Sebuah rahasia yang selama ini ku simpan. Tentang bagaimana aku mencintai seseorang diam-diam. Aku sadar betul tentang kami yang tidak bisa bersama. Bukan karena adanya perbedaan, tetapi mengenai suatu persamaan. Aku dan dia diciptakan dengan jenis kelamin yang sama.
Aku telah melihatnya dalam waktu yang lama. Memperhatikan dalam diam. Sendirian.
Terpaku pada tempat yang sama. Berulang kali, setiap waktu. Kebanyakan orang pasti akan bosan melakukan ini, tetapi bagiku tidak seburuk itu. Memang kadang bosan, lelah juga, namun apa yang ku dapatkan nanti mampu membayar semua rasa lelahku.
Sorak-sorai para penonton sama sekali tak mengganggu, bukan karena aku pecinta keramaian, bukan juga karena aku sudah kebal dengan kebisingan. Hanya saja, pandanganku bekerja lebih tajam daripada pendengaran. Terlebih lagi ketika aku melihat sosoknya berada di atas panggung. Tak terlalu luas memang, tidak seperti panggung konser selebriti papan atas. Namun entah kenapa, figurnya menjadi lebih mewah dari apapun yang ada di dunia. Melebihi berlian paling mahal. Lampu-lampu sorot mengarah padanya, menambah kesan eksentrik seperti saat kau sedang menatap lukisan abad pertengahan. Indah, mempesona, menawan, bagiku tidak ada kata yang cukup untuk mendeskripsikan bagaimana sempurna dirinya.
Mata biru shappire terlihat lebih cerah karena memantulkan cahaya dari lampu sorot, kulit putihnya nampak mengkilat seperti dihujani butiran bubuk berlian. Semakin membuatnya indah, secara harfiah. Bibir berwarna pink cerah menyunggingkan senyum lebar, manis dan tak membosankan.
Rasanya sudah ribuan kali aku melihat senyum itu. Semakin banyak, bukannya bosan, malahan aku semakin tergila-gila. Satu taring kecil tampak menonjol di antara deretan giginya yang rapi, semakin terlihat ketika senyum lebar itu tersungging di wajahnya.
Aku terpaku di tempat. Sosoknya di atas sana sungguh membuatku tak bisa berpikir dengan benar. Rasanya seperti melihat karya seni paling berharga, terpajang di bagian inti museum dengan dilapisi kaca anti peluru. Bukan hanya aku saja yang terpana, dia sukses membuat seluruh pasang mata terperangkap dalam pesonanya. Seolah-olah dunia ini memang diciptakan khusus untuknya, sedangkan kami semua hanyalah figuran yang tak berharga sama sekali.
Bagiku tidak masalah, sama sekali. Asalkan aku masih bisa melihatnya, meskipun jarak terlampau jauh dan aku tak akan bisa menggapainya, tidak apa-apa.
Itulah yang selalu ku katakan pada diriku sendiri.
Sosoknya begitu bersinar, jauh berbeda dibanding aku yang bukan apa-apa. Terbukti dari banyaknya sorak sorai para penonton setelah penampilannya usai. Hampir seluruh penonton memberikan standing applause untuknya. Sama sepertiku. Aku bahkan tak menyadari bagaimana tubuhku bergerak sendiri, berdiri lalu bertepuk tangan tanpa sekalipun berkedip.
Ketika itulah sesuatu terjadi.
Dia tersenyum.
Aku berani bersumpah, saat itu mata kami bertemu.
Iris berwarna biru shappire semakin berkilat cerah berpadu dengan senyuman yang sangat manis. Demi Tuhan, itu adalah senyum paling mnenawan yang pernah aku lihat seumur hidup. Dadaku berhenti beberapa detik kemudian berdebar dengan luar biasa. Sensasi aneh menyebar di seluruh dinding-dinding lambungku, menggelitiki dari dalam. Seperti kepakan ribuan sayap kupu-kupu, berusaha melarikan diri.
Ini gila. Sangat gila.
Seluruh duniaku berputar. Suara musik yang berdentang juga riuhnya para penonton tak membuatku mengalihkan pandangan dari sosoknya.
Dia bagaikan bintang yang selalu ku pandangi ketika melewati permukaan dingin trotoar. Paling terang, membuatku tak takut pada apapun lagi yang bersembunyi di sudut-sudut gelap. Seolah memiliki sihir kuat untuk mengusir ketakutanku.
Padahal dia tak pernah berbicara padaku. Padahal kami tak pernah bertegur sapa ketika bertemu. Padahal, dia mungkin tak mengenalku.
Baginya, aku sama seperti kumpulan manusia di bawah panggung yang meneriakan namanya. Mengaguminya.
Aku jelas tahu bahwa senyumnya mungkin tak tertuju padaku. Barangkali untuk orang di belakangku, atau di depan, atau dimanapun yang membuatku salah paham seolah kami telah melakukan kontak mata.
Tidak masalah.
Dia pantas melakukan itu.
Dia adalah bintang.
Sedangkan aku sama berharganya dengan sebutir debu.
"Bryan.. Bryan.. Hoy!"
Sebuah suara berhasil memasuki indera pendengaranku. Aku terlonjak untuk beberapa saat sebelum menyadari asal suara tadi. Berdiri seorang pemuda berkulit agak kecoklatan, alis hitamnya yang lumayan tebal menjadi ciri khasnya. Dia selalu membangga-banggakan alis tersebut, ngomong-ngomong.
"Ini minumanmu," pemuda itu menyodorkan gelas plastik berisi cairan berwarna orange. Bulir-bulir embu tampak menempel pada bagian luar gelas. "Jangan melamun di tengah kerumunan begini, kau bisa mati diinjak-injak."
"Thanks," aku menerima pemberiannya tanpa banyak kata.
"Aku tak mengerti apa yang membuatmu suka dengan pertunjukan tari macam ini. Bukankah aneh melihat pria berpakaian nyentrik meliuk-liukkan tubuh di hadapanmu?"
Aku sama sekali tak menggubris pemuda satu ini. Sudah menjadi kebiasaannya untuk mengometari hal-hal yang dia anggap tak sesuai dengan seleranya. Padahal aku tidak pernah mengajaknya untuk ikut denganku. Aku tahu betapa hal ini akan membosankan baginya. Tetapi, seperti seekor lalat, dia mengikutiku sampai kesini hanya untuk mengeluarkan kata-kata pedas andalannya.
"Lihat, para gadis itu berteriak kencang sekali. Apa mereka tak takut kalau pita suaranya akan pecah? Astaga mereka menghabiskan waktu untuk hal tidak penting."
"Kau bisa pulang saja, Lucas. Aku tak akan menahanmu di sini, lagipula ini sama sekali bukan tontonanmu."
Aku berbicara tanpa sekalipun menatap ke arahnya. Namun dari sudut mata, aku dapat melihat ekspresi ketidaksukaan Lucas. Wajahnya menegang dengan mata terbelalak. Hal yang akan terjadi selanjutnya pastilah sebuah protes tajam, seperti seorang pendemo yang tengah unjuk rasa.
"Aku tak akan pergi kalau kau juga masih ada di sini."
Benar kan dugaanku. Well, ini tak terjadi hanya sekali saja. Bahkan bisa dibilang kalau ini adalah rutinitas kami, atau mungkin lebih spesifik mengarah pada hobi Lucas yang terus mengikutiku kemanapun aku pergi.
"Kau tahu kalau aku akan tetap berada di sini kan?"
"Kalau begitu, aku juga."
Lucas memiliki tubuh tak jauh berbeda denganku, dia tinggi dan lebih maskulin kalau kau mau tahu. Kulit kecoklatan adalah hal yang diidam-idamkan para pria, sama seperti ku juga. Namun sifatnya berbanding terbalik dengan kesan yang selalu dia berikan ketika bertemu orang pertama kali. Terkesan kekanakan untuk usia sudah beranjak dewasa.
"Kalau begitu jangan mengeluh."
"Memangnya kau tak pegal huh?" Lucas kembali dalam mode protesnya. "Apa menariknya melihat pertunjukan menjijikan ini?"
Menjijikan yah?
Aku tak bisa menyela ucapan Lucas. Kalau dipikir lagi, ada benarnya. Apa tujuanku kesini? Sungguh ingin menikmat pertunjukan? Atau hanya melihat sosoknya saja?
Terkadang setelah semua ini usai lalu aku kembali pulang ke rumah, perasaan mengganjal kerap kali terbesit dalam benakku. Apa yang sedang ku lakukan sebenarnya?
"Hey Lucas," pemuda itu menatapku dengan alis terangkat sebelah. "Apa kau pernah menyukai seseorang yang menurutmu tidak akan balik menyukaimu?"
Lucas sepertinya cukup terkejut dengan pertanyaanku. Matanya kembali melebar tapi hanya beberapa saat. Dia menundukkan wajah, barangkali itu caranya berpikir, kemudian nafasnya terdengar lumayan berat.
"Yeah, pernah.." jawabnya pelan. "Kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang itu?"
"Aku pikir, aku akan masuk jurusan seni tari."
"Heh?! Kau sudah gila yah?! Kau kan tak bisa menari!"