webnovel

Chapter 11: Pantai

Eleanore dan tongkatnya berjalan di antara pasir putih pantai yang terhampar luas. Van mengekorinya dari jarak lima meter di belakangnya. Meski khawatir jika salah melangkah, tapi seperti biasa, gadis itu dengan keras kepala menolak bantuan perawatnya. Dari pada ia meledak lagi, Van memilih menuruti saja kemauan Ele dan berjalan di belakangnya sambil mengawasi. Kendati Ele menolak bantuan Van, namun diam-diam ia menuruti perawat tersebut saat Sang Perawat memberikan aba-aba kepadanya.

Netra pria itu terpusat gadis yang berjalan tertatih dengan rambut yang tertiup angin laut. Van memandang tubuh kurus Ele yang tertutupi sweater putih oversize. Sweater kebesaran itu membuat tangan Ele menghilang di baliknya. Membuatnya terlihat menggemaskan.

Van merasakan dorongan untuk memeluknya dari belakang.

“Ele, ada seekor anjing di depanmu,” ujar Van memperingatkan.

Kaki Eleanore menabrak tubuh anjing kecil itu. Anjing itu menggonggong dan menjilat tulang keringnya yang tak tertutupi sepatu. Pikiran Ele mengawang menari-nari mendengar kata anjing yang berputar-putar di kepalanya. Anjing adalah hewan yang setia, bukan? Apakah anjing lebih setia dari pada manusia?

Ele ingat dirinya dulu pernah memelihara seekor anjing yang diberi nama Snow, karena ia seputih salju. Akan tetapi, suatu saat tanpa sebab yang pasti, anjing itu mati. Tidak sakit, tidak ada yang mencelakainya. Hanya mati. Semudah itu.

Bahkan hewan yang katanya setia juga meninggalkannya. Tak ada yang bisa bertahan di sampingnya hingga akhir. Tak ada siapa pun kecuali dirinya sendiri.

Melihat Ele yang terlihat cuek dengan keberadaan hewan tersebut, Van bergegas mengangkat anjing itu karena khawatir Ele tak suka jika kakinya diendusi oleh Si Anak Anjing.

“Jangan. Biarkan. Aku ingin menyentuhnya.”

Mendengar permintaan Ele membuat Van menurunkan anjing itu tepat di depannya. Ele berjongkok tanpa melepaskan tongkatnya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala hewan berkaki empat itu. Anjing putih itu menggonggong riang sembari menggerak-gerakkan ekornya senang. Tubuh Eleanore terlihat sedikit lebih rileks saat mendengar gonggongan hewan berbulu itu namun masih tak ada senyum yang terkembang di bibirnya. Ia memandang kosong dengan wajah datarnya.

“Dia lucu sekali,” ucap Van mencoba mencairkan suasana.

Anjing itu menjilat telapak tangan Eleanore, sejenak membuatnya tersenyum samar karena geli.

“Beruntung kau bisa melihatnya,” gumam Ele pelan.

Hati Van terasa mencelos saat untaian kata itu terucap dari bibir Ele. Belum sempat ia menjawab ujaran Ele, terdengar suara teriakan seorang perempuan dengan suara lantang. Van melihat ke perempuan itu yang berlari ke arah mereka sembari membawa seutas tali.

“Bonnie!” panggil pemilik anjing itu terengah. “Astaga, Bonnie. Kau nakal sekali!” Perempuan itu mengambil anjing putih yang sedang menjilat tangan Ele. Ia mengaitkan tali ke kalung milik anjing itu.

“Maaf kalau menganggu. Anjing saya tiba-tiba lepas saat ditinggal sebentar.” Ia membungkuk sekilas ke arah Van dan Eleanore. “Sekali lagi saya minta maaf.” Ia membungkuk lagi, kali ini ke arah Ele. Perempuan itu melirik sejenak ke tongkat di genggaman Ele.

“Eh—“

“Tidak apa-apa,” gumam Van memotongnya sebelum perempuan itu berkata hal lain lagi yang mungkin membuat Eleanore tersinggung.

Gadis itu tersenyum canggung kepada Van dan bergegas pergi dengan membawa anjingnya. Ele kemudian bangun dari posisi jongkoknya dan menatap ke kedua telapak tangannya yang basah terkena liur anjing. Wajahnya menyiratkan tanda risih.

“Aku akan mengambilkanmu tisu basah, oke?” ucap Van.

“Apa di sini ada banyak orang?” tanya Ele tiba-tiba.

Van memandang sekelilingnya. Selain gadis tadi yang membawa anjingnya yang juga sekarang sudah jauh tak terlihat, tidak ada orang lain lagi selain mereka berdua. Hal itu dikarenakan pantai ini memang jarang menjadi pilihan utama warga sekitar. Pantai yang tidak terkenal ini cenderung ideal untuk menenangkan diri. Sepi dan tenang, sejak dulu hingga sekarang.

“Hanya ada kita berdua, Ele,” jawab Van sambil menatap lawan bicaranya. “Ada apa?”

Eleanore tersenyum kali ini. “Mau kah kau membelikanku es krim cokelat di dekat pintu masuk tadi?” tanya Ele malu-malu. “Aku mau ice cream.”

Mendengar permintaan Ele membuat senyum mengembang di bibir Van. Pria itu tak menyangka jika hari ini Ele mau tersenyum padanya. Sebuah keajaiban yang jarang sekali terjadi. Van bahkan tertawa saking senangnya melihat senyuman Ele.

“Tentu saja,” jawab Van antusias. “Kenapa kau tak bilang dari tadi? Bilang saja apa yang kau mau dan aku akan mendapatkannya untukmu.”

Ele mengangguk dua kali. “Aku akan menunggu di sini.”

“Jangan kemana-mana, ya? Aku tak akan lama.”

Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, Van langsung berlari untuk membeli es krim yang dipesan oleh Ele, gadisnya yang sampai kini masih tersenyum bahkan Ketika Van sudah tak terdengar lagi langkah kakinya.

***

Sementara itu, Ele yang telah ditinggal Van menghapus senyuman dari wajahnya.

Ia kembali menampilkan wajah datar kala indera penciumannya bertemu dengan aroma air laut yang dulu cukup akrab baginya. Ia merasakan paparan angin yang berembus menembus surainya, membuat tengkuknya merinding karena menahan dingin. Ele memejamkan mata dan mendengarkan dengan jelas deburan ombak yang menenangkannya. Beberapa burung camar yang terbang saling bersautan dan membuat melodi yang mengalun indah di telinganya. Suara-suara itu memeluknya, membuatnya merasa tak sendirian bahkan saat perawatnya dengan patuh meninggalkannya demi permintaan yang ternyata hanya akal-akalannya saja.

Ele melepas sepatunya dan menenggelamkan kedua kakinya ke dalam air. Pikirannya melayang kemana-mana. Sejak sedari di perjalanan hingga detik ini saat ia berjalan bertelanjang kaki di air, ingatannya akan orang di masa lalunya tak henti menghantui.

Pantai ini memiliki daya magis yang kuat yang membuatnya seketika ingat akan pemuda itu. Ia memang berusaha keras melupakan suara orang itu dan ia rasa berhasil. Akan tetapi selain itu, ia masih ingat setiap detail yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu di pantai ini. Setiap helaan napas pemuda itu, setiap tawa yang menggetarkan sukma, setiap untaian kata manis yang membuatnya berbunga, setiap ciuman yang menghilangkan akal sehatnya…

Ele menimbang sejenak. Ia menggunakan indera pendengarannya yang tajam untuk menangkap suara sekecil apa pun di sekitarnya. Entah itu suara gumaman orang, hewan, atau deru mesin kendaraan pengunjung yang mungkin datang. Gadis itu menunggu hingga hingga satu menit penuh. Saat dirasa sudah tak suara sama sekali, ia berjalan semakin dalam di pantai itu.

Ia dapat merasakan ombak datang lagi menambah basah kakinya. Tak menunggu waktu lebih lama lagi, Ele melepaskan tongkat yang selama ini menjadi pegangan hidupnya. Tongkat itu jatuh berdebum di atas pasir.

Gadis buta itu berjalan menyongsong dinginnya air laut. Kakinya terasa sangat dingin. Air laut begitu menyegarkan namun di sisi lain sangat mengundang.

Satu langkah.

Dua langkah.

Tiga langkah.

Entah telah langkah ke berapa yang sudah ia tapaki. Ele kehilangan hitungannya saat air laut menyambutnya, menenggelamkan tubuhnya hingga sebatas dada. Ele menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah lagi.

Pikiran Ele berada di awan. Semua orang meninggalkannya. Ibu… kakak… Semua orang yang ia sayang memilih pergi di saat ia sangat membutuhkan mereka.

Tora.

Ele memberanikan diri menyebut nama itu dalam hatinya.

Pemuda yang ia sayangi sepenuh hati itu juga meninggalkannya dalam keterpurukan. Orang itu memilih pergi meninggalkan Ele yang bergelut dalam kubangan luka yang tak tersembuhkan. Ia tak percaya lagi yang namanya ketulusan. Ia benci semua orang. Ia lelah menjalani hidupnya.

Air laut kini menyentuh hidungnya. Ele sedikit mendongak guna menghirup oksigen untuk yang terakhir kalinya. Jadi seperti ini rasanya menyambut kematian? Pikirannya tak lagi rungsang. Ia jauh merasa lebih tenang dan damai.

Apa kah ini yang dirasakan ibunya? Apa karena rasa damai ini ibunya memilih untuk meninggalkannya? Jika memang kematian begitu menenangkan, mengapa ibunya tak mengajaknya? Mengapa ia ditinggalkan sendiri di dunia ini?

Kaki Ele terpeleset, tertekuk, saat tubuhnya menyatu dengan air. Air laut nan asin memenuhi mulut dan hidungnya. Paru-parunya terasa panas seperti terbakar. Rasanya seperti ditekan kuat dan segalanya dingin. Dari kegelapan yang terbiasa ia lihat, Ele dapat melihat setitik warna putih.

Gadis itu tersenyum membayangkan akan bertemu dengan ibunya tak lama lagi.