webnovel

Eksekusi Mati.

Sudut pandang Arde

Aku membuka mataku dengan perlahan. Kulihat langit-langit... Terdapat lampu putih yang menerangiku. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Kulihat ada banyak peralatan medis. Aku tahu, ternyata sekarang aku berada di kamar pasien di sebuah rumah sakit. Pakaianku telah berganti hanya memakai pakaian tahanan penjara berwarna hitam dan putih. Aku mencoba bangun, namun ada sesuatu yang sedang menahanku.

Ternyata badanku diikat oleh sebuah tali berwarna hitam pekat, yang ditempeli dengan perangkat-perangkat canggih yang tak kukenal. Aku merasa badanku sangat lemah. Energiku seperti diserap.

Aku mengerti, ternyata benda ini menyerap energiku dan menahan kekuatanku. Aku tak percaya kalau alat seperti ini memang ada. Namun mengingat betapa majunya kerajaan sihir, hal ini bisa dibilang wajar. Kukira kekuatan yang diberi Kiara ini adalah yang terkuat dan tak terkalahkan. Namun ternyata aku masih jauh dari kata kuat. Orang itu... Litchbarhemn benar-benar kuat. Dia mampu mengalahkanku dalam sekejap.

Sudah dari dulu, lima tahun yang lalu, para pahlawan baru kerajaan sihir sering diperbincangkan. Mereka diceritakan sebagai sosok yang sangat kuat. Litchbarhemn adalah salah satunya. One shot man adalah gelarnya. Tak ada yang bisa lolos dari tembakan pistolnya. Semuanya akan terbunuh dalam satu tembakan. Namun kenapa aku masih tetap hidup? Itu karena dia hanya ingin menangkapku, bukan membunuhku.

                                 ...

Aku mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Aku bertarung melawan Party Permata Hitam, lalu membunuh Yuga, Charles, dan Landlous. Neyla, Benrade, dan Miya terluka parah. Mungkin mereka mendapatkan perawatan intensif. Sayang sekali aku tidak sempat membunuh Neyla. Namun aku sudah puas dengan aksiku. Dendamku telah terbalaskan. Setidaknya, aku bisa memberi Neyla trauma berat.

Oh iya... Selain Yuga, Charles, dan Landlous, bukankah ada banyak orang lainnya yang mati? Aura ku waktu itu telah membuat banyak orang di kota ketakutan, hingga menciptakan kecelakaan massal yang memakan banyak korban. Karena itulah Litchbarhemn menangkapku.

"Oh iya, aku ingin memberimu sebuah pesan. Jangan terlalu tenggelam dalam dendam, atau kau selamanya tak akan pernah bisa menemukan kebahagiaan. Fokus pada tujuanmu dan apa yang seharusnya kau lakukan. Jangan lakukan hal bodoh. Mengerti?"

Seketika kata-kata Kiara yang waktu itu, terngiang-ngiang didalam pikiranku. Aku bisa merasakan mataku yang melebar. Hatiku mulai bermunculan perasaan bersalah. Keringat dingin mulai bercucuran dari badanku. Aku telah melupakan pesan Kiara. Ini... Benar-benar buruk.

"Benar-benar bodoh..." Hinaku pada diriku sendiri.

Bagaimana bisa aku melupakan pesan itu? Aku... Benar-benar melakukan hal yang bodoh. Sekarang aku telah ditangkap. Karena aku dicap melakukan tindakan terorisme, pasti aku akan dibawa ke pengadilan 44, pengadilan khusus petualang. Lalu... Aku akan di eksekusi mati.

Kalau seperti itu... Bukankah perjuangan Kiara untuk menyelamatkanku menjadi sia-sia? Semua kekuatan hebat yang dia kumpulkan dan beri padaku akan terbuang secara percuma? Tak hanya itu saja. Itu berarti... Aku tidak akan bisa menyelamatkan ibu.

"B*jingan!!!"

Aku mengumpat dengan suara yang keras. Hatiku bercampur antara sedih dan marah. Aku terlalu sembrono sampai mengakibatkan kecelakaan besar. Ratusan orang telah mati... Itu bukan jumlah yang sedikit. Bukankah aku benar-benar berlebihan? Apakah aku memang sekejam ini?

                                 .....

Disaat kepalaku dipenuhi dengan banyak pikiran dan hatiku dipenuhi dengan rasa penyesalan, aku mendengar suara langkah kaki dari banyak orang di luar kamar pasien.

Suara itu semakin terdengar jelas.

Tak lama kemudian, pintu kamar ini terbuka dan menunjukkan enam sosok pria yang merupakan seorang polisi. Lima pria memakai seragam polisi yang tertutup oleh armor hitam. Mereka juga menenteng senapan. Dan satu pria lainnya hanya memakai seragam polisi tanpa perlengkapan.

"Permisi, maaf telah mengganggu waktu istirahatmu. Perkenalkan, namaku adalah Poraus, wakil kepala kepolisian ibukota. Kami semua datang kesini untuk memberitahumu, bahwa kau telah dikeluarkan dari guild petualang. Lencana dan lisensimu telah diambil kembali oleh pihak guild. Dan dalam enam hari lagi kau akan dibawa ke pengadilan 44. Kami juga akan melakukan pemindahan penahanan dirimu, yang awalnya berada di rumah sakit ini, menuju ke penjara di kantor kepolisian ibukota. Apakah kau keberatan?"

"Tidak, aku tidak keberatan." Jawabku.

"Bagus. Kalau begitu, bawa Arde"

Para polisi mulai melepas tali yang mengikatku, beserta semua perangkat-perangkat nya. Lalu, leherku langsung dipasang semacam kalung besi yang terdapat lingkaran sihir kecil yang menyala. Kekuatanku masih tak bisa kugunakan. Berarti kalung ini menahan kekuatanku? Aku juga tak bisa melepas kalung ini, karena kalung ini bukannya menggantung di leherku, namun malah mencekikku. Andai aku memberontak, mungkin aku akan mati kehabisan napas.

Para polisi mulai membawaku keluar dari kamar pasien. Tiga polisi berada di depanku, dua di samping kanan dan kiriku, dan dua lagi di belakangku. Aku dikawal dengan ketat. Tak ada cara untuk kabur.

Kekuatanku malah tidak berguna.

Beberapa menit berlalu, kami keluar dari rumah sakit. Kemudian aku dimasukkan kedalam kendaraan sihir milik kepolisian, dan duduk sambil dijaga oleh para polisi. Setelah itu, kami melakukan perjalanan menuju ke kantor polisi, kemudian aku ditahan dalam penjara khusus, yang hanya ada diriku seorang.

                                ....

Enam hari telah berlalu, aku dibawa ke pengadilan 44. Sekarang, aku berada di depan pintu ruang sidang. Disampingku, terdapat dua orang petugas yang sedang menjagaku. Leherku masih terlilit oleh kalung sialan ini. Benda ini benar-benar membuatku menjadi sangat lemah.

Aku heran, bagaimana mungkin kekuatan hebat yang diberi Kiara, yang berasal dari 14 cabang takdir berbeda, bisa disegel oleh kalung ini? Tak hanya kekuatan sihir, esper dan lainnya, namun kekuatan fisikku juga melemah. Aku hanya setara manusia biasa sekarang.

"Selamat pagi hadirin sekalian, sebelum sidang dimulai, diharapkan untuk tenang dan tidak berisik supaya tidak menggangu jalannya persidangan ini."

Aku mendengar suara di balik pintu itu. Seharusnya ruang persidangan kedap suara, namun aku masih bisa mendengar suara di dalam ruangan itu... Sungguh ajaib. Inderaku masih berfungsi dengan baik.

"Terima kasih atas pengertiannya. Dengan begini, sidang dalam perkara pidana tindakan terorisme, dibuka untuk umum!"

Suasana tetap hening, setelah orang itu mengatakannya.

"Untuk petugas, bawa terdakwa kesini"

Kemudian salah satu petugas membuka pintu. Dan terlihatlah ruang persidangan yang megah.

Petugas membawaku kedalam ruang persidangan. Didepan sana ada satu hakim ketua dan dua hakim anggota yang duduk bersama. Disampingnya, aku bisa melihat adanya jaksa penuntut umum. Disini aku bisa melihat para penonton yang merupakan warga sipil, memandangiku dengan ketakutan dan penuh kebencian.

"Hukum mati dia!"

"Hukum mati teroris itu!"

"Hukum mati!"

"Beri dia hukuman mati!"

Tok tok tok!!!

Palu ketukkan oleh hakim. Semua orang langsung terdiam.

"Harap tenang semuanya! Jangan mengganggu proses sidang!"

Tak ada respon. Namun masih terlihat, orang-orang menatapku dengan tatapan buruk.

Aku sampai di sebuah tempat duduk, kemudian aku duduk disana. Hakim memandangiku dengan seksama, hendak mengatakan sesuatu.

"Saudara terdakwa, apakah benar anda bernama Arde?" Tanya hakim

"Benar yang mulia." Jawabku

"Apakah saudara terdakwa dalam keadaan sehat?"

"Iya yang mulia."

"Hmm, kalau begitu, mari kita mulai sidangnya. Penuntut umum, silahkan untuk membacakan surat dakwaan."

Kemudian seorang wanita, yang merupakan penuntut umum berbicara.

"Baik yang mulia."

Penuntut umum mulai mengambil surat dakwaan, lalu dia membacanya.

"Surat dakwaan, tanggal 18, bulan ke 5, tahun 2500 Tarthalus, dengan ini menyatakan Terdakwa Arde telah melakukan tindakan terorisme dan melanggar beberapa undang-undang sebagai berikut.

1. Terdakwa melanggar Undang-undang tahun 2349, pasal 16 ayat 3 tentang hak asasi manusia.

2. Terdakwa melanggar Undang-undang tahun 2460, pasal  21, tentang penggunaan sihir tingkat tinggi.

3. Terdakwa melanggar undang-undang tahun 1860, pasal 31 tentang tindakan terorisme.

Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa bukti sebagai berikut:

1. Rekaman CCTV.

2. Siaran langsung di semua media.

3. Mayat para korban yang tercemar radiasi kegelapan konsentrasi tinggi.

4. Rekaman detektor magis.

Karena terdakwa telah melakukan kejahatan yang berat, maka diharapkan terdakwa dihukum dengan seberat-beratnya. Terima kasih."

Penuntut umum meletakkan kembali surat dakwaannya. Dia selesai berbicara.

"Baik, sekarang penuntut umum,  silahkan untuk menunjukkan bukti."

"Siap yang mulia."

Penuntut umum memberikan perintah pada petugas untuk membawa bukti. Bukti yang dibawa adalah rekaman CCTV beserta siaran langsung pertarunganku melawan Party Permata Hitam yang diproyeksikan oleh proyektor, Sampel

Radiasi kegelapan beserta surat hasil autopsi yang bertuliskan tentang kecocokan sampel dengan inti sirkuit sihirku, beserta rekaman dari detektor magis. Bukti sudah ditunjukkan dengan jelas. Aku memang bersalah. Aku tak bisa melakukan apapun selain diam tanpa perlawanan.

"Terima kasih atas bukti yang anda tunjukkan, penuntut umum."

"Sama-sama yang mulia."

Hakim mulai menyiapkan kalimat selanjutnya.

"Baiklah, kalau begitu... Saudara terdakwa, saya akan mengajukan beberapa pertanyaan kepada anda. Apakah anda tak keberatan?" Tanya hakim.

"Tidak yang mulia." Jawabku.

"Bagus. Kalau begitu mari kita mulai.

Pertanyaan pertama saya, mengapa ketika di arena pertarungan, saudara mengeluarkan aura elemental kegelapan, yang mengakibatkan tewasnya 470 orang? Padahal pertarungan dalam arena tak boleh sampai menyebabkan kerusakan di luar arena. Tolong dijawab."

Aku tanpa berpikir menjawab pertanyaan hakim.

"Saya hanya ingin bertarung sepuasnya, dan membalaskan dendam saya pada seluruh anggota Party Permata Hitam. Saya juga tak menyangka kalau kekuatan saya benar-benar sekuat itu hingga membuat kacau seisi kota."

"Kenapa saudara dendam pada mereka?"

"Karena dulu, saya berhubungan sangat dekat dengan Neyla. Salah satu anggota Party Permata Hitam. Kami hidup bersama sebagai rekan, sahabat, juga kekasih selama dua tahun. Namun setelah itu, dia menghianati saya. Bersama dengan teman-teman barunya, dia sengaja membuat skenario untuk membuat saya selalu gagal mengerjakan Quest yang penting, sampai saya di cap sebagai pecundang dan tidak kompeten oleh semua orang. Seluruh orang di kota ini membenci saya dan merundung saya. Hidup saya pun menderita setelah itu, sampai 2 tahun lamanya!!!"

Aku diam sejenak. Lalu lanjut berbicara.

"Jadi karena itu saya balas dendam, untuk mengambil kembali hak saya. Dalam hal ini seharusnya saya tak salah. Namun saya akui, saya memang keterlaluan soal aura elemental saya yang sampai menyebabkan kematian banyak orang."

"Jadi itu alasanmu?" Tanya hakim.

"Iya."

Hakim diam sejenak, sedang memikirkan keputusan selanjutnya.

Sementara itu para warga kota yang menonton persidangan ini berteriak padaku...

"Hukum mati dia!"

"Dasar pembuat Malapetaka!"

"Dasar pembunuh!"

"Pembunuh!!!"

Suasana dal ruang sidang mulai ricuh. Hakim yang tak tahan dengan kericuhan ini pun langsung mengetuk palunya.

"Karena saudara terdakwa telah melanggar Undang-undang tahun 2349, pasal 16 ayat 3 tentang hak asasi manusia, Undang-undang tahun 2460, pasal  21, tentang penggunaan sihir tingkat tinggi, dan undang-undang tahun 1860, pasal 31 tentang tindakan terorisme. Saya putuskan, Arde akan dihukum mati! Hukuman akan dilaksanakan Minggu depan! Dengan begini, sidang selesai!"

Hakim telah memutuskan hukuman untukku. Penduduk kota yang menonton mulai bersorak gembira.

Aku hanya bisa diam, meratapi nasibku. Petugas memborgolku. Kemudian aku dibawa lagi kedalam penjara dan ditahan didalamnya.

                                *****

Minggu depan, hari selasa, tanggal 25, bulan 5, tahun 2500 Tarthalus, ini adalah hari dimana aku akan dieksekusi mati. Selama seminggu ini,

Aku sudah berusaha untuk mencari cara untuk kabur. Namun aku tak bisa, karena kalung yang melilit leherku ini. Kalung sialan ini tidak bisa kulepas. Baik kekuatan sihir, kekuatan fisik, kekuatan esper, maupun kekuatan lainnya benar-benar tak berguna. Aku tak bisa memakai semuanya. Aku masih bisa merasakan bahwa semua kekuatan itu masih tersimpan dalam diriku. Namun aku tak bisa memakainya.

Penjara ini juga tak memiliki celah. Sistem keamanannya benar-benar ketat. Pintu penjara ini adalah pintu besi yang hanya bisa dibuka oleh petugas saja. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah, pasrah saja.

Disaat aku sedang berpikir, pintu penjara terbuka. Terlihatlah dua orang petugas yang bersiap untuk membawaku ke tempat eksekusi.

"Keluarlah. Hari ini kau akan di eksekusi mati."

Tanpa menjawab sepatah katapun, aku keluar dari penjara. Kemudian, tanganku diborgol oleh salah satu petugas. Kemudian kami berjalan meninggalkan ruangan sel, dan juga meninggalkan pengadilan.

Aku dibawa ke lokasi menggunakan kendaraan sihir besar yang dikawal oleh 10 kendaraan sihir lainnya.

                                *****

Setelah beberapa waktu melakukan perjalanan dengan kendaraan sihir, akhirnya kami sampai di lokasi tujuan. Aku agak terkejut melihat tempat yang kami datangi ini. Ini adalah... Arena pertarungan ibukota.

"Turun!"

Petugas menyuruhku untuk turun. Kemudian aku turun dari kendaraan sihir, lalu aku masuk kedalam arena sambil dikawal oleh 10 polisi bersenjata lengkap. Andai aku melawan, aku akan langsung mati. Kalaupun berhasil kabur, kalung sialan di leherku ini pasti akan mencekikku sampai mati. Tak ada peluang untuk kabur ataupun bertahan hidup...

Langkah demi langkah berlalu, kami sampai di tengah arena. Kulihat, ada banyak penonton disini. Dan didepanku terdapat algojo yang memegang sebuah tongkat sihir perak, yang ujungnya terdapat kristal sihir biru yang menyala.

Aku dibawa ke tempat itu, para penonton mulai melihatku lalu melemparkan caciannya padaku.

"Dasar pembunuh!!! Matilah kau"

"Hukum mati dia!!!"

"Hukum mati dia!!!"

"Kalau perlu buat dia menderita sebelum mati!!!"

"Hukum mati Arde!"

Para warga kota yang menjadi penonton menunjukkan amarahnya padaku. Aku tak bisa apa-apa selain diam dan menerima semuanya.

Petugas mulai memaksaku untuk berlutut, dan menghadap ke bawah.

Tak lupa juga kedua kakiku diikat supaya aku tidak bisa kabur. Aku berusaha sebisa mungkin untuk membangkitkan kekuatanku yang tersegel oleh kalung ini, namun usahaku sia-sia.

"Ada kata-kata terakhir?" Tanya algojo.

"Tidak." Jawabku.

"Bagus, sekarang aku akan mengirimmu ke neraka."

Algojo menyiapkan tongkat sihirnya, hendak mengeksekusi mati diriku dengan suatu sihir. Kemudian dia merapal sebuah mantra sihir yang cukup panjang.

"Wahai roh api agung dan roh suci... Satu keberadaan kecil telah ternoda oleh dosa yang besar. Kegelapan telah menyelimuti hati dan pikirannya. Sehingga sang Surya pun tak mampu menerangi kegelapan itu. Wahai roh agung api dan roh suci, hapuslah keberadaan yang penuh dosa ini, yang telah membuat kerusakan di dunia ini. Sang api surgawi, bangkitlah dari ketiadaan. Bakarlah pendosa itu, dan antar dia ke laut kekosongan!"

Setelah merapal mantra yang cukup panjang, sebuah api biru gelap muncul didepanku. Api itu berbentuk bola yang berputar dengan kecepatan tinggi. Aku bisa merasakan betapa panasnya api itu. Para penonton bersorak gembira melihat eksekusi sudah dimulai.

Jadi... Inilah akhir hidupku....

Maafkan aku... Kiara, ibu.

Aku menutup mataku. Aku sudah pasrah. Detik demi detik berlalu, kesadaranku berkurang, hingga akhirnya lenyap sepenuhnya. Aku tak merasakan apapun selain kekosongan...

                 .       Bersambung