendela di bagian samping. Sama seperti kemarin, itu adalah kamar milik Anna. Jadi sebenarnya, aku hanya perlu mendongakkan kepalaku dari jendela, maka akan kudapati seluruh sudut kamar dan seluruh isinya.

Aku berjalan jingkrak, riang gembira. Sesampainya di jendela itu, aku mendengar suara tuts-tuts piano dibunyikan. Suara alunan permainan Anna bahkan sempat terdengar sebelum aku tiba di balik jendelanya. Namun saat aku mengintip dari tempat itu, aku seperti disambar petir! Cepat, menghujam, kuat, dan aku tercekat. Napasku tertahan, mataku terbelalak, lidahku kelu. Dari balik jendela sorenya, aku melihat seorang lelaki tengah mematung di bibir pintu kamar Anna. Lelaki yang kutemui di taman Veyssierre, lelaki yang baru saja melintas di kepalaku siang tadi, lelaki yang seharusnya tidak ada di sini, lelaki yang seharusnya di bawa oleh kereta ke Moruz. Tapi mengapa? Kenapa Hann ada di sana? Kenapa ia berada dalam satu rumah bersama Anna? Kenapa ia bisa berada di bibir pintu kamar Anna?

Sore itu, pikiranku berkelumit, hampir kusut.

Apakah mungkin Hann dan Anna adalah…