Peringatan: Novel Untuk Dewasa Allandra, seorang lelaki berusia dua puluh tiga tahun mengalami kehidupan yang berbanding terbalik setelah keluarganya di nyatakan bangkrut. Dia di tinggalkan semua teman-temannya dan juga di putuskan oleh kekasihnya. Namun kehidupannya berubah saat dia bertemu dengan Sabilla, seorang desainer terkenal yang berusia lebih tua lima tahun darinya dan memiliki suami.
"Sekarang status kita sudah beda, Allan. Jadi, tidak ada alasan untuk mempertahankan hubungan ini. Aku mau kita putus!"
Kalimat itu masih terngiang di telinga Allandra. Baru satu minggu kabar kebangkrutan keluarga Wijaya tersiar, hidup Allandra seperti benar-benar terbalik. Semua kemewahan dan kejayaan dalam hidupnya telah selesai. Teman yang dulu akrab, sekarang berjumpa pun pura-pura tidak melihat dan hari ini, Raya, seseorang yang Allandra pikir akan selalu ada di sampingnya, juga memutuskannya.
Ya, dia adalah Allandra Wijaya, anak dari Andra Wijaya dan Sila Ramadhanti. Kakak kembar Allana. Akibat kecurangan rekan kerja ayahnya, perusahaan Wijaya Group mengalami kerugian besar hingga nyaris di tutup. Sebenarnya Pamannya, Andre, telah menawarkan bantuan, tetapi karena jumlahnya terlalu besar, ayahnya lebih memilih untuk menolak.
Apa yang terjadi di dalam kehidupannya saat ini menampar Allandra dengan keras. Selama ini dia berpikir kalau hidupnya akan selalu senang dengan semua aset yang di miliki oleh ayahnya, tapi ternyata tidak. Semuanya seperti lenyap dalam sekejap.
Beberapa hari yang lalu, dia masih menggunakan mobil mewah saat pergi kemanapun, sekarang, dia hanya berjalan kaki setelah turun dari taksi, kendaraan umum yang bahkan tidak pernah di naikinya selama ini.
Matahari telah naik tepat di atas kepala. Allandra belum memakan sesuap nasi pun. Bukan karena ia tidak memiliki uang lagi, tetapi pria itu masih merenungi nasibnya sambil menunggu Bima, satu-satunya teman yang masih mau berhubungan dengannya di sebuah bangku yang biasa di gunakan orang bersantai setelah berolah raga di pinggir jalan setapak di sebuah taman yang lumayan jauh dari komplek tempatnya tinggal.
Di sampingnya ada sebuah koper. Dia sedang berencana mencari sebuah kontrakan. Dia ingin memulai hidup mandiri, terpisah dari keluarganya.Meskipun ia harus berdebat dengan Allana, adik kembarnya dan orangtuanya, itu tidak menyurutkan niat Allandra untuk meninggalkan rumah mereka.
Semua itu dia lakukan karena merasa bersalah pada keluargannya. Hidupnya yang bergaya mewah membuat tagihan kartu kreditnya selalu mencapai limit. Itu adalah salah satu penyebab ayahnya tidak memiliki tabungan yang cukup untuk menopang perusahaan yang koleps.
"Sudah lama?" Bima membuyarkan lamunan Allana.
Bima iba melihat kondisi Allandra yang tidak memiliki apa-apa. Wibawanya sebagai calon penerus Wijaya Group tidak terlihat lagi. Apalagi Allandra sempat bilang padanya kalau sebagian besar teman-teman mereka menjauh tanpa alasan semenjak Wijaya Group di nyatakan bangkrut.
"Lumayan." jawab Allandra lesu. Dia tampak sangat tidak bergairah. Semangatnya yang membara padam begitu saja. Allandra menjadi seperti bukan dirinya.
Seminggu yang lalu, lelaki itu masih memberikan sambutan di atas podium mewakili ayahnya, Bima tahu itu karena acara peresmian kerjasama perusahaan Di siarkan secara eksklusif di salah satu televisi swasta. Semua orang memandangnya dengan kagum, bahkan saat acara selesai, para wartawan mengejarnya untuk keperluan wawancara. Tapi siapa sangka, hari ini Allandra Wijaya duduk di pinggir jalan tak berdaya tanpa ada yang peduli.
"Astaga! Wajahmu pucat sekali, Allan. Kulit putihmu itu membuatmu semakin terlihat seperti mayat. Apa kamu belum makan?" tanya Bima khawatir. Allandra menggeleng.
"Ayo makan, aku akan membayar untukmu. Kamu laki-laki, tidak bisa bersikap melankolis seperti ini. Meskipun semuanya meninggalkanmu, kamu masih bisa mengandalkanku. Kau dengar?" Bima menyemangati Allandra saat lelaki itu tengah berjalan mengekorinya sambil menyeret kopernya. Lelaki tidak menyahut, hanya mengangguk. Bima kesal, ia kembali lagi menghampiri Allandra dan mengguncangkan badan lelaki itu.
"Tunjukkan semangat hidupmu Allan! Atau aku akan melemparmu sampai ke Dubai!" Teriak Bima tepat di telinga Allandra.
"Aku tidak tuli Bima, hanya saja energiku habis karena belum makan apapun. Apa kau mau aku pingsan di sini?" keluh Allandra sambil berjalan dengan setengah menyeret kakinya.
"Kalau kau sampai pingsan, aku akan membuangmu ke tong sampah. Ayolah, semangat. Kamu masih muda, suatu hari, kamu pasti akan sukses dengan usahamu sendiri. Kamu bisa memiliki kembali apa yang sudah hilang dari hidupmu. Percaya padaku." Bima merangkul sahabatnya dan menepuk bahunya berkali-kali.
"Terima kasih. Meskipun gila, aku beruntung masih memilikimu, kawan." Allandra mengulas senyum tipis di bibirnya. Dunianya memang terasa hancur sekarang, tetapi itu bukan alasan untuknya menyerah untuk hidup.
"Tentu saja. Aku bisa kau andalkan. Kamu akan tinggal di mana?" Bima melirik koper hitam Allandra. Bima berani bertaruh, Allan pasti pergi dari rumah.
"Belum tahu. Aku baru mau mencari kontrakan." kata lelaki itu datar. Dia memang tidak memiliki tujuan pasti, kemana dia akan pergi dan tinggal.
"Kebetulan, di sampingku ada satu kamar kosong. Kamu bisa ngontrak di sana." Bima tampak sangat bersemangat. Allandra lega, akhirnya dia memiliki gambaran di mana akan tinggal.
Selama ini dia tidak pernah keluar dari rumah orangtuanya, dia tidak tahu di mana penginapan atau rumah kontrakan. Beruntung dia mempunyai teman sebaik Bima, yang mau membantunya saat dia berada di titik terrndah seperti sekarang.
"Bagus. Aku lega sekali. Di mana warungnya, kenapa lama sekali? Aku sudah sangat lapar." keluh Allandra karena tidak sampai juga ke tempat makan. Dia memang tidak pernah jalan kaki, dan kali ini dia harus melakukannya, apalagi dia harus menyeret koper besar.
"Kita baru saja jalan beberapa langkah, kau sudah mengeluh. Dasar manja!" ejek Bima.
Dunia Bima dan Allandra awalnya memang berlawanan. Bima ada di bumi, sedangkan Allandra ada di awan. Menjadi temannya saja, Bima sudah sangat beruntung. Allandra bukan tipe pemilih teman, itulah mengapa Bima menjadikan kesempatan ini untuk membalas budi baik yang di tanam oleh sahabatnya itu.
"Sori, kayaknya aku belum terbiasa dengan kemiskinan ini. Ajari aku biar bisa bermental baja sepertimu, Bim." Allandra menghela napas. Dia memang belum bisa menerima sepenuhnya. Semua masih seperti mimpi.
"Itu masalah gampang. Terpenting, mari kita makan dulu. Warungnya ada di ujung situ." Bima menunjuk warung makan pinggir jalan yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang.
Allandra menelan ludah. Dia tidak yakin tempat makan itu akan sesuai dengan seleranya.Tidak hanya gaya hidup, ternyata menu dan tempat makannya pun harus berubah sekarang.
Dulu, makan di kafe biasa saja sudah sangat Allan hindari. Dia selalu makan di tempat berkelas saat bersama teman, apalagi jika dia pergi makan dengan kekasihnya, semuanya serba mahal dan spesial. Sekarang dia harus makan di tempat sederhana, bangku kayu dan kedai kecil, sungguh, Allandra tidak pernah membayangkan itu.
"Kenapa kamu ragu? Di sini makanannya bersih dan enak, memang sih cuma makanan kampung dan pinggir jalan, tapi di sini makanannya murah, kita bisa hemat uang." perkataan Bima mengingatkan Allandra, dia memang harus berhemat. Dia belum memiliki pekerjaan dan harus menghemat uang yang ada sampai dia menemukan pekerjaan baru.
"Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak masalah harus makan di sini." gumamnya, sekali lagi Allandra nenelan salivanya sendiri dan tidak yakin.