webnovel

Chapter 12: Percobaan Mengakhiri Hidup

“Tora?”

Sosok yang dipanggil seketika menolehkan kepalanya ke sumber suara. Tora atau Van terkejut dengan keberadaan sobat karibnya yang tengah berdiri di belakangnya. Mata sipit sahabatnya beradu pandang dengannya yang menatapnya kaget. Sedetik kemudian sahabatnya itu terlonjak dan merangkul pundak Tora dengan tangan kanannya.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Van. Ia balas merangkulnya sejenak kemudian melepaskannya.

“Aku sedang menginap di penginapan dekat pantai ini. Sudah 3 hari aku di sini. Ada dance battle yang diadakan besok. Kau harus datang dan melihatku membawa pulang pialanya.” Ghani mengatakannya dengan sumringah. “Omong-omong, untuk siapa es krim itu?”

Ghani menatap dua buah es krim di masing-masing tangan Van. Van tersenyum simpul membayangkan ekspresi seperti apa yang akan ditunjukkan Ele nanti saat memakan makanan manis ini. Ia harap Ele mau tersenyum lagi setelah ini.

“Ini untuk Eleanore,” jawab Van. “Kami sedang main di pantai ini.”

Ghani membulatkan mata sipitnya. “Eleanore ada di sini? Dimana dia? Kau benar-benar jadi perawatnya?”

Van mengangguk mantap. “Dia di sana.” Jarinya mengacung menunjukkan keberadaan Ele yang tidak terlihat. “Aku sedang mencaritahu kenapa ia jadi seperti ini. Setelah ku pikir-pikir, ku rasa lebih baik jika aku menebus dosaku padanya. Kau tahu, dulu aku jahat sekali padanya,” ucap Van dengan keyakinan penuh.

Ghani menganggukkan kepalanya perlahan. “Bagaimana dengan bisnis resort-mu yang ada di luar kota? Bukankah itu alasanmu kembali ke sini? Untuk mengurusnya? Bagaimana kau bisa menjalankannya jika kau selalu ada di sini?”

“Aku punya beberapa bawahan yang bisa mengaturnya. Untuk sementara ini, aku membagi tugasku untuk mengurus resort dengan Kak Farel. Aku hanya perlu mengeceknya sesekali jika ada waktu luang.”

Ghani mengetuk-ketukkan kakinya di pasir putih. “Jadi Eleanore belum tahu siapa kau sebenarnya?”

Van mengangguk pelan. “Hingga saat ini dia mengenalku sebagai Van.”

“Sampai kapan kau akan menyembunyikannya, Bro?”

“Aku juga tak tahu, Ghan. Aku selalu merasa tidak siap untuk mengaku setiap kali aku menatap matanya. Untuk saat ini aku sedang menikmati waktu yang ku habiskan dengannya. Dia perlahan mau membuka hidupnya pada orang lain. Aku tak ingin mengacaukannya.”

Ghani berdecak. Ia lalu menepuk pundak sahabatnya menyemangati. “Aku selalu mendukungmu, Bro. Lakukan apa yang menurutmu benar.”

Van menggeleng tak setuju. Ucapan sahabatnya itu terasa getir di telinga. Dadanya mendadak terasa begitu sesak. “Terakhir kali aku melakukan apa yang menurutku benar, aku membuat seseorang jadi buta.”

Tak mau mendapat tanggapan apa pun dari Sang Sahabat, Van meneruskan ucapannya seketika.

“Ikut denganku. Kau belum bertemu dengan Eleanore lagi, ‘kan? Aku akan mengenalkanmu sebagai orang lain,” tawar Van.

“Bagaimana jika ia mengenali suaraku?” tanya Ghani panik. “Bagaimana kalau ia mengamuk dan menendang lalu mencakari wajahku?”

Van menendang lutut Ghani keras-keras. “Tak seburuk itu, Bantet! Sudah sepuluh tahun sejak dia mendengarkan suaramu terakhir kali. Dia tak akan mengenali suara cemprengmu itu,” ujar Van.

Ghani menggeleng ragu. “Tapi aku ikut melukainya dulu, ingat? Dia pasti membenciku.”

Van balas menggeleng menolak argument Ghani. “Ikut saja lah. Lima menit pun tak apa.”

Bujukan itu berhasil. Ghani akhirnya mau mengikuti Van untuk menemui Eleanore. Hening sejenak menghiasi atmosfer di antara Van dan Ghani saat keduanya berjalan mendekati lokasi di mana Ele terakhir kali ditinggal. Es krim cokelat di tangan Van mulai meleleh dan menetes di pasir. Pria itu menjilatnya sedikit saat lelehannya menetesi jari tangannya.

Tak berapa lama kemudian keduanya tiba di tempat di mana terakhir kali ia dan Ele berpisah. Akan tetapi, tak ada tanda-tanda keberadaan Ele. Van mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencari keberadaan gadis itu.

“Eleanore!” panggil Van. Ia berjalan beberapa langkah sambil meneriakkan namanya. “Eleanore! Kau dimana?”

Teriakannya menggema di tempat berpasir putih ini. Pria itu mencari di antara pohon kelapa yang berdiri berjejer di sekitarnya. Tak ada. Nihil. Ia berlari dan beralih mencari ke spot lain.

Bahkan sejauh mata memandang, saat ini tak ada satu orang pun selain mereka berdua yang berada di bibir pantai itu. Jantung Van sedikit berdebar. Ini bukan pertanda baik.

“Apa mungkin dia kembali ke mobil? Aku akan mencarinya di tempat parkir ya,” tawar Ghani.

Van mengangguk panik. Ia khawatir jika Ele dilukai seseorang. Dalam hati ia merapalkan doa supaya tidak ada hal buruk yang terjadi padanya.

“Eleanore! Dimana kau?” panggil Van berkali lipat lebih keras. Berbagai pikiran buruk berkecamuk di kepalanya.

“Tor!” teriak Ghani.

Van berbalik dan menatap sahabatnya.

“Apa ini milik Eleanore?” tanya Ghani sambil mengayun-ayunkan sebuah benda.

Indera pengelihatan Van menajam dan seketika membelalak menatap benda yang dipegang Ghani.

Sebuah tongkat putih.

Milik Eleanore.

Van berlari dan menyambar tongkat itu. Memastikan apakah benar itu milik Ele atau bukan. Tongkat itu basah. Tangannya bergetar menggenggam erat tongkat itu. Detak jantungnya menggila saat di detik itu juga ia yakin jika benda itu milik Ele.

“Dimana kau menemukannya?” tanyanya panik.

“Di sana.” Ghani menunjuk ke arah air laut.

Van membuang es krim dan tongkat di tangannya. “Panggil petugas pantai!” teriaknya pada Ghani.

Pria itu tanpa memikirkan hal lain lagi langsung berlari menyongsong ke arah laut dan ombak yang menari-nari di depannya.

***

“Bangun ya, Pumpkin. Aku minta maaf.” Van berbisik pelan di telinga Ele.

Sudah lima jam berlalu sejak ia menemukan tubuh Eleanore tenggelam di laut yang mereka datangi. Saat menceburkan dirinya ke dinginnya air laut, ia tak dapat memikirkan apa-apa lagi selain keselamatan orang yang mulai ia kasihi lagi itu. Begitu bodohnya ia karena sudah meninggalkan Ele sendirian. Bodohnya ia karena tak bisa memahami situasi.

Seharusnya ia tahu jika permintaan Ele untuk membeli es krim hanyalah alasan saja. Alasan untuk mengakhiri hidupnya. Ia merutuki dirinya sendiri yang tak bisa peka membaca perasaan Ele.

Masih terekam dengan jelas dalam ingatannya ketika ia menarik tubuh Ele yang tenggelam, nyaris tergulung ombak. Tubuh Ele dingin dan detak jantungnya begitu lemah hingga ke tahap nyaris tak terasa. Ia menarik Ele ke bibir pantai dan memberikan pertolongan pertama sebisanya.

Mulutnya meracau memanggil-manggil nama Ele, memohon agar gadis itu tidak pergi secepat ini. Di hatinya ia berdoa agar Tuhan berkenan menyelamatkan hidup Ele. Masih banyak yang akan ia katakan pada gadis buta itu. Dirinya masih harus menebus kesalahannya pada Ele dan memastikan jika gadis itu bisa tersenyum lagi dengan tulus seperti sedia kala.

Untungnya, dengan bantuan Ghani yang cekatan memanggil para penjaga pantai, Eleanore dapat segera dibawa ke rumah sakit terdekat. Di dalam ambulance, Van tak henti-hentinya memanggil nama Ele saat tangannya bertaut dengan gadis yang matanya terpejam dengan bibir yang pucat pasi. Van menggenggam tangan itu erat, seolah tak ingin kehilangan.

Karena memang begitu adanya, ia tak mau kehilangan Ele untuk kedua kalinya.

“Bro, kau pulang lah atau pergi ke penginapan yang sudah ku pesan. Ganti baju dan istirahat di sana. Sudah berjam-jam kau menangisi Eleanore seperti ini. Kau juga butuh membersihkan diri. ‘Kan dokter sudah bilang jika keadaan Eleanore baik-baik saja karena kita membawanya kemari dengan tepat waktu. Jangan khawatir.”

Van menggeleng menolak tawaran Ghani.

“Aku ingin ada di sampingnya saat ia sadar nanti.” Van meremas jemari Ele yang terpasang selang infus. Dengan gerakan sepelan mungkin ia mengecup jemari kurus itu. “Lagipula ini semua salahku.”

Ghani menggeleng. “Bukan. Ini bukan salahmu. Lagi pula kita kan tidak tahu jika Eleanore berniat bunuh diri seperti itu. Berhenti lah menyalahkan dirimu sendiri.”

Van mengabaikannya dan terus mengecupi buku-buku jari gadisnya. Air matanya menetes membasahi tangan itu. Ia mengusap matanya dengan kasar. Batinnya terus merapal panjatan permohonan kepada Sang Pemilik Kehidupan supaya Ele bisa bertahan dan segera membuka matanya.

“Jika kau mau bersikeras tinggal di sini, baik lah. Aku akan mencarikanmu baju untuk ganti dan makanan juga. Kau pasti lapar. Kau tunggu disini saja dan aku akan—“

“Eleanore!”

Pintu menjeblak terbuka mengagetkan Van dan Ghani. Keduanya sampai terlonjak saat mendengar suara yang menggema di ruang perawatan ini. Sosok wanita yang beberapa waktu lalu Van temui di Pusat Komunitas mendatangi ruang inap itu dengan tatapan panik. Netranya terpaku pada sosok Ele yang tertidur di ranjang rumah sakit. Di detik berikutnya wanita itu menghambur menghampiri Van dan Ghani lalu memeluk tubuh lemas Ele.

“Eleanore, apa yang terjadi padamu?” Wanita itu menepuk pelan pipi tirus Ele. Berusaha membangunkannya.

“Jangan ditepuk-tepuk seperti itu, Yura. Nanti Eleanore kaget.”

Yura menatap Ele dengan tatapan penuh rasa iba. Matanya berkaca-kaca menahan tangis sebelum ia menghadap ke arah Van dan memelototi pria itu. Tatapan menuduh itu seolah meminta penjelasan.

Tanpa pertanyaan yang pedas. Hanya tatapan tajam. Van sudah tahu saatnya ia menceritakan kronologis kejadiannya.

“Kami sedang berjalan-jalan di pantai. Tiba-tiba Eleanore memintaku untuk membelikannya es krim. Aku menurutinya dan meninggalkannya sebentar untuk beli es krim. Saat aku kembali, ia sudah tidak ada. Dugaan sementara, ia menenggelamkan dirinya di laut.”

“Kau meninggalkannya sendiri? Benar-benar sendirian saja di pantai itu? Kau gila? Jangan pernah meninggalkan Eleanore sendirian dimana pun itu! Ia pasti akan selalu mengulangi hal gila ini!”

Van mengernyitkan alisnya heran. Ia menangkap baik-baik kata demi kata yang disemburkan Yura padanya. “Mengulanginya? Jadi sebelum ini Eleanore sudah pernah mencoba bunuh diri?”

Yura mengacak rambutnya gemas. Wanita itu terlihat frustasi. ”Empat kali! Sudah empat kali ia mencoba membunuh dirinya sendiri. Ele sudah pernah mencoba melompat dari atap, menabrakkan diri di jalan raya, mengiris nadinya dan sekarang menenggelamkan diri. Kau perawatnya! Bagaimana kau tak tahu hal itu. Kau harus tahu riwayat semacam itu jadi kau tak akan meninggalkannya sendirian!”

Kepala Van berdengung hebat mendengar penuturan Yura yang mencengangkan.

“Tolong jangan bilang bahwa Ele tak akan bangun. Katakan bahwa ia baik-baik saja, Van!”

“Dia baik-baik saja.”

Van dan Yura berdua menoleh ke sosok Ghani yang membalas ucapan Yura yang berapi-api.

“Dokter bilang ia akan bangun tak lama lagi. Tunggu dulu saja. Ele pasti baik-baik saja.”

Mengabaikan ujaran sosok yang masih asing bagi Yura, wanita itu lalu memberondong Van dengan pertanyaan lain. “Dimana orang tua Ele? Apa kau tidak menelponnya?” tanya Yura.

Van menggelengkan kepalanya. “Aku menelponnya. Mereka bilang akan datang namun sampai sekarang mereka tak datang juga. Setelah itu aku baru menelponmu,” terang Van. Beruntung baginya ia sempat bertukar nomor saat di Pusat Komunitas. Feeling-nya selalu tepat. Ia rasa Yura akan jauh lebih kooperatif dibandingkan orang tua Ele sendiri. Itu sebabnya tanpa ragu Van langsung menghubungi Yura untuk memberitahu kejadian tersebut.

Yura mengangguk pelan. “Sudah biasa. Aku malah heran jika mereka khawatir pada anaknya.”

Di tengah-tengah percakapan mereka bertiga, suara erangan pelan terdengar pelan. Sontak ketiga pasang mata di ruangan itu menatap tegang pada sosok Eleanore yang bergumam dalam keadaannya yang tak sadar. Bibirnya bergerak-gerak, mencoba membentuk sebuah kata yang tak dapat mereka dengar.

Van bergegas duduk kembali dan meremas pelan telapak tangan Ele yang dingin. Van memandang gadis yang kini tengah mengernyitkan kening dalam ketidaksadarannya. Ele terlihat bergerak tak tenang dalam tidurnya. Tubuhnya sedikit berkeringat, saat bibirnya menyebutkan sebuah nama.

“Tor… Tora…”

Satu nama itu lolos dari bibir Ele, membuat sosok yang merasa terpanggil merasakan jantungnya jatuh ke dasar samudera.