Butuh waktu 2 jam lebih -hampir 3 jam- untuk sampai di rumah. Meski negara bagian tempatku tinggal lebih sempit daripada kebanyakan negara bagian Amerika lain, tetapi tak membuat jarak rumahku dekat dengan kota besar. Masalahnya kota besar -tempat dimana diadakan festival musim panas tadi- berada di ujung timur sedangkan tempat tinggalku ada di barat. Daerah ini lebih kecil dan sempit di banding yang lain, dimana kau dapat dengan mudah mengenali penduduknya satu sama lain.
"Sana pulang dan mandi, baumu sangat busuk," ujar Lucas setelah aku turun dari Honda Civic warna biru miliknya -yang selalu dia bangga-banggakan.
"Masih merajuk ternyata kau?"
"Aku hanya tak tahan dengan bau tubuhmu itu," balasnya sembari mengapit cuping hidung dengan jari telunjuk dan ibu jari. Menunjukkan gestur jijik.
"Sialan. Bau busuk ini kan asalnya dari tubuhmu sendiri. Kau kan jarang mandi, lihat saja tubuhmu yang dekil itu," balasku tak mau kalah.
"Hey, ini rasis namanya," Lucas mulai melayangkan argumennya perihal 'rasisme' yang ditujukan atas dasar warna kulitnya yang tidak terlalu cerah. "Aku akan laporkan kata-katamu pada PBB!"
"Ya.. ya.. ya... terserah kau saja."
Tak ada waktu untukku menanggapi ocehan tidak berguna Lucas. Pemuda itu memang sering melebih-lebihkan sesuatu, menanggapi serius candaan atau bertingkah seolah dirinya menjadi korban kekerasan. Mungkin itulah yang membuatku merasa jengah setiap kali berada di dekatnya. Aku merasa seperti sedang mengasuh bayi daripada berteman dengan seorang pemuda berbadan besar dan tampang yang sangar.
Di belakang sana, Lucas terdengar masih mendumel kesal sembari menyalakan mesin mobil. Suaranya ocehannya kini teredam oleh deru mesin, lalu perlahan menghilang seiring kepergian Honda Civic biru meninggalkan pelataran rumahku.
"Aku pulang~"
Hening.
Sama seperti biasa, tidak ada sambutan kapanpun aku datang. Rumah berlantai dua dengan cat putih di depan dan biru muda di dalam, tak terlalu luas untuk ku tempati sendirian. Aku terbiasa tinggal sendirian sekarang, merawat diri sekaligus merawat rumah ini tanpa bantuan orang lain. Tenang saja, meski terdengar cukup malang, tetapi aku hidup berkecukupan sebenarnya. Sekedar informasi, ayah dan ibuku masih bersama. Tetapi mereka berdua cukup sibuk karena sama-sama bekerja, 80 jam seminggu. Membuat kami jarang sekali bertemu. Palingan hanya saat-saat tertentu, ketika pagi-pagi buta atau kadang larut malam.
Keluargaku bukanlah orang kaya yang bisa mengerjakan pekerjaan di rumah. Mata pencaharian di daerah ini terbilang sempit, yang berarti mereka harus banting tulang lebih keras untuk mendapatkan upah rata-rata. Maka, keputusan bekerja di daerah seberang dengan jarak tempuh sekitaran 6 jam (atau lebih kalau macet) menjadi pilihan satu-satunya.
Kadang aku merasa tidak berguna. Mereka bekerja sangat keras agar aku bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bukannya aku tak mau membantu perekonomian keluarga, tetapi kedua orangtua ku bersikeras melarang niatku untuk mengambil kerja sambilan. Katanya, aku harus lebih fokus belajar untuk ujian kelulusan saja daripada langsung terjun ke dunia kerja.
Berjalan melewati selasar rumah untuk masuk ke ruangan di belakang, dapur. Sebelum beranjak ke kamar mandi, rasanya aku perlu mendinginkan tenggorokanku lebih dulu. Sebotol air mineral dingin ku temukan tertata rapi di balik pintu kulkas sebelah bawah. Tanpa pikir panjang segera ku buka dan ku tenggak sampai tersisa setengah.
Baru saja ingin menutup pintu lemari pendingin, sudut mataku menangkap secarik kertas yang tergeletak di samping nampan kecil berisi bolu coklat. Tinggal seperempat dari bagian aslinya.
'Untuk Bryan, selamat ulang tahun.'
Kue bolu itu sudah mendiami lemari pendingin semenjak dua minggu yang lalu. Dari rasanya msih empuk dan lembut sampai mulai mengeras. Aku tak tahu siapa yang menaruh kue itu, entah ayah atau ibu atau mungkin keduanya. Tetapi dari coretan pada kertas memo kecil berwarna kuning cerah —kini mulai lepek karena udara dingin di dalam— aku mengetahui satu hal.
Tulisan ibuku.
Terbangun di minggu pagi yang cerah, berjalan lunglai ke arah dapur untuk menyegarkan tenggorokan lalu mendapati satu hal berbeda. Kue bolu coklat dengan taburan meses serta keju di atasnya. Kertas memo di sebelahnya juga tampak baru. Saat itulah, aku yang baru merasa memasuki fase remaja kini tersadar bahwa usiaku sudah beranjak dewasa, delapan belas tahun.
Begitulah pertemuan pertamaku dengan si bolu coklat.
Setiap hari hanya bolu itu yang menemaniku. Setiap kali membuka kulkas aku menandai kue bolu dengan satu suapan, yang akan ku dapati di pertemuan berikutnya. Menandakan tak ada orang lain yang memakan bolu itu selain aku.
Tidak ayahku, tidak juga ibuku.
Padahal, aku berharap kalau saja mereka memakan satu potongan dari kue bolu ini, mungkin aku tak akan merasa benar-benar sendirian. Keberadaan mereka dapat ku jumpai dari sisa kue bolu yang semakin sedikit.
Seperti rutinitas biasanya, aku memotong kue bolu coklat tersebut lalu mengunyahnya cepat-cepat sebelum mengaliri tenggorokanku lagi dengan air mineral dingin.
Tak ada hal istimewa lainnya di dalam lemari pendingin, maka ku putuskan untuk beranjak ke kamar mandi setelah sebelumnya menutup pintu lemari dengan rapat.
Suara langkah kaki bergema di seluruh rumah ketika aku berjalan di selasar. Keheningan ini akan semakin bertambah parah menjelang malam hari. Tak banyak kendaraan lewat di depan rumahku, baik siang maupun malam. Daripada merasa takut, aku justru merasa bosan. Kegiatanku setiap hari selalu berulang. Mandi, makan, main game, menonton film, atau sekedar jalan-jalan mengelilingi rumah. Kalau sudah sangat bosan, aku memilih untuk menginap di rumah Lucas atau memanggilnya untuk datang ke sini.
Sama seperti lalu lalang kendaraan, pertokoan di sekitar sini juga tak banyak yang buka ketika malam. Bar? Pub? Cafe? tentu saja ada tapi harus menempuh waktu sekitaran dua jam dari rumahku. Dan, aku termasuk remaja pemalas yang tak suka berpergian jauh untuk sekedar duduk-duduk dan minum kopi.
"Segarnya~~"
Kebanyakan orang lebih menyukai mandi air hangat untuk melepaskan penat, berbeda denganku yang selalu memakai air dingin setiap kali merasa lelah.
Satu handuk menutupi pusar hingga lutut dan handuk lainnya ku gunakan untuk mengeringkan rambut. Aku berjalan agak cepat untuk masuk ke dalam kamar di lantai dua. Satu-satunya kamar yang ada di sana, kamarku.
Menjadi anak tunggal sebenarnya tak terlalu buruk, kalau kau tanya padaku, hanya sebatas rasa kesepian yang kadang-kadang datang. Selebihnya tak ada yang berbeda dengan kebanyakan orang.
Aku mendudukan diri di atas kursi game dengan bantalan empuk, setelah selesai berpakaian tentunya. Karena rambut yang masih basah membuatku tak bisa merebahkan diri di atas ranjang. Melakukan kegiatan lain sembari menunggu rambutku kering adalah pilihan tepat.
Senyumku mengembang kala menatap lipatan kertas putih yang tergeletak di dekat lampu meja belajar. Meraihnya untuk ku buka dengan hati-hati. Padahal baru beberapa jam yang lalu, tetapi rasanya sudah sangat rindu.