webnovel

Aku Menikahi CEO Itu Demi Uang, Tapi Kenapa Dia Tidak Mau Melepasku?

Author: NeroDraven
Realistic
Ongoing · 4.9K Views
  • 1 Chs
    Content
  • ratings
  • N/A
    SUPPORT
Synopsis

Seorang pengusaha besar di kota tiba-tiba menawariku sebuah pernikahan, Aku tahu ini bukan tentang cinta, melainkan kesepakatan bisnis semata. Aku seharusnya bisa menjaga jarak sambil tetap bermain peran hingga bertahan sampai semuanya berakhir. Tapi semakin lama aku berada di dunianya, semakin sulit bagiku untuk berpura-pura. Yuk simak cerita yang di kembangkan oleh satu penulis ini yang terinspirasi dari kisah keluarga~

Chapter 1PROLOG— Menjual diriku demi finansial perusahaan yang stabil

Waktu menunjukkan malam hari, Tanggal dua puluh satu, Bulan tujuh, tahun dua ribu lima.

Aku duduk di kursi VIP restoran mahal ini, menyesap wine sambil menatap pria di depanku.

Nathaniel Ardian, pemilik Aurelius global corp, perusahaan raksasa yang menguasai setengah industri keuangan di negeri ini.

Wajahnya terukir sempurna—rahangnya tajam, hidung lurus, sorot mata yang tajam.

Pria ini bisa membeli apapun dengan sekali jentik jari.

Tapi aku ?, Aku hanyalah pengusaha kecil yang ingin bangkit dari hutang

"Bicara saja, Kenapa tiba-tiba ngajak makan malam ?" Aku meletakkan gelas, berbicara tanpa basa-basi.

Dia menyilangkan tangan di meja, matanya menatapku dengan tajam.

"Karena aku ingin sesuatu darimu."

Aku menyeringai.

"Langsung ke inti nya saja lebih bagus, Mau aku jadi pacar pura-pura lagi di depan keluargamu ?, Atau kali ini ada proyek bisnis yang butuh sentuhan wanita ?"

Nathaniel menatapku lebih serius.

"Aku ingin kamu menikah denganku."

Gelas wine hampir jatuh dari tanganku.

Aku berkedip, mencoba memastikan aku tidak salah dengar.

"Hah ?"

"Aku mau menikah denganmu." ucapnya sekali lagi namun nadanya lebih dingin.

Aku menahan tawa. "Maaf, Nate, Aku bukan tipe perempuan yang percaya dongeng Bintang Penyelamat."

"Siapa bilang ini dongeng ?" Dia mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya.

Sebuah kotak beludru hitam.

"Anggap saja ini kontrak, Kamu mendapatkan stabilitas finansial, lalu aku akan menjadikan kamu sebagai istri."

Aku menatap kotak itu dengan ekspresi tak terbaca.

Tawaran ini menggiurkan.

"Aku tahu ini bukan tentang cinta, Nathaniel Ardian tidak butuh cinta—dia hanya butuh istri untuk memenuhi kepentingan bisnis atau mungkin keluarganya, Lalu aku ?, Aku hanya ingin hidup nyaman tanpa harus berlutut ke seseorang karena usaha ku yang terancam bangkrut." Fikirku ketika melamun di hadapan pria itu.

" Tapi menikah dengan pria seperti dia ?, apa keputusanku sudah tepat ?" gumamku di dalam hati.

Aku menyandarkan punggung ke kursi, menatapnya dengan senyum samar.

"Aku perlu tahu satu hal dulu, Nate."

"Apa?"

"Seberapa sulit nanti kalau aku ingin bercerai?"

Nathaniel hanya tersenyum.

"Kita lihat nanti."

Ketika pria itu diam, Aku menatap kotak beludru hitam di atas meja.

"Bentuknya kecil sih, tapi entah kenapa kayaknya terasa lebih berat." fikirku di dalam hati.

Nathaniel masih duduk di depanku, ekspresinya sangat dingin.

"Kamu bercanda ?" Aku berbicara lebih dulu untuk melihat reaksi darinya.

Dia mengangkat alis.

"Sejak kapan aku terlihat seperti orang yang suka bercanda?"

Aku menelan ludah.

"Situasi ini di luar perkiraanku, Aku pikir dia hanya ingin hubungan profesional, sekadar memanfaatkan keberadaanku sebagai pasangan yang berpura-pura untuk mengisi acara bisnisnya yang penting, Tapi jika menikah dengan tulus ?, aku belum siap" fikirku ketika melamun.

Aku bersandar ke kursi, menyilangkan tangan.

"Kenapa aku ?"

Dia menatapku, seolah pertanyaanku terlalu sederhana untuk dijawab.

"Karena kamu pilihan paling masuk akal."

Aku tertawa kecil. "Apa maksudmu dengan kata 'Paling masuk akal ? "

"Kamu cukup pintar untuk tidak membawa perasaan ke dalam hubungan bisnis."

"Sialan Kalimat itu menusuk lebih dalam dari yang aku harapkan, Jadi, menurutnya, aku nggak punya hati ?, tapi emang sedikit bener sih"

Aku mengetuk jari di atas meja, berpikir cepat. "Jadi, kalau aku menolak ?"

Dia tidak langsung menjawab.

Sebaliknya, dia menyandarkan punggung sambil mengambil gelas wine, lalu menyesapnya perlahan.

"Kamu bisa menolak," katanya akhirnya.

"Tapi kupastikan, tawaran ini tidak akan datang untuk kedua kalinya."

Aku diam.

Lima menit berlalu, Aku masih menatap cincin di dalam kotak.

Cahaya dari lampu kristal di atas kami membuat permukaannya berkilau.

Nathaniel tetap diam, menungguku bicara.

Aku menarik napas pelan untuk mencoba mengurai kekacauan di kepalaku.

"Jadi, kamu mau aku menikah denganmu, tanpa cinta, tanpa janji apa pun selain kesepakatan bisnis ?"

"Benar."

"Dan kalau aku menolak?"

Dia meletakkan gelas wine-nya dengan santai. "Nanti, kamu tahu sendiri akibatnya."

Aku mengernyit. "mengancam ?"

Dia hanya mengangkat bahu tanpa menjawab ucapanku

Aku menghela napas.

"Aku ingin tahu detailnya."

Aku menyandarkan punggung ke kursi.

"Kontraknya seperti apa ?, lalu apa Hak dan kewajibanku ?"

Dia tersenyum tipis—

"Pernikahan akan berlangsung dalam waktu dekat persetujuan di atas kertas, kita menikah untuk menjadi pasangan sah, Kamu ikut dalam kehidupan sosialku, hadir di setiap acara penting, dan menjalankan peran sebagai istriku."

Aku menunggu, tapi dia tidak melanjutkan. "Itu saja ?"

Nathaniel mengamati ekspresiku sejenak, lalu bersandar. "Tentu saja, ada beberapa aturan."

Aku mengangkat alis. "Aturan seperti apa ?"

Dia menatapku lurus. "Tidak ada hubungan di luar pernikahan."

Aku tertawa sinis. "Lucu sekali, Jadi kamu mau aku setia, tapi ini bahkan bukan pernikahan sungguhan ?"

"Anggap saja itu bagian dari kesepakatan."

Matanya tidak menunjukkan keraguan.

"Dan kalau aku melanggar ?"

Dia tersenyum tipis.

"Jangan buat aku menunjukkan jawabannya."

Aku menggigit bibir.

Aku memutar kotak cincin itu dengan ujung jari, berpura-pura sedang berfikir.

"Sebenarnya, kepalaku sudah penuh dengan kemungkinan yang bahkan Nathaniel sendiri mungkin nggak menyadari." fikirku ketika melamun.

Dua menit berlalu, Aku tersenyum kecil lalu menatapnya.

"Cincinnya bagus, Kamu pilih sendiri ?"

Nathaniel tidak bereaksi seperti yang kuduga.

Dia tetap menatapku dengan ekspresi tenang. "Kupikir ini model yang paling cocok untukmu."

Aku mengangkat alis, mengambil cincin itu dari kotaknya, lalu menggenggamnya di telapak tanganku. "Seberapa cocok ?"

"Kamu nggak suka?"

Aku mendesah pelan, lalu menaruh cincin itu kembali.

"Aku cuma penasaran, Kamu bilang ini pernikahan bisnis, tapi kenapa rasanya kamu seperti benar-benar memilih cincin untuk tunangan ?"

Matanya menyipit sedikit.

"Sederhana saja," katanya.

"Aku nggak mau orang lain mencurigai sesuatu."

"Jadi ini hanya untuk pencitraan ?" Aku menyandarkan punggung, menatapnya tajam.

"Aku penasaran, Nathaniel, Apakah setiap keputusanmu memang selalu seperti ini ?"

Aku menyilangkan tangan.

"Kamu nggak merasa ini terlalu berlebihan?, Maksudku, kita bisa pura-pura dengan cara berpacaran, bisa pura-pura bertunangan, engga langsung menikah, kalau langsung menikah kedengarannya seperti keputusan yang dibuat dalam keadaan terpaksa."

Dia diam sejenak, lalu menyesap winenya perlahan.

"Aku tidak suka buang waktu."

"Begitu ?" Aku mencondongkan tubuh sedikit ke depan.

"Atau ada alasan lain ?"

Matanya bertemu dengan mataku.

Sebelum dia sempat menjawab, seseorang datang ke meja kami.

"Astaga, Nathaniel Ardian benar-benar mau menikah ?"

Aku mengalihkan pandangan, menatap seorang wanita dengan gaun satin biru gelap berdiri di dekat kami.

Wajahnya cantik, rambutnya tergerai sempurna, dan senyumnya begitu elegan—

Nathaniel hanya menatapnya sekilas. "Kejutan, kan ?"

Wanita itu tersenyum kecil, lalu beralih menatapku. "ini calon istrimu ?"

Aku tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangan. "Sayangnya, iya."

Dia menatap tanganku sesaat sebelum akhirnya menjabat.

"Cassandra White."

Aku tersenyum.

"Senang bertemu denganmu, Cassandra."

Dia tidak membalas, hanya menatap Nathaniel lagi.

"Aku nggak nyangka kamu akhirnya menetap ke pendirianmu."

Nathaniel tidak menunjukkan reaksi apa pun.

"Waktu terus berjalan cassandra."

Cassandra tersenyum kecil.

"Begitu, ya ?" Dia melirikku sekilas, lalu menyentuh bahu Nathaniel sedikit sebelum pergi.

Aku menunggu sampai langkahnya cukup jauh sebelum berbisik, "Siapa dia ?"

Nathaniel hanya menatap gelas winenya, lalu menjawab dengan nada datar. "Nggak penting."

Aku menatapnya lebih lama, Lalu memutar gelas wine di tanganku, memperhatikan warna merah tua yang berputar perlahan di dalamnya.

Nathaniel menungguku, ekspresinya tetap sama—dingin dan penuh perhitungan.

"Baiklah," aku akhirnya membuka suara.

"Aku akan setuju dengan pernikahan ini."

"Tapi ada syarat." Aku menyelipkan tangan ke dalam tas, mengeluarkan sebuah map berisi dokumen, lalu meletakkannya di atas meja.

Alis Nathaniel sedikit terangkat. "Apa ini?"

Aku menyandarkan punggung ke kursi lalu menyilangkan kaki.

"Kalau aku akan menjalani peran sebagai istrimu, aku juga ingin peran lain dalam hidupmu, Bukan sekadar pajangan di acara sosial atau istri di atas kertas."

Dia mengambil map itu, membukanya dengan gerakan tenang.

Matanya membaca setiap baris tulisan, lalu ekspresinya berubah sedikit lebih serius.

Aku melanjutkan, "Aku ingin masuk ke dalam Aurelius Global Corp tetapi Bukan sebagai istri CEO, tapi sebagai seseorang yang bisa memberikan kontribusi nyata, Aku ingin akses, keputusan, dan suara di meja eksekutif."

Dia tidak langsung menjawab.

"Jadi, kamu ingin lebih dari sekadar pernikahan bisnis ?" tanyanya akhirnya.

Aku tersenyum kecil. "Aku ingin sesuatu yang lebih konkret, Aku tahu kamu cukup pintar untuk tidak menikahi seseorang yang hanya akan jadi beban."

Nathaniel meletakkan map itu, lalu menatapku. "Kamu yakin bisa menangani ini ?"

"Kalau aku tidak yakin, aku tidak akan mengeluarkan map ke meja ini." Aku mengeluarkan pena dari dalam tas, meletakkannya di atas dokumen.

"Kita berdua mendapatkan sesuatu yang kita mau, Aku akan memainkan peran istrimu dengan sempurna, tanpa skandal, tanpa drama Tapi sebagai gantinya, aku ingin posisiku di perusahaan."

Dia tidak langsung mengambil pena ku.

Lima menit kemudian, Akhirnya, dia mengambil pena itu lalu menandatangani dokumen di hadapannya.

Begitu dia selesai, aku menarik map itu kembali lalu langsung menandatangani kontrak pernikahan yang dia berikan padaku sejak awal.

Nathaniel mengangkat gelas winenya, mengarahkannya sedikit ke arahku. "Untuk kesepakatan yang menarik."

Aku menyentuhkan gelasku ke miliknya sebelum menyesap wine itu perlahan.

Ketika wine kami habis, Nathaniel bangkit lebih dulu.

"Aku akan mengatur semuanya dalam beberapa hari ke depan, Kamu akan mendapat pemberitahuan."

Aku ikut berdiri, mengambil tas dan map yang kini berisi dua tanda tangan.

Kami keluar dari restoran tanpa banyak bicara.

Malam di kota ini masih ramai, lampu-lampu gedung memantulkan refleksi di kaca mobil yang terparkir di sepanjang trotoar.

Nathaniel berjalan menuju mobilnya tanpa menoleh, sementara aku menuju kendaraanku sendiri.

Begitu aku duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin, aku sempat melirik ke arah kaca spion.

Nathaniel sudah ada di dalam mobilnya, Tatapannya yang dingin menuju ke arahku.

Dua menit setelah melihat spion, aku menginjak pedal gas perlahan.

Lampu kota memantul di kaca depan, membentuk garis-garis cahaya yang bergerak cepat di mataku.

Di kaca spion, aku melihat Nathaniel melakukan hal yang sama.

Mobilnya melaju beriringan denganku.

Keheningan malam hanya diisi suara mesin yang berjalan dalam kecepatan stabil.

Sesekali, aku melirik ke spion, ke mobil hitam Nathaniel yang tetap sejajar denganku.

Lima belas menit berlalu, Hingga akhirnya, di persimpangan, dia mengambil jalur ke kanan sementara aku melaju ke kiri.

Begitu sampai di rumah, aku mematikan mesin sambil menghela napas panjang.

aku mengambil ponsel dari dalam tas, ketika ponsel sudah ku pegang, aku menyalakan ponsel itu lalu membuka grup internal perusahaan.

Luxverra Industries.

"Nama yang dulunya disegani, kini nyaris tenggelam karena hutang."

Aku mengetik dengan cepat sebelum fikiranku tenggelam ke masa lalu.

"Segera adakan meeting besok pagi, Ada keputusan yang harus diambil."

Beberapa detik kemudian, tanda centang biru muncul satu per satu, diikuti balasan singkat dari beberapa eksekutif.

Aku membuang napas pelan, lalu keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menyalakan lampu.

Tumit high heels kulepas satu per satu, kugenggam di satu tangan sementara tangan satunya membuka kancing bagian atas blusku.

Dari tadi terasa panas.

Langkahku menuju kamar terasa lebih berat dari biasanya.

Begitu masuk, aku menjatuhkan diri di atas tempat tidur, masih mengenakan pakaian yang sama.

Mataku terpejam.

Beberapa saat kemudian, Aku membuka mataku perlahan lalu bergumam.

"Empat puluh quadriliun…"

Angka itu terus terfikirkan di kepalaku setelah bersenang senang di luar.

Jumlah yang sangat besar untuk sebuah hutang perusahaan.

Aku menatap layar laptop di depanku, halaman laporan keuangan luxverra Industries memenuhi pandanganku.

Perusahaan yang dibangun dari nol oleh keluargaku, kini nyaris bangkrut di tanganku.

Aku menekan pelipis, menarik napas dalam.

"Aku harus menemukan cara untuk membalikkan keadaan."

Aku mulai mengetik di dokumen baru.

1. Memotong Pengeluaran Non-Essensial.

Aku melihat daftar biaya operasional.

Ada terlalu banyak anggaran yang bisa dikurangi.

Aku mencoret semua pengeluaran yang tidak berdampak langsung pada pertumbuhan perusahaan—perjalanan bisnis yang tidak penting, proyek eksternal yang tidak mendesak, dan kontrak dengan vendor yang bisa dinegosiasi ulang.

"Ini nggak akan cukup, tapi setidaknya ini langkah awal untuk perusahan ku."

Aku membuka daftar aset perusahaan.

Beberapa properti komersial di pusat kota, mesin produksi yang sudah tidak efisien, koleksi saham di perusahaan kecil yang nilainya terus menurun.

"Kalau aku jual semuanya sekarang, paling tidak aku bisa mendapatkan sekitar… lima sampai enam miliar."

"Terlalu kecil dibanding hutang yang mencapai puluhan quadriliun,Tapi tetap lebih baik daripada nol." gumamku di hati.

Aku mengajukan perintah penjualan ke divisi keuangan, lalu mencatat daftar aset yang bisa segera dilepas.

Aku membuka dokumen yang sudah lama kupikirkan

—sebuah proposal riset pengembangan teknologi ponsel pertama milik luxverra.

"Kalau aku nggak bisa menang dalam permainan lama, maka aku harus buat permainan baru."

"Industri smartphone masih dikuasai oleh beberapa perusahaan besar.

kalau aku bisa menemukan celah, menciptakan sesuatu yang inovatif… ini bisa jadi kunci kebangkitan luxverra." fikirku.

Aku mulai mencoret-coret konsep awal.

1. Desain modular yang bisa disesuaikan pengguna.

2. Sistem keamanan berbasis AI yang lebih cerdas.

3. Integrasi ekosistem baru yang belum dimiliki kompetitor.

Tangan terus mengetik, mengisi halaman demi halaman dengan ide-ide mentah yang bisa menjadi dasar proyek.

Aku masih menatap layar laptop, tangan terus mengetik di keyboard.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi.

Aku membuka lagi laporan inovasi teknologi terbaru.

Zenith Corp baru saja mengembangkan AI berbasis neural network yang bisa memprediksi kebiasaan pengguna dengan akurasi lebih tinggi.

Sementara Vexel Dynamics mulai bereksperimen dengan material baru untuk layar fleksibel mereka.

"Kalau aku nggak menemukan celah yang lebih unik, Luxverra nggak akan bisa mengejar mereka."

Aku membuka file konsep awal yang kususun tadi malam, mulai menambahkan beberapa poin baru.

1. Penggunaan material graphene untuk ketahanan lebih tinggi.

2. Pengembangan sistem AI hybrid yang lebih ringan tapi tetap responsif.

3. Desain modular yang bisa diganti sesuai kebutuhan pengguna.

Tanganku masih terus bergerak untuk mengetik, sampai suara azan subuh dari luar jendela berkumandang

Aku menghembuskan napas panjang, menutup laptop, lalu bangkit dari kasur.

"Waktunya istirahat..."

Aku berjalan ke kamar mandi, membiarkan air wudhu membasuh wajahku yang terasa panas setelah semalaman berkutat dengan layar laptop.

Sensasi dinginnya membuat pikiranku sedikit lebih jernih.

Beberapa menit kemudian, aku berdiri menghadap kiblat, melaksanakan sholat subuh di dalam kamar.

Tapi begitu aku selesai lalu menoleh ke arah meja kerja, realitas langsung menamparku kembali.

Aku kembali duduk, membuka laptop, lalu mulai menyusun agenda rapat yang sudah kurencanakan sejak tadi malam.

"Meeting harus berjalan lancar, Aku nggak bisa biarkan mereka melihatku goyah."

Aku mengetik detailnya:

- Update keuangan terbaru dan progres pembayaran hutang.

- Presentasi pengembangan proyek smartphone baru.

- Strategi mencari investor baru dan penyusunan ulang aset.

Aku terus menyesuaikan poin-poin penting sampai semua terlihat rapi dan jelas.

Tapi saat aku akhirnya bersandar di kursi, sesuatu tiba-tiba mengganggu pikiranku.

Aku mengernyit.

"Tadi cincin itu di mana, ya ?"

Aku melihat ke tangan kiriku namun gada apa apa.

Aku mencoba mengingat kembali.

"Aku belum pernah memakainya, kan ? Atau aku sudah memakainya dan melepasnya lagi ?"

Aku memejamkan mata sebentar, mencoba mengingat, beberapa saat kemudian, akhirnya aku ingat.

"Kotak hitam itu masih ada di tangan Nathaniel."

"Aku belum pernah menyentuh cincin itu lagi sejak tadi malam."

Aku menghela napas lalu kembali merebahkan kepala ke sandaran kursi.

tanpa kusadari, Mataku terpejam.

Aku tidur dengan keadaan masih duduk di kursi kerja.

Keesokan harinya, Suara alarm berbunyi tajam di telingaku.

Aku mengerjapkan mata, menatap sekeliling kamar yang masih terasa asing dalam kesunyian pagi.

Kepala terasa pusing, mungkin efek dari kurang tidur.

"Baiklah, saatnya bangun."

Aku mengangkat tubuh, mengusap wajah, lalu meraih ponsel untuk mengecek waktu.

Ternyata masih pukul lima tiga puluh pagi.

Aku punya waktu sekitar dua jam sebelum harus berangkat ke kantor.

Tanpa pikir panjang, aku bangkit dari kursi lalu berjalan ke kamar mandi.

Setelah masuk kedalam kamar mandi, aku melepas pakaian, lalu berdiri di bawah pancuran air hangat.

Saat air mengalir di kulit, aku memejamkan mata sebentar, membiarkan tubuhku rileks.

Tanganku meraih botol sampo, menuangkan isinya, lalu mulai memijat kulit kepala perlahan.

Aroma lavender menyebar, cukup untuk sedikit menenangkan pikiranku.

Aku membilasnya, lalu mengambil sabun cair, menggosoknya di tangan sebelum mengusapkannya ke seluruh tubuh.

Setelah selesai, aku meraih kedua handuk, membalutkannya ke tubuh dan rambutku, lalu melangkah keluar ke dalam kamar yang masih sedikit dingin karena AC.

Aku duduk di depan meja rias, membuka laci, dan mengambil botol kecil berisi serum wajah.

Aku menepuk-nepuknya perlahan ke kulit sebelum melanjutkan dengan pelembap.

"Makeup hari ini harus sempurna."

Aku mengambil foundation, meratakannya dengan spons hingga kulitku terlihat flawless.

Sedikit contouring di pipi, highlighter di tulang hidung, lalu sentuhan blush untuk memberikan kesan segar.

Mataku meneliti koleksi lipstik yang tersusun rapi di laci.

"Merah, nude, atau peach ?"

Aku akhirnya memilih shade merah tua—

Pemilihan Pakaian – Bukan Sekadar Soal Penampilan

Aku berdiri di depan lemari, menatap deretan pakaian yang tersusun rapi.

"Jaket, blazer atau coat panjang ?"

Aku memilih setelan blazer hitam, dipadukan dengan blouse satin berwarna krem.

Rok pensil selutut dan heels hitam.

Sebelum mengenakan pakaian, aku menyemprotkan sedikit parfum di pergelangan tangan dan belakang telinga—aroma musk bercampur vanilla yang lembut tercium di hidungku.

Aku berdiri di depan cermin besar, memeriksa keseluruhan tampilan dari ujung kepala hingga kaki.

"nggak ada yang kurang" fikirku

Aku mengambil tas kerja, memastikan semua dokumen penting ada di dalam, lalu meraih ponsel.

Layar menunjukkan notifikasi yang sudah menumpuk—email, pesan dari tim internal, dan satu pesan dari Nathaniel.

Aku membuka pesan itu.

Nathaniel: "Jangan terlambat."

Aku menatap pesan itu beberapa detik sebelum akhirnya menyelipkan ponsel ke dalam tas.

"Nathaniel, sepertinya kamu belum tahu aku sama sekali."

Aku menarik napas dalam, menegakkan bahu, lalu melangkah keluar.

Begitu masuk ke dalam mobil, aku meletakkan tas di kursi penumpang, lalu menarik ponsel dari dalamnya. Masih ada satu hal yang mengganggu pikiranku sejak tadi.

Aku membuka percakapan terakhir dengan Nathaniel.

Aku: "Terlambat untuk apa? 🤨"

Pesanku terkirim, centang dua langsung berubah biru.

Nathaniel: "Kamu nggak pernah suka pertanyaan langsung, ya?" 😏

Aku menghela napas, menyandarkan punggung ke jok, lalu mengetik lagi.

Aku: "Bukan nggak suka, cuma nggak suka buang waktu."

Balasannya muncul hampir instan.

Nathaniel: "Bagus. Jadi jangan terlambat."

Aku mengernyit.

"Orang ini suka banget muter-muter tanpa jawaban jelas." gumamku

Aku: "Kamu suka ngomong setengah-setengah gini ke semua orang atau cuma ke aku?"

Dia mengetik agak lama sebelum akhirnya membalas.

Nathaniel: "Aku nggak banyak bicara dengan orang lain. Kamu spesial." 😉

Aku membaca pesannya, lalu menghela napas lagi.

Aku meletakkan ponsel ke samping, memilih untuk tidak membalas lagi.

"Lupakan. Fokus ke rapat."

Aku menekan tombol start, mesin mobil menyala dengan suara halus. Tanganku meraih tuas transmisi, lalu menarik napas dalam sebelum menekan tombol open gate.

Pagar otomatis terbuka perlahan, memperlihatkan jalanan yang mulai ramai. Aku menginjak pedal gas dengan pelan, keluar dari halaman rumah, lalu berbelok ke jalan utama.

Aku menyalakan radio, membiarkan suara musik mengisi kabin.

Sesekali, aku melirik kaca spion, memastikan semuanya dalam kendali.

Ketika sampai di perempatan besar, aku menghela napas panjang.

Di depan sudah mulai padat.

"Sabar, ini masih pagi," gumamku pelan.

Aku menggenggam kemudi dengan satu tangan, sementara tangan lainnya mengetuk-ngetuk setir dengan ritme pelan.

Lima menit, sepuluh menit, akhirnya lalu lintas mulai bergerak.

Begitu masuk ke jalan utama menuju pusat bisnis, aku sedikit menambah kecepatan.

Gedung-gedung tinggi mulai mendominasi pemandangan, dan di antara gedung pengusaha lain, berdiri Luxverra Industries—perusahaanku yang sedang di ujung tanduk.

Aku memarkir mobil di area VIP, lalu mematikan mesin.

Begitu keluar dari mobil, aku mendongak menatap bangunan.

Tingginya menjulang, dengan desain modern yang mewah

Aku melangkah anggun melewati lobi utama Luxverra Industries.

Beberapa karyawan yang berlalu-lalang menoleh sekilas, sebagian memberi anggukan hormat.

Di dekat pintu lift, Eleanor Graves—asisten pribadiku—sudah menunggu dengan ekspresi seriusnya.

"Selamat pagi, Eleanor."

"Pagi, Miss Vellion," jawabnya sambil menyodorkan tablet berisi agenda hari ini. "Direksi sudah menunggu di ruang rapat, Direktur Operasional ingin berbicara sebentar sebelum kita mulai."

Aku mengangguk, lalu memasuki lift bersamanya.

Begitu pintu tertutup, aku melihat daftar jadwal yang muncul di layar tablet.

08.00 - Rapat Eksekutif: Laporan Keuangan & Restrukturisasi

10.30 - Presentasi Inovasi R&D

14.00 - Pertemuan dengan Divisi Hukum & Investor Baru

Ketika pintu lift terbuka di lantai eksekutif, Celeste Moreau—Direktur Operasional—sudah berdiri di sana.

"CEO baru kita akhirnya tiba," ucap Celeste dengan nada santai

Aku tersenyum tipis. "Sepertinya ada yang ingin kamu bicarakan ?"

Dia berjalan di sampingku, mengikuti langkahku ke ruang rapat.

"Aku hanya ingin memastikan kalau rapat ini berjalan sesuai rencana, Banyak direksi yang masih ragu dengan strategi penyelamatanmu."

Aku berhenti sejenak, menatapnya langsung.

"Celeste, mereka boleh ragu Tapi aku tidak akan memberi mereka alasan untuk menolakku."

Celeste menatapku beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil.

"Bagus. Karena kita sudah tidak punya waktu untuk kesalahan."

Ketika kami masuk ke ruang rapat, suasana langsung berubah.

Di dalam ruangan, meja panjang sudah dipenuhi para direksi dan kepala divisi.

Selain para tokoh utama, beberapa tokoh yang tidak terlalu berperan besar—juga hadir untuk menambah suasana profesional rapat perusahaan besar.

Karyawan & Anggota Eksekutif Lainnya)

David Langston – Kepala Divisi Keuangan, pria paruh baya dengan sikap skeptis terhadap strategi baru.

Marissa Owens – Kepala HRD, wanita berusia 40-an yang lebih fokus pada restrukturisasi tenaga kerja.

Ian Caldwell – Kepala Teknologi Informasi (CTO), pria yang lebih tertarik pada pengembangan AI untuk Luxverra.

Sophia Renner – Kepala Hubungan Investor, yang bertanggung jawab membangun kembali kepercayaan pemegang saham.

Lucas Meyer – Manajer Operasional, menangani kelangsungan produksi dan rantai pasokan.

Aku duduk di kursi utama, menyilangkan tangan di atas meja.

"Baik, mari kita mulai," suaraku memenuhi ruangan.

"Valerie, laporan keuangan ?"

Direktur Keuangan, Valerie Laurent, berdiri dan menyalakan layar proyektor.

"Laporan keuangan terakhir menunjukkan bahwa kita masih mengalami defisit besar akibat utang yang diwariskan dari kepemimpinan sebelumnya." Grafik merah memenuhi layar.

Aku menatap angka-angka itu dengan ekspresi datar. "Berapa total yang bisa kita bayar dalam waktu dekat?"

"Setelah menjual beberapa aset lama dan memotong anggaran operasional yang tidak perlu, kita hanya bisa melunasi 5,7 miliar dari total hutang yang mencapai 40 quadriliun."

Aku mengetuk jari ke meja. "Itu bahkan belum menyentuh satu persen dari total hutang kita."

Celeste menyandarkan punggungnya ke kursi. "Itu sebabnya rapat ini ada, bukan?"

Aku melihat ke arah Aurora Lin, Direktur Riset & Pengembangan. "Aurora, bagaimana status proyek inovasi kita?"

Dia membuka dokumen di depannya. "Kami sudah menyiapkan konsep dasar untuk pengembangan teknologi baru, tapi riset awal membutuhkan pendanaan yang cukup besar."

"Berapa besar?" tanyaku.

Aurora bertukar pandang dengan Valerie sebelum menjawab, "Kita butuh minimal 20 miliar untuk membangun prototipe awal dan melakukan uji coba pasar."

Suasana menjadi hening sejenak.

Aku menyandarkan punggung ke kursi, mengamati wajah-wajah yang menatapku dengan berbagai ekspresi—skeptis.

Aku tersenyum tipis. "Kita tidak butuh semua dana itu sekarang. Kita hanya perlu strategi yang lebih cerdas."

Marissa Owens dari HRD menyela. "Dan itu berarti apa, Miss Vellion ?"

Aku menatapnya langsung. "Itu berarti kita harus mencari pendanaan dari tempat yang tidak mereka duga."

Strategi pertama: Menggunakan sisa dana perusahaan untuk memulai riset secara bertahap.

Strategi kedua: Menarik kembali investor lama yang pernah percaya pada Luxverra.

Strategi ketiga: Menemukan sekutu baru yang cukup berani bertaruh pada inovasi kita.

Aku berdiri, menatap mereka satu per satu.

"Kita tidak akan bisa melunasi hutang dalam satu malam," ucapku tegas. "Tapi kita bisa menunjukkan bahwa kita masih memiliki sesuatu yang berharga—sesuatu yang bisa membuat dunia kembali mempercayai Luxverra."

Aku melihat Sophia Renner, Kepala Hubungan Investor. "Sophia, susun daftar semua investor lama yang masih memiliki saham di Luxverra. Aku ingin pertemuan dengan mereka dalam waktu dekat."

Sophia mengangguk cepat. "Akan saya siapkan, Miss Vellion."

Aku menoleh ke arah Valerie.

"Siapkan analisis keuangan yang menunjukkan bagaimana kita bisa memulihkan perusahaan dalam jangka panjang."

Kemudian aku menatap Aurora.

"Dan kamu, buat presentasi yang cukup kuat untuk membuat para investor percaya bahwa proyek ini pantas mendapatkan dana mereka."

Aurora tersenyum.

"Aku suka tantangan."

Aku kembali duduk.

"Pertemuan ini selesai. Kita semua tahu apa yang harus dilakukan."

Direksi mulai berdiri dan meninggalkan ruangan, kecuali Eleanor yang tetap berada di sampingku.

Dia menatapku dengan ekspresi tenang. "Kamu yakin bisa membuat mereka percaya pada proyek ini ?"

Aku menghela napas, lalu menatap layar proyektor yang masih menampilkan grafik keuangan yang memprihatinkan.

"Aku tidak butuh mereka percaya." Aku menoleh ke Eleanor dan tersenyum tipis.

"Aku hanya butuh mereka cukup takut kehilangan kesempatan ini."

Setelah rapat selesai, aku berjalan keluar dari ruang konferensi dengan langkah anggun.

Eleanor tetap di sisiku, menyodorkan tablet berisi daftar investor yang harus kutemui.

"Sophia sudah mengirimkan nama-nama investor lama yang masih punya saham di Luxverra," ucapnya.

"Sebagian besar sudah beralih ke perusahaan lain, tapi ada beberapa yang mungkin masih tertarik untuk bertemu."

Aku melirik daftar itu.

Nama-nama familiar muncul—orang-orang yang dulu pernah percaya pada Luxverra, sebelum semuanya bangkrut.

"Siapkan pertemuan dengan mereka," kataku. "Tapi jangan langsung semuanya. Mulai dari yang paling mudah diyakinkan dulu."

Eleanor mengangguk. "Dimengerti. Dan satu hal lagi… Nathaniel Ardian mengirim pesan."

Aku berhenti sejenak, menoleh ke arahnya.

"Apa katanya?"

Eleanor menyerahkan ponselku yang bergetar di tangannya.

Aku menerimanya dan membuka chat terakhir dari Nathaniel.

Nathaniel: "Jangan berpikir kamu bisa memenangkan permainan ini sendirian."

Aku menahan senyum kecil, mengetik balasan singkat.

Aku: "Aku nggak berpikir akan tahu tentang permainan yang kamu maksud."

Pesanku terkirim, centang dua langsung berubah biru.

Tidak sampai satu menit, dia membalas lagi.

Nathaniel: "Kalau begitu, kita lihat siapa yang lebih dulu bangkrut."

Aku menatap layar sebentar, lalu memasukkan ponsel kembali ke dalam tas.

Aku melanjutkan langkah menuju lift, sementara Eleanor terus mengikutiku.

"Jadi, kapan kamu ingin mulai menemui investor ?" tanyanya.

Aku melirik jam di pergelangan tangan. "Siapkan jadwal pertama besok pagi, Aku ingin memastikan mereka tahu bahwa Luxverra masih punya sesuatu yang layak diperjuangkan."

Eleanor mengetik cepat di tabletnya. "Baik. Aku juga akan menghubungi Aurora untuk menyiapkan presentasi teknologi."

Aku menekan tombol lift, lalu bersandar sejenak.

Pintu lift terbuka, dan aku melangkah keluar menuju ruanganku.

Eleanor tetap di sampingku, tangannya masih memegang tablet yang penuh dengan jadwal dan data yang perlu diselesaikan hari ini.

Begitu masuk ke kantor, aku meletakkan tas di meja, lalu melepas blazer dan menggulung lengan kemeja.

Lima menit kemudian, Aku menekan tombol di interkom. "Eleanor, siapkan kopi dan hubungi Aurora, Aku ingin melihat progres riset kita."

"Baik, Miss Vellion."

Beberapa menit kemudian, Aurora masuk dengan beberapa dokumen di tangannya.

"Aku harap kabar yang kamu bawa cukup menarik," ujarku sambil menyandarkan tubuh ke kursi.

Aurora meletakkan dokumen itu di meja. "Kita punya dua pilihan untuk inovasi ponsel Luxverra: pengembangan AI dengan sistem keamanan cerdas atau layar fleksibel yang bisa berubah bentuk sesuai kebutuhan pengguna."

Aku melirik laporan itu dengan cepat. "Dan yang paling realistis untuk dijual ke investor ?"

"AI," jawabnya tanpa ragu.

"Tingkat keamanan yang kita kembangkan bisa jadi sistem perlindungan data paling canggih di pasar saat ini Tapi masalahnya, kita butuh waktu dan biaya riset yang lebih besar."

Aku mengetukkan jemariku ke meja, berpikir. "Kalau begitu, kita akan menjual AI ini ke investor. Buat mereka percaya kalau ini adalah masa depan."

Aurora tersenyum kecil. "Terdengar seperti strategi yang nekat."

Aku menatapnya, sudut bibirku terangkat. "Satu-satunya cara menang dalam bisnis adalah membuat orang lain takut kehilangan kesempatan."

Pintu ruangan terbuka lagi, kali ini Eleanor masuk dengan ponsel di tangannya.

"Nathaniel Ardian menelepon."

Aku mengulurkan tangan, mengambil ponsel itu, lalu menekan tombol terima tanpa ragu.

"Sienna," suara Nathaniel terdengar tenang di seberang sana. "Kau sibuk ?"

Aku menyandarkan tubuh ke kursi. "Terlalu sibuk untuk basa-basi. Ada apa ?"

Dia tertawa pelan. "Investor lama Luxverra sedang mempertimbangkan untuk mengalihkan dana mereka ke proyek lain."

Aku menegang, tapi tetap menjaga nada suara tetap datar. "Dan aku harus peduli kenapa ?"

"Aku hanya berpikir… mungkin mereka lebih percaya padaku daripada padamu," ucapnya santai.

"Kamu tahu, rekam jejak seseorang dalam bisnis sangat mempengaruhi keputusan investor."

Aku tersenyum kecil, meskipun dia tidak bisa melihatnya. "Kalau begitu, aku hanya perlu membuktikan kalau mereka salah, ya kan ?"

Hening beberapa detik sebelum dia menjawab, "Aku ingin tahu sejauh mana kamu akan bertahan."

Sambungan terputus.

Aku menatap layar ponsel sebelum meletakkannya di meja.

Eleanor menunggu di dekat pintu. "Masalah ?"

Aku berdiri, meraih blazerku kembali. "Tidak. Hanya seseorang yang mulai sadar kalau dia mungkin tidak akan puas kali ini."

Eleanor tersenyum kecil. "Lalu, apa langkah selanjutnya ?"

Aku mengambil dokumen yang Aurora bawa tadi, merapikannya sebelum memasukkan ke dalam tas.

"Kita buat investor melihat sesuatu yang lebih berharga daripada janji Nathaniel Ardian."

Aku berjalan keluar dari ruanganku, melewati lorong menuju lift eksekutif.

Eleanor tetap di sisiku, langkahnya cepat menyesuaikan dengan langkah ku yang anggun.

"Investor pertama yang kau minta sudah dijadwalkan untuk besok pagi,"ucapnya tanpa basa-basi.

"Edgar Langford, Dulu dia salah satu pendukung terbesar Luxverra, tapi menarik diri saat perusahaan mulai bangkrut."

Aku mengangguk. "Dia masih punya saham di sini ?"

"Ya, tapi porsinya kecil, Sepertinya dia tidak berniat melepasnya, hanya menunggu situasi yang lebih menguntungkan."

Aku tersenyum tipis. "Bagus. Itu berarti dia masih melihat kemungkinan bahwa perusahaan ini bisa bangkit."

Pintu lift terbuka, dan aku melangkah masuk.

Begitu pintu tertutup, aku bersandar sejenak.

Aku menekan tombol lift ke lantai dasar, lalu menoleh ke Eleanor.

"Siapkan semua dokumen yang kita butuhkan, Aku ingin investor tahu bahwa Luxverra bukan hanya bertahan—kita akan mendominasi kembali."

Eleanor mengangguk. "Akan saya siapkan malam ini."

Pintu lift terbuka, dan aku melangkah keluar menuju lobi.

Begitu aku keluar dari gedung, sebuah mobil hitam sudah terparkir di depan pintu utama.

Nathaniel berdiri di samping mobilnya, mengenakan setelan hitam yang seperti biasa terlihat sempurna.

Wajahnya tetap tenang.

Aku mendekat, berdiri di depannya.

"Kalau kamu mau menggangguku, setidaknya lakukan di tempat yang lebih menarik."

Dia tersenyum kecil. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu."

Aku menyilangkan tangan di dada. "Dan itu apa ?"

Dia mengamati wajahku sejenak, lalu berkata pelan, "Kamu benar-benar berencana melawan aku ?"

Aku menahan tawa. "Nathaniel, kalau kau berpikir aku akan mundur hanya karena beberapa kata dari mulutmu, kamu benar-benar meremehkanku."

Dia mendekat, suaranya lebih rendah. "Kamu tahu, aku bisa membuat semua investor itu berbalik melawanmu dalam semalam."

Aku tidak bergeming.

"Dan aku bisa membuat mereka percaya bahwa memilihmu adalah kesalahan terbesar yang pernah mereka buat."

Nathaniel menatapku beberapa detik, lalu tersenyum. "Aku suka caramu bermain, Sienna."

Aku mendekat

"Aku ngga sedang bermain, Nathaniel, kita sedang bersaing ! ."

Dia menatapku tanpa berbicara, lalu Aku berbalik, melangkah menuju mobilku.

aku masuk kedalam mobil lalu menutup pintu mobil dan menyalakan mesin.

Satu jam perjalanan seperti biasa, setelah sampai, aku langsung melepas sepatu high-heels ku sambil tangan kiriku yang melepas kancing di bagian dada agar nggak gerah.

Setelah selesai, aku berjalan menuju kamarku, mengambil remote Ac lalu menyalakannya, ketika selesai, aku merebahkan tubuhku lalu memejamkan mata untuk tidur.

Keesokan harinya, burung burung berkicau saling memberi irama, sedangkan di dalam kamar, Suara alarm berdering.

Aku mengulurkan tangan, meraba-raba meja di samping ranjang dan menekan tombol snooze.

"Aku mohon Lima menit lagi, Hanya lima menit lagi, aku masih mengantuk"

Tapi mataku menolak untuk kembali tidur .

"Sial, perasaan tadi rasanya masih ngantuk" gumam ku.

Aku menatap sekeliling kamar dengan mata yang masih setengah terbuka.

Langit di luar masih gelap.

Setelah beberapa tarikan napas dalam, aku akhirnya duduk di tepi ranjang, menyingkap selimut, dan merasakan dinginnya lantai menyentuh telapak kakiku.

Dua menit kemudian setelah melamun, Aku berjalan ke kamar mandi, membuka keran, dan membiarkan air mengalir sebelum masuk ke bawah pancuran.

Begitu air hangat menyentuh kulit, sensasi segar terasa di tubuh ku.

Aku memejamkan mata, membiarkan tetesan air jatuh dari ujung rambut ke pundak sampai ke mata kaki.

Setelah selesai mandi, aku melilitkan handuk ke tubuh dan berdiri di depan cermin.

Wajahku terlihat segar

Aku mengambil botol serum, menepuknya pelan di kulit sebelum mengoleskan pelembap.

Aku meraih foundation, membaurkannya rata, lalu menambahkan sedikit highlighter di tulang pipi.

Aku memilih lipstik merah tua—

Saat aku berdiri di depan lemari pakaian, mataku melirik blazer dan blouse yang tersusun rapi.

Aku mengambil setelan blazer hitam dan rok pensil, lalu mengenakannya.

Setelah itu, aku mengambil sepasang heels yang senada

Begitu aku berdiri di depan cermin, aku melihat pantulan diriku sendiri.

Aku menyemprotkan parfum beraroma musk, lalu meraih tas kerja yang sudah tertata rapi di meja.

Saat aku membuka pintu kamar dan melangkah keluar, koridor apartemen terasa lebih dingin dari biasanya.

Aku berjalan menuju dapur, mengambil gelas, lalu menuangkan kopi hitam dari mesin yang sudah otomatis menyala sejak lima menit lalu.

Aku menyesapnya perlahan.

Ponselku bergetar di atas meja.

Aku melirik layar ternyata yang menelpon Eleanor.

Aku mengangkat telfon tanpa menunda "Apa?"

"Investor pertama sudah dikonfirmasi, Edgar Langford akan datang pagi ini."

Aku memutar cangkir di tanganku, mengamati cairan hitam yang berputar di dalamnya. "Bagus. Siapkan semua dokumen yang diperlukan."

"Aku juga menerima laporan dari tim keuangan," lanjut Eleanor.

"Mereka menemukan sesuatu dalam laporan transaksi lama. Aku akan membawanya ke kantor."

Aku mengernyit. "Sesuatu yang buruk ?"

"Sesuatu yang menarik."

Aku terdiam sejenak. "Aku akan segera ke sana."

Aku meletakkan gelas kosong di wastafel, lalu berjalan ke arah pintu.

Begitu aku keluar, udara pagi langsung menyambut dengan hembusan angin yang dingin.

Aku masuk ke dalam mobil, meletakkan tas di kursi penumpang, lalu menyalakan mesin.

Suara halus dari mesin terdengar halus di dalam kabin.

Tanganku bergerak membuka layar navigasi dan memeriksa kondisi lalu lintas.

"Hm... Jalanan utama cukup padat pagi ini, tapi tidak ada kemacetan, Bagus, Aku tidak punya waktu untuk keterlambatan." fikirku

Aku menekan tombol open gate, melihat pagar otomatis rumah perlahan terbuka.

Begitu jalanan di depan terlihat jelas, aku menginjak gas perlahan lalu meluncur keluar.

Udara pagi masih terasa segar, meski suhu di luar tidak terlalu bersahabat.

Aku menyalakan pemanas di dalam mobil, lalu menyesuaikan volume musik yang sudah otomatis terhubung ke sistem.

Alunan instrumen klasik terdengar di telingaku .

 

Di lampu merah pertama, aku meraih ponsel yang terhubung ke sistem mobil.

Satu pesan baru dari Eleanor.

📩 Eleanor: "Tim keuangan menemukan ketidaksesuaian dalam laporan transaksi lama, Aku pikir kamu akan tertarik melihatnya langsung."

Aku mengetuk setir dengan jemariku. "Ketidaksesuaian ?" gumamku pelan.

Lampu hijau menyala, dan aku kembali menginjak gas.

Di persimpangan berikutnya, aku melirik kaca spion.

Mobil hitam dengan kaca gelap di belakangku sudah ada di sana sejak aku keluar rumah.

Aku mengambil jalur kiri, lalu masuk ke jalan alternatif yang lebih sepi.

Mobil itu tetap mengikutiku.

Aku menghela napas.

"Nathaniel ?, Felix Montgomery ?, Atau ada pihak lain yang mulai menyadari pergerakanku ?"

Aku menekan tombol di layar navigasi, mengaktifkan mode privasi yang membuat lokasi mobilku tidak bisa dilacak dalam sistem umum.

Lalu, dengan injakan gas lebih cepat, aku berbelok tajam ke arah jalan kecil di sisi kanan, membuat mobil belakangku tertinggal di arus utama.

Dari kaca spion, aku melihat mobil itu akhirnya melaju ke arah lain.

Aku tersenyum kecil.

"Kalau kamu ingin mengawasiku, setidaknya lakukan dengan lebih halus." ucapku sambil menyetir.

 

Begitu aku memasuki kawasan bisnis pusat, gedung Luxverra Industries berdiri kokoh di antara gedung-gedung tinggi lainnya.

Aku memasuki area parkir VIP, mematikan mesin, lalu mengambil napas dalam sebelum keluar dari mobil.

Begitu aku melangkah masuk ke lobi Luxverra, suasana terasa lebih sibuk.

Para karyawan berlalu-lalang dengan ekspresi serius, beberapa menunduk hormat saat aku melewati mereka.

Di depan lift eksekutif, Eleanor sudah menunggu.

Dia menyerahkan tablet dengan laporan pagi ini.

"Investor pertama akan tiba dalam dua puluh menit," katanya tanpa basa-basi.

"Aurora sudah menyiapkan presentasi, dan tim keuangan menunggu di ruang rapat untuk menjelaskan temuan mereka."

Aku menekan tombol lift dan meliriknya sekilas. "Ketidaksesuaian dalam laporan transaksi, kan?"

Eleanor mengangguk. "Ya. Aku sudah melihat sekilas. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan dalam beberapa laporan keuangan lama. Sesuatu yang bisa menjelaskan bagaimana Luxverra jatuh begitu dalam."

Aku mengernyit.

"Felix Montgomery lagi ?" gumamku

Aku masuk ke dalam lift bersama Eleanor, dan begitu pintu tertutup, aku mengambil tablet dari tangannya, membuka laporan yang dikirim tim keuangan.

Beberapa transaksi lama muncul di layar.

Ada aliran dana yang tampak normal, tapi jika diperhatikan lebih detail, ada angka-angka yang tidak sesuai Seperti ada uang yang menghilang, atau sengaja dialihkan ke tempat lain.

Aku mengetuk layar dua kali. "Mereka bilang ini hanya kesalahan pencatatan, atau ada indikasi manipulasi ?"

Eleanor melipat tangan di depan dada.

"Mereka belum bisa memastikan. Tapi kalau melihat polanya, ini bukan sekadar kesalahan. Ada seseorang yang mencoba menutupi sesuatu."

Pintu lift terbuka di lantai eksekutif.

Aku menutup laporan dan mengembalikan tablet ke Eleanor.

"Aku akan melihatnya nanti. Sekarang, kita fokus ke Langford."

 

Di ruang rapat, Aurora Lin dan beberapa kepala divisi sudah menunggu.

Begitu aku masuk, mereka berdiri sejenak sebelum kembali ke posisi masing-masing.

Aku duduk di kursi utama, menyilangkan kaki. "Sudah siap ?"

Aurora mengangguk. "Ya. Aku sudah menyesuaikan presentasi agar lebih menekankan potensi keuntungan jangka panjang."

Aku melihat ke arah Valerie Laurent, Direktur Keuangan. "Apa kita sudah mempersiapkan jawaban jika Langford mempertanyakan stabilitas dana kita ?"

Valerie merapikan dokumennya. "Aku sudah menyiapkan proyeksi cash flow dan strategi restrukturisasi untuk memastikan dia melihat bahwa kita punya rencana konkret."

Aku mengangguk. "Bagus."

Beberapa detik kemudian, pintu ruang rapat terbuka.

Edgar Langford masuk, diiringi dua asistennya.

Pria paruh baya itu mengenakan setelan abu-abu, ekspresinya datar.

Aku berdiri, mengulurkan tangan. "Tuan Langford. Terima kasih sudah meluangkan waktu."

Dia menjabat tanganku singkat, lalu duduk di kursi di hadapanku. "Kita langsung saja, Nona Vellion. Aku ingin tahu alasan kenapa aku harus kembali berinvestasi di perusahaan yang hampir bangkrut."

Aku tersenyum tipis Lalu menyandarkan punggung ke kursi, menyilangkan tangan di atas meja. "Tuan Langford, saya tidak akan membuang waktu Anda dengan janji kosong. Luxverra memang berada dalam posisi sulit, tapi ini bukan perusahaan yang akan tenggelam begitu saja."

Aku memberi isyarat pada Aurora, dan layar besar di ruangan mulai menampilkan presentasi.

"Seperti yang bisa Anda lihat, kami telah merancang strategi pemulihan berbasis inovasi jangka panjang. Kami tidak hanya bertahan, tapi juga menciptakan produk yang akan mengubah industri ini."

Langford menyilangkan tangan. "Inovasi ? Banyak perusahaan yang mengklaim hal yang sama."

Aurora berdiri, melangkah mendekat. "Luxverra sedang mengembangkan sistem keamanan berbasis AI untuk perangkat ponsel, sesuatu yang belum pernah ada di pasar."

Di layar, diagram muncul, memperlihatkan bagaimana sistem ini bekerja.

Valerie menambahkan, "Dengan data yang kami miliki, prediksi ROI menunjukkan peningkatan hingga 37% dalam dua tahun pertama setelah peluncuran."

Aku mengamati Langford. Dia masih tampak skeptis.

"Dan kenapa saya harus berinvestasi sekarang ?" tanyanya, suaranya masih terdengar tajam.

"Apa yang membuat saya percaya kalau ini bukan hanya omong kosong ?"

Aku mencondongkan tubuh ke depan, menatapnya langsung.

"Karena saya tidak hanya mencari investor. Saya mencari seseorang yang cukup pintar untuk melihat peluang sebelum orang lain menyadarinya."

Ruangan menjadi sunyi.

Langford menatapku selama beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Menarik."

"Kami menawarkan kemitraan eksklusif," lanjutku. "Investasi Anda tidak hanya akan memberikan imbal balik yang signifikan, tapi juga akses ke teknologi yang kami kembangkan."

Langford mengetuk meja dengan jarinya, berpikir. "Berapa banyak yang Anda butuhkan?"

Aku tersenyum.

You May Also Like