CERITA DEWASA 18+ 10 Tahun berlalu sejak pembunuhan kelam tersebut, Jovana gadis Innocent dan lembut ini berpisah dengan orang yang ia cintai, akhirnya ia di pertemukan kembali dengan Jean, Pria dingin dan emosional ini adalah seorang polisi, padahal Jean sudah melupakan Jovana, seorang pembunuh pacarnya sendiri, akhirnya gadis ini datang menemuinya, menyatakan cintanya kembali. Akankah ia mengingat Jovana. Akankah Jean & Jovana memiliki masa depan. Akankah Cinta bisa menyelamatkan keduanya. Akankah Jean membalaskan dendamnya. Sebuah kisah cinta penuh drama, penuh seks dan tentu saja penuh akan rasa sakit serta pengorbanan. [ -- ] [ -- ] [ -- ] [ -- ] Di Update setiap empat hari sekali.
Aroma kayu oak semerbak memanjakannya, kendi kecil di ruang tamu itu membakar serpihan kayu aromatik, gadis ini juta terpersona oleh indahnya dekorasinya, apartemen ini tidak menggunakan dekorasi standar, pria tersebut mendekorasinya sendiri, elegan dan mewah. Sembari bediri gadis Balkan ini menyentuh dan memainkan rambut pirangnya yang panjang dengan jemarinya, langkahnya berjalan berirama mendekati lemari buku, ia berdiri di hadapan dua buah lemari buku yang megah, besarnya lemari ini kontras membuatnya terlihat kecil.
"Besar sekali!!" Ucapnya takjub membandingkan dirinya, canggung berdiri, jemarinya menyentuh lemari perlahan-lahan, saat ia menyentuhnya ia tertawa kecil dikarenakan ia belum melepaskan sarung tangannya, melepaskan kedua sarung tangan putihnya Jovana memperlihatkan tangan putihnya, jari-jarinya hati-hati tak ingin meninggalkan bekas maupun cacat,
Takjub dan terpesona gadis muda ini merasakan langsung sensasi menyentuh kayu, jaman sekarang kayu autentik seperti ini sudah sangat langka, hanya orang super kaya saja yang bisa memilikinya.
tangannya dengan lembut menyentuh, begitu terjaga pikirnya, lemari ini tidak memiliki debu sedikitpun. saat ia mulai merasa tenang dadanya kembali berdebar, ia baru saja ingat alasan ia datang kesini.
"Kamu harus kuat Jovana" Ucapnya menghela napasnya panjang, ia mencoba mengatur napasnya, ia kembali duduk di sofa, ia pernah melalui segala macam rintangan, ini tidak ada apa-apanya. Ia bisa ia selalu bisa. kedatangannya kesini tidak lain adalah hendak memperbaiki hubungannya dengan sahabat lamanya.
Ia kembali berdiri, kepercayaan dirinya mulai merangkak naik. Berdiri di depan cermin besar Jovana berdiri dengan canggungnya, apakah pakaian yang ia kenakan terkesan rapi?
Ia penuh tanda tanya, namun harusnya ia terlihat profesional dengan penampilannya saat ini bukan, ia baru saja pulang dari kantornya, sekarang ini yang juga menjadi pertanyaan, apakah pakaian maupun tubuhnya bau akan keringat?
Saat ia menarik kerah bajunya dan mencium aromanya, tidak ada yang bau tuh, bahkan ia terkesan wangi, mungkin saat ini Jovana hanya terlalu banyak berpikir yang tidak-tidak.
Jovana merogoh tasnya yang terletak di atas meja, ia mengambil sebungkus rokok dan mengeluarkan sebatang, ia mengetuk-ngetuk rokoknya di bungkusnya, membuat tembakaunya lebih kencang. Tanpa tunggu lagi Jovana langsung menyalakan rokoknya, menghembuskan asap rokoknya Jovana merasakan nikotin. Melirik rokok di tangannya, ia merasakan sedikit rileks, merokok membuat gadis Balkan ini menjadi tenang, dan ia tau ini adalah kebiasaan buruk, dia juga tau harusnya ia berhenti merokok tapi setiap kali ia mencoba berhenti ia tak bisa, dan ayolah hidup terlalu kaku juga tidak baik.
Gadis berambut pirang dengan wajah Balkan ini duduk di ruang tamu teman lamanya, teman lamanya tidak mengenali siapa Jovana saat membukakan pintu rumahnya tadi. Jovana juga sengaja tidak memberitahukan siapa namanya, Jovana hanya berkata ia adalah teman lamanya, dan yang mengejutkan bagi Jovana adalah, ia di persilahkan masuk begitu saja. Ia pikir karena teman lamanya ini adalah seorang polisi ia akan menjadi waspada, rupanya ia orang yang cuek, setidaknya itu sih yang ia lihat dari luarnya, bisa saja dia membiarkan Jovana masuk tapi bila ia macam-macam akan di usir dengan mudah, hei kita harus memikirkan semua kemungkinan bukan?
Tapi kalau di pikir, wajar saja ia tidak mengenalinya, sudah sepuluh tahun berlalu. 10 Tahun di penjara, ya Jovana di penjara atas tuduhan yang tak berdasar. Ia di tuduh membunuh sahabatnya sendiri. Semua orang meninggalkan dirinya seorang diri, terjebak selama sepuluh tahun ia harus menanggung beban ini. Hatinya tetap teguh dan kokoh, kalau ia tidak kuat mungkin ia sudah gila. ada alasan kenapa ia begitu kuat, alasan utama kenapa ia mampu menjaga kewarasannya selama di penjara, sebuah harapan dan hari ini ia akan menemuinya.
Selama sepuluh tahun banyak yang berubah dalam hidup mereka bertiga. Atau berdua tepatnya. Hari ini umurnya 28, dan 10 tahun yang lalu kejadian itu terjadi.
Kejadian ini bermula saat sma, di saat-saat terakhir masa sekolahnya, saat itu ia berumur 18 tahun. Lisa dan Jean adalah sahabat sejati, mereka selalu melakukan apapun berdua. Aku mengenal mereka sejak awal aku bersekolah SMA. Dengan masuknya diriku kami bertiga menjadi tiga sejoli, Lisa sang dermawan, Jean sang pemimpi dan aku Jovana sang penyembuh. Aku selalu tertawa kalau mengingat kenapa namaku Jovana sang penyembuh, aku sering memperbaiki hubungan asmara teman-temanku itulah sebabnya. Dan berbicara memanglah keahlian ku bahkan sampai sekarang.
Lisa dan Jean adalah sahabat ku yang paling kusayangi, Ketika mereka bertiga bersama apapun yang mereka inginkan bisa mereka raih.
mereka tiga sejoli, ketika sekolah mereka sering memenangkan lomba band antar sekolah. Jovana sebagai penyanyi, Jean piano dan Lisa gitar. Dari awalnya rasa kagum atas kebersamaan mereka tumbuhlah rasa cinta di hati Jovana atas Jean, dari suka menjadi cinta, dari cinta menjadi kekokohan hati.
Karena kebersamaan mereka Jovana naksir dengan Jean. Ia adalah cinta pertamanya. Tiada orang yang di cintainya selain Jean. Tak perlu ia tanyakan, ia tau apa yang Jean rasakan, inginnya hati ini mengutarakan segala isi dari hatinya, mengisi ruang kosong dalam dadanya.
Sayangnya Jean tidak merasakan perasaan yang sama. Tanpa perlu menanyakan atau mengungkapkan isi hatinya Jovana tau dan ia memilih untuk merahasiakan perasaannya, karena kenyataannya adalah, Jean sudah menyukai orang lain selain dirinya, ia tidak buta ia mengetahuinya.
Jean Sangat mencintai Lisa, dan begitupun Lisa. Keduanya mencintai satu dan lainnya, namun belum sempat Jean dan Lisa saling mengutarakan cinta. Namun tragisnya, sebelum sempat Jean mengutarakan isi hatinya, mengisi ruang kosong di dadanya, tepat di hari hendak Jean mengucapkan cintanya. Di sore hari kelabu Lisa di bunuh di lapangan sekolah, dan akulah yang tertuduh, sejak saat itu kehidupan kami berubah drastis.
menjadi seorang pembunuh, menyakiti perasaan orang saja aku tak berani, bagaimana bisa aku membunuh orang lain?. Tidak mampu membela diriku, aku hanya bisa pasrah ketika pengadilan ala kanguru ini langsung begitu saja melemparkan ku ke dalam penjara. Aku tau ada yang salah dengan ini semua, tapi tak ada satu orangpun yang bisa menolongku, pengasuhku ketika mengetahui bahwa aku bermasalah langsung melepaskan sponsor ku, ia tau investasinya bermasalah langsung saja memotong kerugian, harusnya aku lulus sekolah dengan cemerlang, lalu membayar sponsorku dua kali lipat. Namun bukan itu yang terjadi,.
Tak punya orang tua, aku bisa menerimanya, karena aku memanglah anak buangan, namun mengetahui bahwa aku tak memiliki uang karena sponsor ku membuang ku, itu yang menjadi pukulan telak. sudah terpukul kehilangan Lisa dan Jean, tertuduh oleh kepolisian dan pengadilan, di buang sponsor, aku benar-benar akan gila saat itu. Namun harapan ku bertemu orang yang ku cintai, itu yang membuat ku tetap teguh selama sepuluh tahun. Aku tau ia pasti membenciku kalau ia tau aku adalah Jovana, tapi aku sudah tak mampu lagi untuk menahan semua ini, hanya harapan ku bertemu dengan dirinya yang membuat ku untuk tetap hidup, apapun yang terjadi aku siap untuk menanggung segala beban, aku siap untuk apapun yang terjadi.
Kejadian itu benar-benar merubah Jean, Jean sang pemimpi seketika berubah muram, sebelum aku di penjara aku bertemu dengan Jean untuk terakhir kalinya, dan Jean hanya diam membeku. Saat aku mencoba berbicara dengan dirinya, ia hanya menatapku kosong.
Aku tak tau Apa yang terjadi setelah itu. Tapi yang ku tau ia menjadi seorang polisi. Aku masih tak mengerti apa yang memotivasinya untuk menjadi seorang polisi, padahal ia selalu berkata ingin menjadi seorang pianis.
Dan sekarang aku berada di hadapannya, ya tidak saat ini, di rumahnya masih termasuk bukan?, Sekarang setelah sekian lama aku merasa ragu hendak mengucapkan apa. Tadinya saat aku bertemu dengannya aku mengatakan bahwa diriku adalah seorang teman lama, itu bukan dusta kan. Aku memang teman lamanya.
Aku merasa begitu canggung disini, Jean saat ini sedang ke dapur membuatkan ku sesuatu karena aku seorang tamu bukan, 10 tahun ya, kalau ku ingat kembali 10 tahun yang lalu kami masih berumur 18 tahun. Dulu Jean adalah sosok yang ramah dan bersahabat. Apakah ia masih Jean yang ku kenal dulu, dan akankah ia memaafkan ku dan mendengarkan penjelasan ku, bahkan ketika ini bukanlah kesalahan Ku. Jovana mematikan rokoknya di asbak, semakin ia memikirkan ini semakin tegangnya bertambah, ia sudah memikirkan skenario ini di dalam kepalanya ratusan kali saat di penjara, namun bukannya ia menjadi percaya diri, rupanya kalau sudah ada di hadapan mata tetap saja gelagapan.
Dentuman jantungnya berdegup kencang napas panjang ia mencoba mengontrol emosinya namun ia tetap tak bisa. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan memperhatikan isi ruang tamu apartemen Jean. Ruangan ini cukup mewah sebenarnya, dinding rumah ini penuh akan Poto Jean saat ia bertugas di kepolisian.
Ia menjadi polisi ya sekarang, kebanyakan polisi memang bersifat dingin, tapi kenapa Jean harus ikut menjadi seperti itu. Tapi dulu Jean tidak seperti itu, ia orang yang hangat dan perhatian. Tapi apa mungkin ia hanya terlihat dingin saja, mungkin karena ia mengira aku adalah orang asing, kalau dengan orang yang ia kenal ia tidaklah dingin, tadinya saat aku berbincang dengan dirinya ia sepertinya juga tidak mengenaliku. Aku tak tau sudah sebanyak apa ia berubah.
Aku berdiri dari sofa hitam ini dan berjalan mendekati bingkai bingkai foto. Memandanginya satu demi satu, semua foto disini bersih mengkilap tanpa debu, ia merawatnya dengan baik.
"Constable Jean Taggart lulusan terbaik akademi kepolisian Glasgow" Ucap Jovana membaca tulisan di salah satu bingkai foto. Di foto ini Jean mengenakan pakaian kepolisian Glasgow. Dari ribuan orang dia menjadi lulusan terbaik, itu adalah pencapaian yang luar biasa. Foto ini setahun setelah dia lulus sekolah. Jadi dia tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi ya?
Di dalam Poto yang berbeda saat kelulusan, hanya Ibu Jean Carrolina namanya yang menemaninya berpoto kelulusan, dimana ayahnya Charles, seketika Jovana teringat, Charles benci polisi, yang Jean pernah Katakan, ucap ayahnya polisi itu kotor sekotor binatang.
"Greater London police department" Ucap Jovana membaca artikel tentang salah satu polisi terbaik di London. Rupanya ini artikel online tentang Jean. Ia lalu melihat Poto perpisahan Jean di kepolisian London. Kenapa dia berhenti jadi polisi di London?
"Legion Veritas, Perusahaan jasa keamanan terbaik" Ucapnya membaca potongan artikel lainnya, Jadi sekarang Jean jadi polisi perusahaan ya? "Legion Veritas penyedia keamanan swasta, Keamanan VIP hingga pengamanan kota anda" Baca Jovana di salah satu potongan majalah.
Berjejer rapi di dinding mendali penghargaan, semua ini adalah milik Jean. Ia jadi ikut kagum melihatnya. Jean rupanya orang yang berbakat ya. Bahkan ada mendali yang di berikan langsung oleh mayor.
Hidupnya sekarang berputar kepada pekerjaannya ya,capakah ia masih bermain piano, Jovana melirik kesana kemari, hingga akhirnya ia menemukan Piano di ujung ruangan.
Langkahnya perlahan mendekati pianonya. Ia memiliki kehidupan yang berbeda sekarang, apakah ia masih mengingat ku, setelah sekian banyak yang terjadi. Tiada Poto kami saat masih bersekolah, hanya ada Fotonya saat ia bekerja. Perlahan ku berjalan dan lirik ku melihat benda yang tak asing. Ini adalah piano putih milik Jean, piano legendari milik keluarganya.
Jean memiliki piano yang indah, sayangnya piano ini sangat-sangat berdebu tak terawat. Semuanya terawat dengan rapi tapi kenapa piano ini begitu terbengkalai?
Saat ia hendak menyentuh piano itu Jean sudah kembali, berdiri kokoh Jean memegang nampan, sambil mengibaskan rambut hitamnya, pria berwajah eropa ini membawa nampan saji. Ia mengenakan kemeja hitam berlengan panjangnya terlipat rapi menjadi lengan pendek.
Jean membawa secangkir kopi dan teh. Wajahnya dingin menatapku, rambutnya yang hitam pendek tercukur rapi, wajah eropanya yang terkesan dingin dengan mata merahnya yang menyala membuat diriku membeku. Dimana mata birunya yang dulu pernah ada, ia mengganti mata cybernetic ya?
Tampa mengucapkan sepatah kata apapun ia berjalan menuju sofa dan meletakan cangkir teh itu di meja. ia meletakkan kopinya lalu duduk dengan rapi. apa yang Jean kenakan terkesan rapi dan elegan. Ia memiliki aura yang lain dari pada lainya. Aku tak mampu menjelaskannya.
Aku lalu berjalan duduk di hadapannya, apa aku terlalu casual ya, aku merasa aneh dengan pakaian ku yang biasa-biasa saja. Apa harusnya aku mengenakan pakaian kantorku saja biar terlihat profesional di mata Jean.
"Terima kasih untuk tehnya" Ucap ku sambil mengangkat cangkir teh, aroma teh terasa menenangkan, meminum teh ini dengan perlahan menikmati sentuhan lembut teh ini, rasanya teh ini menyentuhku secara spritual.
Jean tidak membalas sedikitpun komentar Wanita di hadapannya, tadinya saat ia mengetuk pintun apartemennya gadis anonim ini berkata bahwa ia adalah teman lama Jean, sampai sekarang ia belum memberi tahukan siapa namanya, Jean hanya ingin tau siapa namanya dan apa urusan wanita ini kesini, ia ingin perempuan ini segera enyah dari hidupnya. Kalau ia mau meminjam uang akan ia pinjamkan asal setelah ini tak menjauhinya sejauh mungkin.
Sejauh yang ia tau, ia tak memerlukan siapapun dan ia akan menjaganya untuk tetap seperti itu. Semakin Jean tidak bereaksi membuat Jovana semaki tidak nyaman.
"Aku rasa kau ingin tau kenapa aku menemuimu saat ini" Jovana menatap Jean menjelaskan maksud dari kedatangannya.
"Ya" Jelas Jean singkat. Melihat reaksi Jean, Jovana semakin tidak tenang, rasanya semakin canggung dan ia semakin merasakan bahwa dirinya tidak di inginkan disini.
"Aku" Ucapnya berjeda, jemarinya menyentuh lehernya yang semakin tegang, "Kurasa, aku harus kembali memperkenalkan diriku"
"kembali?" Ucapnya dengan muka datar, namun tidak bisa di bohongi di balik wajah datarnya ia tertarik dengan apa yang akan gadis di hadapannya ini jelaskan.
"Aku adalah Jovana, kita adalah teman semasa sekolah dulu" Ucap Jovana. Ia tak tau apa yang akan terjadi setelah ini ia harap semuanya akan baik-baik saja, ia tau Jean pasti membencinya, ia harap ia bisa menjelaskan semua ini. Ucapan Jovana memberikan efek mendalam kepada Jean.
Jean masih tidak bereaksi untuk sesaat, suasana menjadi lebih dingin dari sebelumnya, Jovana mulai berkeringat dingin, jantungnya semakin berdebar-debar kencang, kesunyian ini terasa begitu menyesakkan, kenapa Jean membeku tanpa reaksi?
Ketidak pastian ini membunuhku, apakah Jean akan menerimanya, ia ingin menjelaskan apa yang terjadi selama ini, mungkin ia tidak bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, tapi ia bisa mencobanya bukan. Selama sepuluh tahun ia di penjara hanya Jean yang ada di dalam hatinya, bagaikan cahaya penerang di dalam kegelapan Jean lah yang membuat dirinya mampu untuk hidup selama di dalam penjara, dan sekarang ia ada di hadapannya. Hanya harapan untuk bisa bersama Jean yang membuat dirinya mampu untuk hidup.
Ia dulunya ingin sekali berbicara kepada Jean, dan sekarang akhirnya datang saatnya, namun kenapa ia sedaei tadi membeku, terdiam tanpa suara. Matanya kosong menatapku dengan pandangan yang membuat bulu kuduk ku berdiri.
Pria inilah yang menjadi alasan Jovana mampu menatap hari esok, selama ia di penjara pria inilah alasan ia menunggu untuk bisa bebas. Sekarang ia berada di hadapannya.
"Dirimu ya" Ucapnya pelan, Jean melepaskan jam rolexnya meletakkannya meja. Senyum tipis mengembang, untuk pertama kalinya setelah sekian lama Jovana akhirnya bisa melihat senyumannya. Apakah akhirnya ia bisa berbicara dengan Jean dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Tanpa mengalihkan pandangannya kepadaku Jean mengambil gelas kopinya dan menyiramkan seluruh isinya kewajahku, reflek ku menyilangkan tangaku untuk melindungi wajahku. Aku berteriak terkejut. Panasnya kopi itu membasahi sekujur tubuhku.
Tanpa sempat memproses apa yang baru saja terjadi. Jean langsung berdiri, menarik kerah baju Jovana dan menariknya dengan kuat. ia mendorongku kuat menghantam lemari. Buku-buku berjatuhan saat Jean menghantamkan tubuhnya sekuat tenaganya. Rasa sakitnya kesekujur tubuhnya membuatnya berteriak.
Jovana terkejut masih belum memproses apa yang sedang terjadi, instingnya mengatakan untuk kabur saat ini. Jean mengacak kerah bajunya dan melemparkanya dengan kasar ke lantai. Rasa sakit langsung menyadarkan apa yang sebenarnya terjadi. Jean mencoba untuk membunuhnya, berlutut di atas Jovana, Jean melingkari jemarinya di leher Jovana. Saat inilah otaknya memerintahkan dirinya untuk kabur, namun dirinya memilih untuk diam dan menghadapi Jean. Namun dia sang penyembuh bukan ia pasti bisa memperbaiki semuanya!
Jean melingkari satu tangannya di leher Jovana, menekannya tetap di lantai. Jean mengambil pistolnya dari balik pinggangnya.
"JEAN!" Teriak Jovana panik, telinga Jean sudah tuli tidak perduli dengan ocehannya.
Saat Jovana hendak berdiri Jean langsung menghempaskan nya ke lantai lagi, tangannya yang panjang langsung mengacak leher Jovana semakin kencang. Mata Jovana terbelalak merasakan benturannya, sakitnya menyebar di seluruh dadanya. Jean mencekiknya erat menghentikan akses oksigen, tangan Jovana panik menyentuh tangan Jean berusaha memohon untuk melepaskannya. Ia menatap Jean sambil berusaha bernapas.
"Jean!" Ucapnya memaksakan untuk berbicara. Mata Jean meneteskan air matanya di wajah Jovana. Membasahi pipinya. Wajah datarnya mengeluarkan sepercah emosi untuk sesaat. Jean mengarahkan pistolnya di kepala Jovana.
"Jea..... Jean..." Ucap Jovana masih berusaha memohon. Lehernya semakin erat tercekik. Jovana meneteskan air matanya. Mata Merah Jean menatap Jovana, mencari pembenaran atas apa yang akan ia lakukan kepada gadis ini. Tetesan air mata membasahi pipi Jovana, ia tak menyadarinya namun saat ini ia meneteskan air matanya untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
menyentuh tangan Jean, Jovana lembut mengusapnya, menyentuhnya dengan erat, siap merima apapun yang akan terjadi.
"Aku" Ucap Berusaha berbicara, air matanya menetes membasahi pipinya, membasahi tangan Jean yang masih kuat meligkari leher Jovana.
"Mencintaimu" Ucapnya sekuat tenaganya. Sentuhannya dada Jean menggapainya, mencoba untuk mengirimkan kasihnya, kalau hari ini menjadi hari terakhir dalam hidupnya, ia tak ingin ada penyesalan. Dulu ia mengurungkan niatnya untuk mengutarakan isi hatinya pada Jean, selama. Sepuluh tahun ia di penjara ia menyesalkan keputusannya. Sekarang kalau ia matipun Takan ada penyesalan lagi.
"Jovana" Ucap Jean untuk pertama kalinya setelah sekian lama ia mengucapkan nama Jovana, Ia terkejut saat Jovana mengutarakan cintanya. Ia langsung melepaskan tangannya dari leher Jovana. Ia terundur beberapa langkah. Terkejut dengan apa yang baru saja terjadi, bergetar di dadanya saat ini. Ketika cengkraman di lehernya telepeas Jovana terbaring terengah-engah mencari oksigen. Ia hampir saja pingsan. Perlahan ia mulai merangkak bersandar di lemari kayu. Tangannya menggapai lemari kayu menjadikan tumpuan tubuhnya yang lunglai tak berdaya. Instingnya menyuruhnya untuk menyelamatkan dirinya, tapi dia tak bisa, dirinya tertarik oleh Jean, sejauh apapun ia, akhirnya ia akan kembali tertarik oleh Jean bagaikan magnet, ini tak terelakkan.
"Jean....." ucap Jovana memandang penuh rasa bersalah kepada Jean, ia tau pembunuhan Lisa bukanlah kesalahannya, tapi ia melihat Jean saat ini begitu menyakitkan hatinya, begitu rusak, begitu penuh kebencian dan rasa amarah. Mata merah Jean menyala terang, emosinya mulai tidak stabil, ia merasa di permainkan saat ini.
"Betapa beraninya engkau mempermainkan perasan ku" Ucap Jean, ia tak percaya Jovana benar-benar mencintainya. Jean melangkahkan kakinya menuju Jovana, menggapai kerah kemejanya. Jean memandang Jovana penuh kebencian, membuatnya merinding ketakutan, kakinya bergetar, ia merasa tak memiliki tenaga untuk tetap berdiri.
"Jean, ku mohon tenanglah dan dengarkan aku" Ucap Jovana. "Jean ku mohon dengarkan aku" Ucap Jovana terisak-isak panik dan takut, tangan pucat gadis Balkan ini menyentuh wajah Jean lembut.
Tanpa tunggu Jean langsung menepis tangan Jovana yang rapuh dengan kasar dengan pistolnya, menyisakan perih di telapak tangannya, Jovana merintih sakit. Ia tak kuat di perlakukan kasar seperti ini, Jovana tak mampu dan mencoba untuk menahan air matanya mencoba untuk tetap kuat. Namun ia tak mampu, menutup mulutnya menahan tangisnya namun tak mampu. Dirinya semakin hancur dan runtuh tak mampu menahan kekerasan ini. Jean menekan keras pistolnya membuat Jovana semakin gelagapan.
"Betapa beraninya kau jalang!" sumpahnya. "Berani sekali kau mempermainkan perasaan ini"
"Tapi Jean" Ucap Jovana gemetaran, ia terhenti sejenak memandang Jean, ia menjadi takut ketika Jean menatapnya, mata merahnya yang bersinar terang membuat Jovana ketakutan. "Aku benar-benar mencintai dirimu" Ucap Jovana memberanikan dirinya. Tangannya kembali mencoba untuk menyentuh Jean, mencoba untuk membuka hati Jean.
"Jangan sentuh aku" Ucap Jean menghempas tangan Jovana dengan pistolnya, "JALANG"!!!" Teriak Jean saat menghantam jemari rapuh Jovana. sekali hempasannya membuat Jovana berteriak kencang, sakitnya kesekujur lengannya, darah segar berkucuran dari bekas luka yang di timbulkan oleh Jean. Gemetaran Jovana mencoba menahan bekas luka itu dengan tangannya namun ia tak mampu menahan tangannya untuk tetap menutupi luka kerena ia terlalu gemetaran penuh ketakutan.
"SEPULUH TAHUN AKU MENUNGGUMU" Bentak Jean meledak. Ia tidak mampu menahan emosinya lagi. Ia menghantamkan pistolnya di perut Jovana, membuat gadis Balkan ini berteriak kesakitan.
"Ma...maaf..maafkan aku" Ucap Jovana gelagapan, ia semakin panik, ia mengucapkan apapun agar Jean tidak menyakitinya.
"Sepuluh tahun aku menunggu mu sekarang kau berada di hadapanku" Bentak Jean lagi menekan pistolnya di perut Jovana. Membuatnya semakin berteriak kesakitan. "Jovana!" Bentak Jean emosi, Jean meninju-ninju lemari di sebelah wajah Jovana dengan pistolnya membuat Jovana berteriak histeris.
"JALANG!" teriak Jean sekuat tenaganya, sekuat tenaganya menghantam lemari itu dengan sekali hantaman darah segar menetes dari tangan Jean yang terluka dari rusaknya lemari kayu ratusan juta tersebut. "Kau memang jalang" Ucap Jean mengacak dagu Jovana dengan tangannya yang penuh darah. Jovana membeku takut mentap Jean.
"Kupikir aku bisa bahagia bersama Lisa, dan kau menghancurkan kebahagiaan kami, kau membunuhnya!"
"Maafkan aku Jean" Ucapnya makin panik. "Tapi...tapi" belum sempat Gadis Balkan ini menjelaskan ia sudah di potong.
"Tapi apa hah kau cemburu dengan Lisa makanya kamu membunuhnya iya bukan, harusnya aku mendatangi mu di penjara dan membunuh dirimu, aku harusnya membunuh dirimu dengan tanganku sendiri, ratusan kali aku berpikir untuk melakukannya, dan ratusan kali juga aku merelakannya, rupanya aku salah, aku memang harusnya membunuhmu jauh jauh hari jalang" Bentak Jean mengacak Leher Jovana kembali.
"Kau pikir aku bisa melupakan dan memaafkan mu!" Bentak Jean. Mempererat cengkeramannya.
"Akh.... Jean, tap.....tapi aku tak bersalah" Ucap Jovana berusaha untuk berbicara walau sulit, mencoba menghirup udara yang semakin susah Jovana semakin buram, matanya semakin gelap.
"PEMBOHONG!" Bentak Jean.
"Jean" panggilannya Memandang Jean penuh harapan akan pengampunan.
"Kenapa kita harus bertemu, apa susahnya untuk mu pergi meninggalkan ku, kenapa kau harus datang kembali membuka luka ini" Ucap Jean mulai dingin, ia mencoba untuk menutup hatinya, susah baginya untuk membunuh Jovana, tak mudah membunuh seseoeang ketika ia memiliki hubungan dengan mu.
"Akh. Aku.. aku sayang kamu" Ucap Jovana dengan segala kekuatannya, matanya semakin gelap, ia sudah melakukan segala yang ia bisa, setidaknya ia Takan ada penyesalan lagi kalau ia mati. Ia sudah mencoba itu yang terpenting. Dalam cengkraman Jean, Wajah Jovana mulai memutih dan memucat, ia mulai lemah, perlawanan kecil yang tadinya ada mulai menghilang, dalam cengkraman Jean. Jovana mulai memudar. Mata hijau Sapphire yang indah milik Jovana mulai tertutup.
Jean melepaskan cengkeramannya, tubuh Jovana lunglai terjatuh di lantai. Menatap Jovana yang tergeletak di lantai membuat Jean meneteskan air matanya, ia tak merasakan perasaan lega sedikitpun, sebaliknya ia merasakan perasaan sedih dan penyesalan yang teramat besar. Ia Takan pernah lagi bisa menatap mata hijau Sapphire yang indah milik Jovana. Ini akan menjadi yang terakhir.
Seharusnya ini tidak terjadi, Jean mengacak kepalanya dengan kedua tangannya. "Jovana" Panggilannya sedih.
"Kita akan selalu menjadi sahabat kan!" Ucap Jovana, Jean kembali teringat percakapannya saat ia bersekolah dahulu.
"Apapun yang terjadi aku akan selalu ada bersama kalian!"
"Aku mencintai kalian!" Ucap Jovana memeluk Jean dan Lisa.
"Jangan khawatir aku akan memperbaiki segalanya" Ucap Jovana dengan riang, aku masih teringat apa yang ia katakan dulu.
Ia tertunduk mendekati Jovana, menyentuh pipinya, menatapnya dengan penuh kesedihan, mengangkat kepala tubuhnya di pelukannya, Sentuhnya lembut mengusap lembutnya rambut panjang Gadis Balkan tersebut, pirang keemasan yang indah. Saat Jean tinggal dan Bersekolah di London dahulu, ia selalu ingat waktu-waktu bahagianya bersama Jovana dan Lisa.
Jovana terbaring di pelukannya, rupa tanpa dosa ini membuat Jean meneteskan air matanya, ia tak memahaminya kenapa setelah sekian lama, ia sudah mati rasa, dan kedatangan gadis ini membuatnya kembali merasakan perasaan yang seharusnya tidak ia rasakan?
Ia menggenggam tangan Jovana, perasaan ini, ia merasakan kengerian yang amat besar, ia merasakan keresahan, ketakutan, ia merasa akan kehilangan seseorang yang amat berharga di hatinya.
"Mencintaimu" ucap Jovana tadi terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Perasaan bersalah ini semakin besar. Ia mendekat wajahnya, mengangkat wajah Jovana perlahan, ia menempelkan bibirnya, menghembuskan oksigen, memberikan pernapasan buatan kepada Jovana.
Jean memeluk Jovana memberikan nafasnya, memberikan bagian dari dirinya, kenapa ia melakukan ini, ia ingin Jovana mati bukan?
Namun ia tidak bisa, rupanya ia memang tidak bisa dan tidak mampu melakukan ini.
Perlahan gadis Balkan tersebut membuka mata hijaunya, menatap Jean yang sedang mencium bibirnya, memberikan pernapasan buatan. Ia tak memiliki tenaga untuk melakukan apapun saat ini. Seluruh tubuhnya terasa hancur. Jean merebahkan Jovana bersandar di dinding, dengan penuh kebencian dan kemarahan Jean mundur menjauhi Jovana ia bersandar di lemari kayu.
"Tinggalkan aku" Ucap Jean dingin ia melepaskan Jovana dari cengkraman hatinya untuk saat ini ia Takan melakukan apapun kepada Jovana, ia mengacak kepalanya dengan kedua tangannya. Jemari penuh darahnya mulai membasahi wajahnya, wajah Jovana pun juga berbekas darah karena sentuhan Jean tadi. Ia merasakan sakit kepala hebat yang sudah lama sekali tidak ia rasakan.
"Ini adalah kebaikan terakhir dariku, Jovana enyahlah kau dari sini, kalau kita masih bertemu maka aku bersumpah aku akan menyakitimu dengan seluruh kekuatan ku, tidak secara fisik tapi secara mental aku akan menyakitimu" Bentak Jean. Betapa beraninya ia mempermainkan perasan ku, mengatakan bahwa ia mencintai diriku, mengatakan bahwa ia tidak membunuh Jovana.
Rasa sakit dikepala ini benar-benar membuatnya semakin ingin membunuh dirinya sendiri, ia harus melakukan sesuatu untuk sakit kepala ini, Jean menghantamkan pistolnya di kepalanya berkali-kali. Hantaman itu membuat wajahnya terluka hingga mengeluarkan darah membasahi wajahnya. Jovana panik melihat Jean yang terluka ia langsung memeluknya berusaha untuk menghentikannya.
"JEAN!" Teriak Jovana memeluknya erat, tangannya yang masih gemetaran memeluk Jean, membenamkan kepalanya di pelukannya. membenamkan wajah Jean di dadanya, "jangan Jean jangan" Ucap Jovana memohon memeluk Jean melindungi Jean dari dirinya sendiri.
"Kenapa kau kembali" Ucap Jean meneteskan air mata. "Kenapa kau membuka lukaku kembali"
"Karena aku merindukan mu" Ucap Jovana memeluk Jean erat, "aku tidak tau kedatangan ku membukakan luka di hatimu" Jelas Jovana getir. Jean tertunduk kebawah layu.
"Aku tak mampu menahan beban ini, aku tak mampu untuk menahan diriku, menahan rasa ini, selama 10 tahun, hanya harapan ku untuk bisa bertemu dengan mu yang membuat ku bertahan"
"Maafkan keegoisan ku Jean, aku tidak tau kedatangan ku membukakan lukamu" Ucapnya, Namun Jean terdiam tanpa balasan.
Jean perlahan mulai dari keheningan ini, kepalanya terangkat, ia mendorong jauh Jovana dari sisinya, ekspresi wajahnya yang kosong membuat Jovana terdiam. Jean merogoh kantongnya, ia mengeluarkan botol obat, membukanya Jean langsung meneguk sebutir pil putih.
"Tinggalkan aku" Ucap Jean, ia sudah meneguhkan hatinya untuk meninggalkan masa lalu, melupakan segalanya. Mendengar ucapan ini membuat Jovana panik, ia tak mungkin meninggalkan Jean, ia tak baik baik saja, ia begitu menyedihkan, ia harus memperbaiki ini semua.
"Jean ku mohon dengarkan aku, kumohon biarkan aku disini bersamamu, aku mencintaimu, biarkan aku memperbaiki ini semua"
"Aku benar-benar mencintai mu, kumohon jangan lakukan ini padaku" Ucap Jovana memohon kepada Jean. Ia terisak-isak meminta pengampunan darinya. Ia tak ingin ini menjadi penyesalan terbesarnya. Ia tak mau lari lagi. Ia ingin tak mau lari ia mau bertahan disini dan menghadapi Masalah ini.
Tangannya erat menyentuh wajah Jean memandanginya, tetesan darah menetes di pipi Jean, air mata dan darahnya menyatu mengunci takdir keduanya. Jean kembali mengunci emosinya, dengan cepat ia kembali menjadi dingin, entah apa yang terjadi tapi alam bawah sadarnya mengontrol Jean untuk sesaat.
"Terserah" Ucap Jean singkat.