"Tidaaaak!!!"
Satu suara teriakan panjang terdengar diiringi derap tapak kaki kuda yang melaju kencang mendekat ke arah Perwira Chou dan Suro berdiri.
Jaraknya yang cukup jauh sangatlah mustahil kalau orang yang berteriak itu bisa menghentikan apa yang akan dilakukan oleh Perwira Chou. Sementara penggalan pedang sudah tinggal diayunkan ke bawah dalam hitungan tidak sampai satu detik akan mengantarkan nyawa Suro ke alam kematian.
Di sisi lain, Suro pun mendengar teriakan dan derap kaki kuda yang mendekat ke arahnya dari kejauahn. Tetapi, ia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain menutup matanya dengan nafas yang turun naik.
Untuk beberapa saat ia menunggu penggalan pedang akan menancap ditubuhnya, tetapi hingga pendengarannya bisa memperkirakan jarak derap kaki kuda sudah dekat pun masih tak terjadi apa-apa pada dirinya. Malahan, ia dikejutkan oleh satu tubuh berat yang menimpa di atas perutnya.
Ketika ia membuka mata, barulah ia sadar bahwa tubuh Perwira Chou sudah jatuh menimpanya dalam keadaan tak bernyawa. Darah nampak keluar dari dua mata, dua lubang hidung dan dua lubang telinganya.
Beban dari tubuh Perwira Chou semakin membuatnya sesak nafas. Namun, ia tak punya tenaga untuk menyingkirkannya. Sementara, pandangan matanya perlahan mulai gelap.
"Pendekar Luo!" ia masih bisa mendengar satu suara memanggil namanya, tetapi tidak bisa melihat siapa pemilik Suara itu.
Tak lama kemudian, semuanya nampak betul-betul gelap, kesadarannya pun hilang!
"Pendekar Luo!" sosok lelaki itu langsung melompat dari punggung kuda, lalu berlari mendekati tubuh Suro, kemudian melempar tubuh Perwira Chou yang menimpa tubuh pemuda itu dengan emosional.
"Aku kembali! Bertahanlah! Aku tak akan meninggalkanmu, Pendekar Luo!" Sosok itu mencoba menyadarkan Suro yang berada dalam kondisi pingsan.
Sosok itu yang ternyata adalah Yutaka Shisido nampak berlinangan air mata melihat kondisi Suro yang terlihat kritis, suara tangisannya terdengar nyaring seperti anak kecil yang ditinggal mati orang tuanya dengan tubuh berguncang.
***
Suro mendapati dirinya sudah berdiri di depan sebuah taman yang sangat indah yang belum pernah ia lihat keindahannya ditempat manapun selama pengembaraannya.
Di dalam taman itu dipenuhi tanaman bunga beraneka jenis dan beraneka warna dengan aroma harum yang dikeluarkan begitu menyihir siapapun yang menghirupnya. Tak jauh dari tempat ia berdiri, ia melihat sebuah kolam yang saking beningnya, ia pun dapat melihat ikan beraneka warna berenang didalamnya. Di atas kolam itu berdiri sebuah gazebo megah dengan cat berwarna merah.
Tiba-tiba, seseorang wanita yang sangat dikenalnya berdiri tersenyum dari dalam Gazebo. Yang membuatnya heran adalah, bagaimana wanita itu tiba-tiba muncul padahal sebelumnya ia sangat yakin kalau di dalam Gazebo itu tidak ada satu orang pun terlihat, alias kosong.
Mimpikah ini? Batinnya.
Tapi yang ia rasakan bukanlah mimpi, tapi betul-betul nyata!
"Ibu Zhao Lin?" ia berkata setengah berbisik.
Zhou Lin, ibu angkatnya itu kembali tersenyum dan mengangguk, seolah ia bisa mendengar ucapan Suro yang berbisik.
Begitu dilihatnya wanita itu melambaikan tangan memberi isyarat agar ia memasuki Gazebo, entah kenapa ia tak dapat menolaknya. Rasa rindunya pada Zhou Lin membuatnya langsung menangis histeris. Dengan berlari ia pun memasuki dua pilar gazebo dan meraih tangan wanita itu serta menciumnya sambil berlinangan air mata.
"Luo, Anakku sayang," sapanya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya yang lain mengusap kepala Suro.
Suro langsung berlutut, memeluk kaki ibu angkatnya itu dengan tubuh berguncang-guncang. Tumpahan air mata yang ia curahkan sepuas-puasnya membuat hatinya terasa lega dan lapang, betapa tidak, ia sangat merindukan ibu angkatnya itu.
Meskipun baru hitungan tahun Suro berada dalam keluarga Yang, kasih sayang Zhou Lin terhadapnya membuat kehidupannya sangat begitu bahagia dan penuh kenangan.
"Ibu,... bagaimana keadaanmu?" tanyanya dengan terbata-bata tanpa mau melepaskan pelukannya dikaki Zhou Lin.
"Alhamdulillah anakku, berkat dirimu keadaan aku dan ayahmu dalam keadaan sangat baik," jawabnya.
Suro hanya mengangguk, ia tak dapat bicara lancar dalam kondisi demikian. Ia ingin memuaskan hatinya memeluk sang ibu dengan menangis dan tak ingin menghentikan tangisannya.
"Luo anakku..." tiba-tiba terdengar satu suara lelaki, suara itu juga begitu akrab ditelinganya.
Dan ketika mengangkat kepalanya, sosok Yang Meng tahu-tahu sudah berdiri disamping Zhou Lin dengan senyuman.
Suro tak habis fikir, bagaimana mungkin ini terjadi. Ia masih merasa sedang bermimpi. Tetapi jika pun boleh memilih, ia tak ingin terbangun dari mimpi ini.
"Ayah!" serunya, lalu buru-buru mencium tangan Yang Meng, dan memeluknya dengan erat yang dibalas usapan lembut Yang Meng pada punggung Suro. "Ananda merindukan kalian, ... ananda merindukan kalian....Huuu."
"Oh, anakku yang gagah. Kami sekarang sudah bahagia. Beban kami sudah hilang dan itu semua berkat kehadiranmu," ucap Yang Meng sambil terus mengusap punggung Suro.
Tak lama, Suro merasa tangan Yang Meng bergerak membuka pelukannya dan merenggangkan jarak tubuhnya dengan Suro. Begitu tubuhnya merenggang, Suro kembali terkejut. Bagaimana tidak, sosok kedua orang tua angkatnya sudah tidak ada dihadapannya.
Ia pun tampak sibuk melemparkan pandangannya ke segala arah sambil berteriak-teriak memanggil kedua orang tua angkatnya itu.
"Ayah!.... Ibu!...." teriaknya.
Tetapi, ia tak menemukan tanda-tanda keberadaan mereka berdua.
"Oh, dimana aku? Apakah aku sebenarnya sudah mati?" ia bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Tiba-tiba, pandangan matanya melihat satu sosok lelaki tua berdiri tak jauh berada di luar Gazebo. Sosok lelaki tua itu tersenyum pada Suro.
Di sela-sela kebingungannya, ia pun balas tersenyum lebar melihat lelaki tua itu dan berlari keluar Gazebo mendatangi dimana lelaki tua itu berdiri.
"Ki Guru!" ia berseru. Tangisannya belum reda dan berlanjut disaat ia meraih tangan orang tua itu, lalu menciumnya dengan penuh emosional. Ia melihat Ki Ronggo Bawu, sang guru sekaligus orang yang sudah ia anggap orang tuanya sendiri.
Suro akhirnya menyadari sesuatu, bahwa orang-orang yang ditemuinya di tempat ini adalah orang-orang yang sudah meninggal, itu artinya saat ini pun ia sudah pergi meninggalkan jasadnya yang barangkali sudah dikubur, alias ia sebenarnya sudah mati.
"Ananda merindukanmu Ki...." katanya sambil tersedu menangis, lalu memeluk erat tubuh Ki Ronggo Bawu.
Ki Ronggo tersenyum sambil mengelus kepala Suro.
"Akhirnya, ananda bisa berkumpul lagi dengan Ki guru di sini..." katanya lebih lanjut.
Ki Ronggo merenggangkan pelukan Suro, lalu menggandeng lengan pemuda itu untuk kemudian membawanya berjalan-jalan dengan santai di antara bunga-bunga.
"Aku bangga melihatmu, anakku," orang tua itu berkata dengan menyungging senyum.
Suro mengangguk sambil berusaha menghentikan sedu sedan tangisannya, sesekali ia pun mengusap air mata dengan kain pakaian yang ia kenakan. Agak terkejut juga ia melihat pakaiannya sudah dalam keadaan bersih tanpa noda darah.
"Ah, aku 'kan sudah mati," batinnya. Ia tersenyum, dan menganggap kalau alam kematian ternyata begitu indahnya.
"Ananda sudah berusaha mengamalkan apa yang pernah Ki Guru ajarkan. Alhamdulillah, akhirnya ananda bisa berkumpul disini kembali bersama Ki Guru," katanya.
Ki Ronggo Bawu kemudian menghentikan langkahnya, lalu memutar tubuhnya menghadap Suro sambil tersenyum. Kedua tangannya memegang bahu Suro.
"Anakku," katanya, "Apa benar kau ingin berada di sini?"
Suro mengangguk, "Umm! Ananda rasa, Allah sudah mencukupkan rezeki ananda sampai waktu ini. Dan ananda juga merasa sudah cukup puas hidup di alam dunia yang penuh angkara murka."
Mendengar jawaban Suro membuat senyum Ki Ronggo Bawu bertambah lebar. Lalu, ia mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Tangannya menunjuk ke arah dimana pandangan matanya tertuju. Tiba-tiba terlihat sebuah gerbang yang terbuka entah dari mana kemunculannya yang menampakkan pemandangan di luar gerbang itu berbeda dengan pemandangan ditempatnya berdiri.
Satu sosok tubuh seorang gadis langsung mewujud dan berdiri di luar gerbang lalu melangkahkan kakinya dengan gaya acuh tak acuh memasuki wilayah taman.
Melihat Suro, wajahnya yang begitu cantik dan ceria langsung menyunggingkan senyuman, disusul kemudian berlari mendekati pemuda itu. Lagi-lagi ia kenal dengan sosok gadis itu. Ingatannya tentang isi dunia beserta perjalanannya langsung muncul kembali secara keseluruhan.
Sebelum ia melihat gadis itu, ia seperti orang yang lupa akan kehidupan dunia. Barangkali keindahan dan kedamaian di alam yang dia masuki membuatnya takjub sehingga melupakan seluruh kenangannya sewaktu berada di alam. Sehingga, dia berkesimpulan dunia ia rasakan sebagai neraka.
"Li Yun?" sapanya heran.
Ia memikirkan apakah Li Yun juga sudah mati hingga gadis itu bisa masuk ke alam ini? Jangan-jangan gerbang itu adalah gerbang penghubung alam kematian dengan alam dunia?
Ah, ia tak mempunyai pengetahuan tentang itu. Maka ia memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi.
"Kakak," katanya lembut dengan gaya kekanak-kanakan yang menjadi ciri khasnya, tangannya menggenggam tangan Suro dan menariknya, "Pulang yuk!"
Suro terkejut mendengar ajakan adik angkatnya itu yang dianggap tidak sopan karena tidak menyapa Ki Ronggo Bawu terlebih dahulu.
"Adik Li, mana sopan santunmu?" Suro berkata dengan agak keras, kelihatan kalau ia merasa tersinggung..
Li Yun terlihat kebingungan mendengar ucapan Suro, wajahnya menunjukkan kalau ia tak tahu dimana letak ketidaksopanannya.
"Kakak, apa maksudmu?" Li Yun balik bertanya.
Suro mendengus kesal sebelum menjawab.
"Mengapa adik tidak memberi salam dulu pada ...." Suro terkejut ketika menoleh kesebelahnya dimana ia tidak melihat lagi keberadaan Ki Ronggo.
"Ada apa, kakak?" tanyanya lagi.
Suro langsung menggeleng dengan raut wajah kebingungan. Dalam hatinya langsung bermunculan banyak pertanyaan.
"Anu...ehm... tak apa, kakak yang salah, kakak mohon maaf," kali ini ia berucap sambil tersenyum ke arah Li Yun. Kejadian menghilang tiba-tiba dari orang-orang yang ditemui sebelumnya langsung membuatnya tersadar.
Gadis itu tersenyum lagi sambil menggoyang-goyangkan tangan kakak angkatnya itu dengan gaya khasnya.
"Kakak, ayo kita pulang," katanya lagi, "Rou Yi sudah memasakkan makanan kesukaanmu. Nanti dia akan menangis jika kakak tidak pulang untuk memakan hasil masakannya. Kalau dia jatuh sakit seperti dulu, bagaimana? Apakah kakak tega?"
Suro terdiam, mulutnya tergagap-gagap dan terlihat bingung.
"Kakak," Li Yun menggoyang-goyang lengan Suro beberapa kali membuat tubuh Suro ikut berguncang.
"Adik Yi tidak kemari?" tanyanya.
Li Yun menarik nafas dalam, "Ah, kakak....Dia begitu sedih kakak tidak pulang."
Lalu Li Yun menoleh ke arah gerbang, dari tempatnya berdiri ia mengarahkan telunjuknya ke sana.
"Itu dia!" serunya sambil tersenyum lebar.
Sosok tubuh gadis tiba-tiba muncul seperti kemunculan Li Yun sebelumnya. Suro melihat Rou Yi memasuki gerbang dengan langkah lemah dan pelan, matanya nampak bengkak karena terlalu banyak menangis. Suro melihat pipi Rou Yi masih nampak basah oleh air mata.
"Kakak Luo," sapa gadis itu begitu sudah berdiri dekat dengan Suro, "Masakan sudah siap, kakak makanlah sebelum dingin."
Suara Rou Yi yang lembut dan nampak berharap membuat Suro merasa kasihan. Bergantian ia memandangi kedua gadis dihadapannya itu dengan tatapan seperti menolak untuk ikut.
"Kakak minta maaf," jawab Suro pelan, "Kakak tidak ingin pulang, sebab disinilah tempat tinggal kakak sekarang."
Li Yun dan Rou Yi seperti tersentak. Mereka sangat terkejut dengan apa yang barusan diucapkan oleh Suro.
Rou Yi langsung terduduk seperti orang lumpuh sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Suara tangisannya langsung terdengar sangat jelas di telinga Suro.
Sementara, Li Yun masih terlihat tegar sambil menatap mata Suro lekat-lekat. Tak lama, ada genangan air mata membanjiri kelopak kedua matanya yang akhirnya tumpah ruah membasahi pipinya yang lembut. Bibirnya nampak bergetar.
"Apakah kakak yakin tak ingin pulang bersama kami?" tanya Li Yun dengan suara bergetar.
Suro tak menjawab. Tetapi hatinya yang mengatakan kalau memang ia tak punya niat untuk pulang bersama mereka. Ia cuma bisa mengangguk pelan.
Mendapat jawaban yang tak langsung keluar dari bibir pemuda itu, membuat Li Yun mengangguk tegas. Ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, kemudian menoleh ke arah Rou Yi yang menangis dalam posisi bersimpuh. Wajahnya menunjukkan ketegasan.
"Rou Yi," katanya pada Rou Yi. Tapi Rou Yi tak mengangkat kepalanya dan tetap dalam kondisinya semula, "Kalau kakak tidak ingin pulang, bagaimana kalau kita juga tak usah kembali?"
Mendengar kalimat Li Yun membuat Rou Yi mengangkat kepalanya perlahan dengan air mata yang masih terus mengalir. Rou Yi diam beberapa saat tetapi tatapan matanya menunjukkan kemantapan hatinya, lalu kemudian mengangguk.
"Tidak!" Suro langsung berseru. Ia langsung faham apa yang terjadi kemudian. Jika memang kedua gadis itu mengatakan demikian, artinya mereka berniat untuk mati. Tetapi yang dikhawatirkan oleh pemuda itu adalah cara mereka mengakhiri hidupnya dengan keadaan yang salah, tentunya tempat meraka bukanlah di sini, tetapi disuatu tempat yang mana Suro pun tidak mengetahuinya.
"Tolong jaga adikmu...." satu suara tiba-tiba saja terdengar sangat jelas ditelinganya, ia tahu itu suara ibu angkatnya, Zhou Lin. Ia memutar kepalanya berkeliling barangkali melihat kehadiran wanita itu.
"Aku menitipkan anakku padamu...." satu suara lain tiba-tiba menyusul terdengar ditelinganya, dan kali ini ia pun kenal kalau itu adalah suara tabib Yin Ke Hu, ayah kandung Rou Yi.
Jika memang Li Yun dan Rou Yi mati dalam keadaan yang salah, artinya ia telah gagal mengemban amanat yang diberikan kepadanya. Sedangkan tugas dia adalah membimbing mereka menuju ke jalan yang benar.
Apalah guna jika pada awalnya ia yang menyelamatkan, kemudian ia pula yang mengakibatkan celaka kedua gadis itu?