Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. “Kang Wulung!” seru satu suara lainnya, “Apa tindakan selanjutnya?” Sejenak tak ada suara, hanya langkah-langkah kaki yang berderap kesana kemari. “Anak-anak! Bakar tempat ini!!!” perintah dari orang yang dipanggil dengan sebutan Kang Wulung, yang disahut dengan suara gemuruh banyak orang. Tak lama, suasana malam menjadi terang benderang dengan cahaya merah, Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. Perjalanan seorang remaja, hingga dewasa di negeri yang jauh dari tempat kelahirannya. Takdir memaksanya menjalani hidup dalam biara Shaolin. Suatu saat ketika ia akan pulang ke kampung halamannya, ia harus bisa mengalahkan gurunya sendiri dalam sebuah pertarungan.
"Bela diri tertinggi itu apa?" bertanya seorang lelaki tua dan sepuh kepada beberapa orang remaja yang duduk bersila dihadapannya. Mereka adalah murid-murid padepokan silat Kantil Putih. Sedang yang mereka hadapi adalah guru mereka, yang dikenal dengan panggilan Ki Ronggo Bawu.
Rambutnya sebagian sudah memutih, janggutnya yang lebat, sorot matanya yang tajam, raut mukanya yang bersih dan tenang menyiratkan pribadi yang bijaksana. Ki Ronggo Bawu merupakan pendiri padepokan Kantil Putih sejak beberapa tahun lalu. Hal itu nampak dari para muridnya yang rata-rata adalah remaja belasan tahun yang jumlahnya tidak sampai 20 orang.
Di dunia persilatan, nama Ki Ronggo Bawu tergolong baru. Konon Ia adalah salah seorang murid Ulama penyebar agama Islam di tanah Jawa dari Persia. Sekarang, ia membuka sebuah padepokan di sebuah dusun terpencil, di mana terdapat sebuah lembah yang banyak ditumbuhi pohon bambu, masyarakat sekitar menyebutnya sebagai Lembah Damai.
Sengaja ia memilih lokasi terpencil sebagai pusat kegiatannya, dengan alasan keamanan dan kedamaian dalam mengajar. Banyak ia melihat, para ahli bela diri yang membuka perguruan di kota-kota selalu mendapat gangguan dari perguruan lain maupun orang-orang jahat yang ingin menguji ilmu silat para pendekar baru. Ada yang berjaya, namun banyak juga yang kandas, bahkan menemui ajalnya.
Malam itu, selepas waktu Isya, diterangi cahaya obor di beberapa sudut, mereka seperti biasa berkumpul di aula kecil terbuka yang sebagian lainnya merupakan sebuah ruangan tertutup atau kamar. Bangunannya berbentuk panggung yang tidak terlalu luas, berdinding bambu, beratap jerami.
Para murid terdiam, membiarkan Ki Ronggo Bawu menjawab pertanyaannya sendiri.
"Tidak adakah dari kalian yang bisa menjawabnya?" tanyanya lagi.
Para murid saling berpandangan satu sama lain.
Tiba-tiba seorang murid yang duduk bersila paling depan mengangkat tangannya.
"Apakah itu Jurus di Tingkat Ketujuh dari Kantil Putih, Ki Guru?" jawabnya menebak.
Ki Ronggo tersenyum sambil mengelus janggutnya.
"Suro," katanya, "jika kamu berhadapan dengan sekelompok orang yang mengancam nyawamu, apa yang akan kau lakukan?"
Remaja yang dipanggil dengan Suro itu nampak mengernyitkan dahi, berfikir sejenak. lalu sambil menggaruk kepalanya dia menjawab ragu, "saya akan melawannya sekuat tenaga, Ki Guru."
"Sampai kapan?" tanya Ki Ronggo lagi.
"Sampai Suro menang, Ki," jawabnya lugu.
Ki Ronggo tertawa hingga nampak barisan giginya yang masih utuh, putih dan bersih.
Para murid pun kembali saling pandang, suara bisik-bisik terdengar bersahutan diantara mereka. Penasaran.
"Ilmu ini memang sangat susah, diperlukan pengetahuan dan wawasan yang luas, kedewasaan dan keahlian berdialog, serta kerendahan hati yang tanpa batas....." tuturnya,"Jika seseorang itu mampu menahan diri dari egonya, emosinya, lalu melawan suara keras dan kasar dengan ucapan santun, lemah lembut, rendah hati, lebih mengedepankan perdamaian sehingga tidak terjadi pertarungan, itulah ilmu tertinggi bela diri..."
Mendengar pitutur Ki Ronggo, kembali suara riuh bisik-bisik memenuhi ruang aula itu.
Ki Ronggo Bawu perlahan berdiri, lalu beranjak masuk ke kamar yang ada dibelakangnya. Tak beberapa lama, ia pun keluar dengan membawa sebuah tongkat pendek terbuat dari rotan, yang jika ditegakkan dengan tubuh, tongkat itu setinggi pinggang orang dewasa. Tidak ada yang istimewa pada tongkat rotan itu, hanya saja ada semacam tali berwarna hitam melilit disalah satu ujungnya seukuran genggaman.
Ketempatnya semula, lelaki itu pun kembali duduk bersila menghadap ke arah murid-muridnya.
"Ketahuilah, kalian para murid Padepokan Kantil Putih saat ini merupakan murid-muridku generasi pertama. Kalian semua sudah kuanggap sebagai anak-anakku. Aku tahu derita kalian, karena kalian merupakan anak-anak yatim piatu dengan berbagai latar belakang kondisi yang berbeda hingga kalian menjadi yatim piatu. Kalian kubawa satu persatu dalam perjalananku mencari tempat menyendiri, yang akhirnya terbersit dalam hati untuk mendirikan sebuah padepokan ketika sampai di Lembah Damai ini sebagai tempat bernaung dan mengajarkan Ilmu Agama, serta ilmu bela diri yang kunamakan Kantil Putih sebagai pegangan kalian ketika menghadapi ancaman dalam berdakwah."
Ki Ronggo Bawu nampak menarik nafas, raut mukanya menampakkan kesedihan. Fikirannya melayang mengingat perjalanannya beberapa tahun lalu dalam pengembaraan mencari tempat menyendiri. Di tempat-tempat berbeda, satu persatu ia menemukan anak-anak yang berada dalam penindasan dan ancaman kematian. Beberapa kali pertarungannya adalah menyelamatkan anak-anak dari kebiadaban para perampok yang menyerang desa secara membabi buta, yang tentu saja korbannya adalah mereka yang tidak bisa melawan, terutama anak-anak. Sebagian tidak bisa ia selamatkan, dan yang selamat ia bawa dalam pengembaraannya hingga sampai di Lembah Damai.
Masa-masa ini, kejahatan merajalela, ilmu hitam dan putih saling beradu kuat, para pendekar saling berebut nama untuk menjadi yang terhebat, entah sampai kapan.
Melihat raut wajah Ki Ronggo Bawu, para murid sudah bisa menebak kalau gurunya itu sedang melamunkan sesuatu. Suasana kembali hening, sampai suatu saat seorang remaja lain yang berada dibelakang Suro, murid yang pertama kali menjawab pertanyaan sang guru buka suara.
"Ki Guru," ucapnya.
Ki Ronggo agak terkejut, lalu memandang ke arah murid yang memanggilnya.
"Ada apa, Seno?" tanyanya.
Remaja yang dipanggil Seno itu berkata,"Seno Cuma ingin menanyakan, apakah silat Kantil Putih ini mempunyai jurus pamungkas?"
Yang ditanya nampak berfikir sejenak sebelum menjawab.
"Tidak ada jurus pamungkas pada silat Kantil Putih," jawabnya, "semua tergantung latihan dan pengalaman bertarung. Hanya saja setiap tingkatan dalam silat ini memerlukan kemampuan yang lebih tinggi untuk bisa menguasainya. Semakin tinggi akan semakin sulit. Termasuk tingkatan ketujuh, tingkatan terakhir dalam silat Kantil Putih."
"Kira-kira, berapa lama yang dibutuhkan untuk menguasai Silat Kantil Putih tingkat ketujuh, Ki?" bertanya murid yang lain.
Ki Ronggo agak mendongak melihat si penanya, karena posisinya di baris paling belakang.
"Tergantung pemahaman, selama beberapa tahun ini, secara praktek kalian sudah masuk tingkatan keenam, dan secara teori kalian sudah kuajarkan tingkat ketujuh, yang merupakan pengembangan dari semua tingkatan. Itu semua kuajarkan mengingat aku sudah sepuh, tenaga sudah jauh berkurang, dan tak tahu umurku sampai kapan. Besar harapanku, silat ini akan berkembang oleh kalian sepeninggalku kelak..." paparnya.
Perlahan, ia mengangkat rotan yang berada ditangan kanannya, memandanginya sejenak, lalu menyebarkan pandangan ke arah murid-muridnya.
"Tongkat pendek ini adalah simbol kita, melumpuhkan tapi tidak membunuh. Selain itu, dia membantu kita meniti jalan dalam gelap maupun ketika mengusir binatang buas...."
Wus!!
Wus!!
Belum selesai Ki Ronggo Bawu bercerita, beberapa anak panah muncul dari luar aula melesat secara tiba-tiba mengincar tubuhnya.
Claaap!!!
Meskipun beberapa serangan anak panah berhasil ditepis, sebuah anak panah lainnya berhasil menancap di dada kiri Ki Ronggo.
"Guruuuuu!!!" sontak para murid berlompatan berusaha melindungi tubuh Ki Ronggo yang terkulai sambil memegangi dadanya yang terluka tertusuk anak panah.
"Kita diseraaang!!"
"Awas!!!"
Wuss!!!
Puluhan anak panah kembali beterbangan membuyarkan kumpulan murid Ki Ronggo. Banyaknya anak panah yang diluncurkan melesat tak mungkin bisa dihindarkan. Satu persatu, para remaja, murid padepokan Kantil Putih rubuh dengan anak panah yang menancap ditubuhnya.
Nampaknya, hanya Suro yang masih bertahan. Kemampuan bela diri membuatnya lincah menepis semua serangan anak panah.
Wuuussss!!!
Puluhan anak panah kembali datang laksana hujan yang jatuh ke bumi. Remaja yang bernama Suro kembali mengerahkan kemampuannya. Tongkat rotan yang tergeletak dan terlepas dari genggaman Ki Ronggo berhasil ia raih, mengayun dan memutarnya kesana kemari membentuk pertahanan. Kibasan yang dibuatnya menimbulkan suara suitan. Diliriknya sekeliling, semua rekannya telah terkapar mengenaskan dengan luka tusukan anak panah. Nampaknya hanya dia yang tersisa untuk melindungi tubuh Ki Ronggo yang nampak kepayahan.
Beberapa anak panah bisa ditepisnya, namun....
Clap!!!
Clap!!!
Terdengar suara anak panah mengenai sasaran, satu anak panah menancap di bahu kirinya, dan anak panah lainnya menancap di punggung Ki Ronggo, gurunya.
Dia kaget, bagaimana secara tiba-tiba, tubuh Ki Ronggo sudah berada didepannya dan melindungi tubuhnya dari serangan anak panah.
"Guruuu!!!" teriaknya.
Ia berusaha membalik tubuh gurunya itu, namun ia tak sanggup karena ternyata Ki Ronggo Bawu memang sengaja melindungi tubuh Suro dengan badannya.
"b-b-beracun...." bisik ki Ronggo dengan suara terbata menahan sakit.
Akhirnya tubuh Ki Ronggo Bawu pun rubuh menimpa tubuh Suro. Sementara, Suro sendiri tak kuasa menahan tubuh gurunya itu, apalagi ada rasa sakit dan panas perlahan menjalar dan menyebar mulai dari bahunya.
"Ss-s-selamatkan dirimu, anakku....," lirih Ki Ronggo berkata dengan getaran menahan sakit.
Selepas berbicara demikian, mulut Ki Ronggo seperti mengucap sesuatu yang tak bisa didengar oleh telinga Suro. Tak lama, matanya kosong tanpa kehidupan, Ki Ronggo Bawu tewas dengan anak panah beracun yang menancap ditubuhnya
Seperti mimpi, bibir Suro bergetar, ia tak mampu mengeluarkan suara meskipun lirih, kepalanya terasa berat, ia melihat segalanya seperti berputar. Ia pasrah, hanya memejamkan mata sambil merasakan racun dari anak panah yang perlahan merayap mengikuti aliran darahnya.
"Ya Allah, akankah waktuku telah tiba malam ini?" batinnya.
Lamat-lamat, telinganya menangkap suara tawa dan teriakan kemenangan dari luar, disusul derak banyak kaki menaiki tangga menuju aula bangunan, datang dari gelapnya malam.
"Ha.ha.ha...." satu suara tawa berat terdengar jelas dalam kepasrahan menunggu maut ditelinga remaja Suro, ia tak mampu melihat siapa yang tertawa.
"Mampuslah kau Ronggo!!!" terdengar lagi suara yang berbeda.
"Dicari kesana kemari, akhirnya kutemukan juga manusia tua ini!" kali ini suara orang yang tertawa tadi yang berkata,"Aku tak rela kau mati karena tua, maka harus mati ditanganku!"
"Akhirnya terbalas juga dendam beberapa tahun lalu, ketika kau menghabisi anak buahku waktu itu!"
Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak, pura-pura mati. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu.
"Kang Wulung!" seru satu suara lainnya, "Apa tindakan selanjutnya?"
Sejenak tak ada suara, hanya langkah-langkah kaki yang berderap kesana kemari.
"Anak-anak! Bakar tempat ini!!!" perintah dari orang yang dipanggil dengan sebutan Kang Wulung, yang disahut dengan suara gemuruh banyak orang.
Tak lama, suasana malam menjadi terang benderang dengan cahaya merah, api semakin lama semakin membesar, membakar bangunan Padepokan Kantil Putih.
***