webnovel

Suami Suami Takut Mertua (SSTM)

Author: Daoistovzdb
Realistic
Ongoing · 60.8K Views
  • 1 Chs
    Content
  • ratings
  • N/A
    SUPPORT
Synopsis

Menceritakan seorang suami yang takut dengan mertuanya. Siapa lagi kalau bukan pak Daffa, pak Daffa sangat takut pada mertuanya dan sangat sayang pada istrinya. Jika pak Daffa melakukan sedikit saja melakukan kesalahan maka ibu mertuanya mengancam dengan di coret nya pak Daffa sebagai menantunya dan juga di coret dari daftar hak warisnya. Pak Daffa mempunyai saudara kembar bernama pak Daffi. Pak Daffi adalah adik kandung pak Daffa. Pak Daffa dan pak Daffi selalu membuat bingung salah satu abdi dalem di rumah saat mereka sedang melakukan aktivitas bersama di rumah pak Daffa, siapa lagi kalau bukan Paijo. Paijo adalah abdi dalem setia dan dia juga sudah lama mengabdi sepuluh tahun di keluarga kanjeng ibu. Selain Paijo yang bekerja lama juga ada Aiman dan Abdul Latief. Betta, Jumiati dan Cengek adalah abdi dalem yang baru saja bekerja di keluarga pak Daffa. Pak Daffa mempunyai istri bernama Titah, pak Daffa mempunyai tiga orang anak Kaamil, Silvy dan Citra.

Chapter 1Paijo Adopsi Anak

Pagi itu saya sedang bingung mau merapihkan tanaman di halaman depan rumah, kanjeng ibu marah-marah karena rumputnya belum di potong. Lalu kanjeng ibu menyuruhku untuk membentuk rumput yang ada di halaman depan rumah.

"Haduh ini rumputnya sudah pajang-panjang lagi." keluh Paijo.

"Eh Joya.." Teriak kanjeng ibu.

"Tuh kan benar pasti si nenek-nenek bawel deh.., iya kanjeng ibu."

"Kamu ini gimana sih bisa gak ngerawat tanaman, rumput udah panjang juga di bentuk dong."

"Di bentuk apa kanjeng ibu?" tanya Paijo.

"Ya di bentuk teddy bear kek, kelinci kek, atau apa kek gitu.." jawab kanjeng ibu.

"Susah kanjeng ibu, kalo yang lain sih bisa kanjeng ibu."

"Oh ya, bentuk apa itu jo?" tanya kanjeng ibu.

"Sanggul ningrat kanjeng ibu." jawab Paijo.

"Sanggul ningrat kaya gimana itu jo?" tanya kanjeng ibu lagi.

"Sebentar.." jawab Paijo yang mengambil sanggul kanjeng ibu yang sedang dipakai oleh kanjeng ibu.

"Eeh.. Joya.." kanjeng ibu marah pada Paijo karena sanggul nya akan di lepas oleh Paijo yang akan menggunakan sanggul nya sebagai contoh untuk memotong rumput di halaman depan rumah.

"Kenapa kanjeng ibu?"

"Kenapa kamu bilang, kenapa?"

"Iya.."

"Kamu ngapain ngambil sanggul saya, yang lagi saya pake?"

"Lah kanjeng ibu gimana sih katanya mau ngelihat sanggul ningrat ya ini."

"Hmm Joya.." keluh kanjeng ibu.

"Hus, stop.." keluh Paijo juga.

"Hmm Joya."

"Iya ampun kanjeng ibu, oh ya gimana kalau giwang ningrat kanjeng ibu?"

"Kaya gimana tuh jo?"

"Kaya gini kanjeng ibu." kata Paijo yang memberikan contoh pada kanjeng ibu.

"Eeh.. Joya.." kanjeng ibu marah lagi pada Paijo karena giwang nya ingin di lepas oleh Paijo.

"Ya kan namanya giwang ningrat ya kaya gini."

"Sudah, sudah terserah kamu saja deh mau bentuknya kaya apa asalkan jangan kaya gini lagi."

"86 kanjeng ibu.." seru Paijo.

Tak beberapa lama kemudian datanglah Arif membawa mobil milik kanjeng ibu dengan ngebut. Dia juga masuk ke rumah dengan terburu-buru seperti orang ketakutan.

Dan Arif pun kami marahi di dapur karena dia yang membuat ulah kali ini.

"Hey awas.." kata Arif yang terburu-buru membawa mobil milik kanjeng ibu.

"Hmm Arif.." keluh kanjeng ibu dan Paijo bersamaan.

"Ampun kanjeng ibu, ampun Jo." kata Arif yang ketakutan.

"Tuh lihat teman kamu. Hmm.. Paijo.."

"Arif, kanjeng ibu." keluh Paijo saat di salahkan oleh kanjeng ibu.

"Oh iya ya.." seru kanjeng ibu.

"Ya sudah kanjeng ibu, saya mau bawa mobilnya dulu ke garasi mobil dulu kalau begitu."

"Iya, memangnya kamu bisa?" tanya kanjeng ibu.

"Enggak, permisi kanjeng ibu." jawab Paijo.

"Iya, wah hebat banget si Joya."

----

"Duh mana sih kertasnya." kata Daffa yang mencari kertas di ruang TV.

"Pak Daffa awas.." kata Arif yang tidak sengaja menabrak Daffa.

"Haduh, haduh.. Arif.... Hmm.." Daffa melemparkan spidol ke Arif lalu spidol itu kembali lagi pada Daffa dan masuk ke dalam mulutnya.

Kemudian Arif lari ke arah dapur dan tidak sengaja menabrak Darmi yang membuat Darmi kesal.

"Haduh.., hmm Arif.." keluh Darmi.

"Maaf mbak Darmi aku gak sengaja."

"Tempe yang aku bawa loh.."

"Tapi kan mbak Darmi tempenya gak jatuh."

"Oh iya syukur alhamdulillah. Yah.. Kok hmm Arif." kata Darmi dan menumpahkan semua tempe yang dia bawa.

"Kenapa mbak?" tanya Arif.

"Itu lihat tempe ku." jawab Darmi.

"Ya Allah, mbak Darmi bagaimana tempenya gak jatuh orang kamu tumplekin gitu."

"Gak mau tau ganti tempe ku." kata Darmi lagi yang minta Arif mengganti tempe nya yang jatuh.

"Waduh.. Nanti ya mbak kalau ingat." kata Arif melarikan diri dari Darmi karena di kejar oleh Daffa, Paijo dan kanjeng ibu.

"Eeh... Arif." kata Darmi yang ikut mengejar Arif.

----

"Eh Arif.." keluh semua yang mengejar Arif.

"Iya.." jawab Arif dengan ketakutan.

"Kamu mabuk akar genjer ya?" tanya Paijo.

"Tau nih gara-gara kamu tabrak tempe ku jadi mentah lagi." keluh Darmi.

"Kamu fikir saya ini pagar sekolahan apa? Kamu langkah-langkahin seperti itu." tanya Daff yang kesal atas ulah Arif.

"Tuan papi, tuan papi mah nggak pantes pagar sekolahan. Kalau tinggi kaya tuan papi gini sih pantesnya pagar kabupaten." kata Paijo menjelaskan pada Daffa.

"Kamu hampir saja nabrak saya untungnya ada Joya alias si Paijo payah ini coba kalau enggak." kata kanjeng ibu dengan kesal karena hampir di tabrak oleh Arif.

"Why you empret?" tanya Paijo.

"Loh apa itu mas jo?" tanya Arif juga.

"Kenapa kamu lari-larian kaya gitu?" tanya Daffa juga.

"Ya sudah sekarang kamu jawab Rif." pinta kanjeng ibu.

"Tadi kan saya nganterin kanjeng romo." Arif mulai menceritakannya pada keluarga Daffa dan abdi dalem lainnya.

"Emm terus?" tanya kanjeng ibu.

"Terus pulangnya kan saya ngebut tuh, gak sengaja saya nabrak orang sampe nyungsep ke selokan, terus saya kabur." jawab Arif menjelaskan pada keluarga Daffa dan para abdi dalem lainnya.

"Kenapa kamu kabur?"

"Ya karena orang itu panggil massa pak Daffa."

"Tau darimana kamu dia panggil massa rif?"

"Ya itu dia kan teriak mas, mas, mas.. Artinya kan dia panggil massa kan?"

"Yeh dasar oon.. Itu bukan panggil massa tapi manggil kamu.." keluh Paijo dengan kesal yang mendengarkan cerita Arif.

"Tau huuuu..." semua kesal dan melempari Arif menggunakan sandal.

Setelah masalah Arif selesai aku dan abdi lainnya mengerjakan pekerjaan kami seperti biasa. Lalu aku melihat kanjeng ibu sedang menangis di halaman samping rumah dekat kolam renang.

Sedangkan tuan papi memergoki Arif sedang main teropong di balkon dan Arif pun berbohong pada tuan papi bahwa dia sedang mengintip orang mandi, lalu Arif pun kabur dan tuan papi mengejarnya.

"Duh rumah gede banget sih setelah di jadikan satu, mana bingung lagi dan akhirnya balik lagi ke sini. Haduh.. Pusing.. Tuan papi rumahnya gede banggg.. Etttt.. Itu kan kanjeng ibu." keluh Paijo.

"Hemm emm emm emm.. Hiks.... Hiks.." kanjeng ibu menangis.

"Kanjeng ibu kenapa, masalah mobil ya? Tenang saja kanjeng ibu. Saya sudah tambal bempernya kok pake ember, jadi kanjeng ibu gak usah sedih ataupun nangis lagi ya." tanya Paijo menjelaskannya pada kanjeng ibu.

"Bukan itu Joya masalahnya." jawab kanjeng ibu.

"Bukan itu? Emm terus masalah apa dong kanjeng ibu?"

"Masalah teman saya meninggal dunia.."

"Oh gitu. Oh ya kanjeng ibu menurut buku catatan eyang kakung saya di bab empat belas orang meninggal itu karena memang sudah waktunya, jadi kanjeng ibu harus mengikhlaskan nya." kata Paijo.

"Tapi Joya.." sambung kanjeng ibu yang masih menangisi kepergian dari temannya.

"Tapi apa lagi sih kanjeng ibu?"

"Saya takut meninggal juga."

"Loh kanjeng ibu ini bagaimana sih kanjeng ibu kan kuat seperti Power Rangers."

"Kamu ini bagaimana sih jo kan saya bukan Power Rangers."

"Oh ya terus apa dong?"

"Saya ini kan kungfu panda."

"Oh iya ya kanjeng ibu kan kungfu panda ya bukan Power Rangers."

"Iya.." seru kanjeng ibu.

"Menurut buku catatan eyang kakung saya bab empat belas." kata Paijo lagi yang akan menjelaskan sesuatu pada kanjeng ibu.

"Kok empat belas lagi jo?"

"Ini catatannya banyak kanjeng ibu."

"Oh.. Apa itu jo?"

"Kalau mau awet muda dan tidak cepat meninggal kurangin marah-marahnya dan juga ngomel-ngomelnya. banyakin juga smile, senyum begitu kanjeng ibu."

"Oh gitu ya Jo."

"Iya dan yang di bab lima belas.. Nah ini sudah beda kan?"

"Iya, apa itu jo?"

"Kalau ada yang menyinggung kanjeng ibu cuekin saja anggap kalau dia iri pada kanjeng ibu."

"Iya ya.."

"Emm si Arif.." keluh Daffa saat melihat Arif yang sedang main teropong di balkon.

"Wow.." kata Arif yang sedang teropong.

"Eh Arif, kamu bukannya cuci mobil sana malah enak-enakan main teropong di sini.

Sudah sana cuci mobil." kata Daffa yang kesal melihat Arif sedang main teropong di balkon.

"Emm, emm....." Arif menggerang yang sedang mencari alasan.

"Emm ah emm emm, kenapa kamu?" tanya Daffa.

"Anu pak Daffa." jawab Arif dengan gugup.

"Anu punapa?" tanya Daffa lagi.

"Saya sedang.." jawab Arif masih mencari alasan yang tepat.

"Sedang apa kamu?" tanya Daffa yang semakin penasaran menunggu jawaban dari Arif.

"Lagi ngintip orang mandi, pak.." jawab Arif yang menemukan alasan yang tepat.

"Haa.. Orang mandi, sekarang sana kamu mandi." kata Daffa yang terkejut saat mendengar jawaban Arif yang terakhir.

"Kok mandi sih pak? Saya kan sudah mandi tadi." tanya Arif.

"Eh iya ya, maksud saya kamu cuci mobil sana." jawab Daffa.

"Iya pak.." seru Arif.

"Ya sudah sana, ngintip orang mandi wow.. Lihat ah.. Loh kok?" Daffa kaget ternyata yang di intip oleh Daffa adalah laki-laki.

"Woi kamu ngapain ngintip ya?" tanya orang yang di intip oleh Daffa, lalu kemudian menyiram Daffa.

"Waduh.." Daffa disiram oleh laki-laki yang di intipnya.

----

"Haduh.... Arif.." kata Paijo yang di tabrak oleh Arif.

"Maaf mas jo.." sambung Arif.

"Kamu ngapain sih lari-larian kaya gitu?" tanya Paijo.

"Anu mas Jo, saya di kejar oleh pak Daffa." jawab Arif.

"Hmm, pasti kamu ngerjain bapak buah ya?" tanya Paijo lagi.

"Loh kok bapak buah sih mas Jo?" tanya Arif juga.

"Ya iyalah kan kamu anak buahnya." jawab Paijo.

"Oh, eh satu pertanyaan ku." kata Arif.

"Apa itu Rif?"

"Bapak buah nya siapa?"

"Tuan papi."

"Pak Daffa dong mas jo?"

"Bukan...."

"Lah terus sapa?"

"Suaminya bu Daffa."

"Emm sama saja itu mah Jo.."keluh Arif.

"Nah mau lari kemana kamu rif?" tanya Daffa yang jengkel pada Arif, karena di kerjain oleh Arif.

"Ampun pak Daffa." Arif memohon juga ketakutan.

"Jo pegang, Jo.." pinta Daffa.

"Pegang tuan papi?" tanya Paijo.

"Iya.." jawab Daffa.

"86.." seru Paijo.

"Eh jo kok saya sih yang di pegang.." keluh Daffa.

"Oh emang salah ya tuan papi?"

"Iya, seharusnya Arif tau yang di pegang."

"Tuan papi juga yang salah."

"Kok saya?"

"Iya seharusnya tuan papi bilangnya pegang Jo pake Arif dong.."

"Oh.., iya.." seru Daffa.

"Iya sekarang tuan papi pergi sana." Paijo mengusir dan menendang Daffa.

"Iya, eh Jo. Kamu kurang ajar ya, sini kamu Jo, sini.." Daffa mengejar Arif dan Paijo.

Gendis si tukang jamu datang ke rumah meminta bantuan ku untuk mencari anak untuk di adopsi dan aku menerimanya.

"Jo, Joya.." panggil Gendis.

"Gendis tuh, apaan ndis?" tanya Paijo.

"Yang di arep-arepin jedul juga ya kamu." jawab Gendis.

"Hah jedul apaan?"

"Jedul itu artinya menampakan diri."

"Kamu kira saya setan pake penampakan diri segala." protes Paijo.

"Eh salah, keluar kandang."

"Kamu kira saya wedus pake keluar kandang segala." protes Paijo lagi.

"Aah.., pokoknya itu lah.." keluh Gendis.

"Ada apaan kamu kesini sampe dua kali. Kan setau saya. Kanjeng ibu sudah minum jamu mu, oh ya ada titipan jamu ya buat kanjeng romo? mana sini serahkan saja ke saya, nanti kalau pulang saya kasih ke kanjeng romo." kata Paijo.

"Bukan itu Joya." sambung Gendis.

"Terus?"

"Jadi gini Jo. Saya lagi cari anak untuk di adsorpsi."

"Haaaa.... Adsorpsi? Adsorpsi apaan ndis?"

"Itu loh Jo, kalau orang ingin punya anak tapi belum di kasih dan mau angkat anak."

"Oh itu adopsi kali.., adsorpsi" kata Paijo membenarkan perkataan Gendis.

"Nah iya itu.." seru Gendis.

"Oh kalo masalah itu gampang lah nanti saya bantu cariin."

"Oke.. Saya tunggu ya informasi dari kamu Jo."

"Tapi.." kata Paijo yang akan menanyakan upahnya pada Gendis.

"Oh ya kalo masalah itu tenang saja nanti saya kasih komisi." sambung Gendis.

"Oke.." seru Paijo.

Aku pun mencarikan anak untuk di jadikan anak angkat, dan Arif lah yang akan di jadikan anak angkat oleh pak Amir. Kemudian aku mencari Arif, ternyata Arif berada di dapur sedang di marahi oleh tuan papi karena sudah mengerjai nya sehingga tuan papi menjadi kesal pada Arif.

Di saat Arif akan di hukum, aku menghentikan tuan papi untuk menghukumnya juga aku menjelaskan pada tuan papi kalau Arif akan di jadikan anak angkat oleh kanjeng ibu.

"Oh di sini rupanya kamu ya Rif, sekarang kamu tidak bisa pergi kemana-mana lagi. Sini kamu." kata Daffa.

"Oh eh.... Ampun pak Daffa. Ampun." kata Arif yang memohon pada Daffa.

"Enak saja, kamu sudah mengerjai saya dan ini lihat kaki saya sakit tau nggak sih hah kamu. Sekarang akan saya hukum." kata Daffa yang akan menghukum Arif.

" Haduh kemana lagi ya aku mencari keberadaan Arif. Aku sudah mencari keliling rumah yang luasnya kaya Gelora Bung Karno (GBK) nggak ketemu, di cari ke tong sampah depan rumah juga sama nggak ketemu yang terakhir saya cari ke gorong-gorong juga sama nggak ketemu. Eh tunggu itu dia si Arif." keluh Paijo yang mencari keberadaan Arif.

"Maaf pak Daffa, saya hanya bercanda doang kok." kata Arif membela dirinya.

"Apa bilang cuman bercanda, wajah saya di siram sama orang kamu masih bilang cuman bercanda enak saja sekarang sini ikut saya." kata Daffa yang menjewer Arif.

"Aww.... Ampun pak Daffa, ampun.." kata Arif yang kesakitan karena dijewer oleh Daffa.

"Eh.... Eh.... Tuan papi.." kata Paijo menghentikan Daffa yang sedang menjewer telingga Arif.

"Kenapa Jo ?" tanya Daffa.

"Asalkan tuan papi tau ya kalau sebenarnya Arif itu.." jawab Paijo yang terpotong perkataannya oleh Daffa.

"Arif itu apa Jo ?" tanya Daffa lagi yang memotong perkataannya Paijo.

"Anak angkatnya kanjeng ibu, tuan papi." jawab Paijo.

Aku pun akhirnya membawa Arif pergi dari hukuman tuan papi. Sementara itu tuan papi mengajak diskusi kanjeng ibu agar membatalkan mengangkat Arif sebagai anaknya.

"Kenapa Daffa ?" tanya kanjeng ibu.

"Ngapunten kanjeng ibu, wonten ingkang kerso tanyakan. Kenging ?" tanya Daffa juga.

"Kenging Daffa, punapa punika ?"

"Punapa kasinggihan kanjeng ibu punika mundhut Arif dumados lare kanjeng ibu ?"

"Inggih kasinggihan kenging punapa emangnya Daffa ?"

"Ngapunten kanjeng ibu, punapa kenging ing ganti kemawon mawi abdi dalem ingkang liya kemawon kanjeng ibu ?"

"Keputusan saya tidak bisa di ubah Daffa."

"Nanging kanjeng ibu.."

"Tidak ada tapi-tapian."

Kanjeng ibu pun menolak saran yang diberikan oleh tuan papi. Sementara itu aku sudah selesai mendandani Arif seperti anak kecil dan tak beberapa lama kemudian datanglah seseorang yang bernama bu Amir.

Ternyata bu Amir lah yang ingin mengadopsi anak, akan tetapi bu Amir batal mengadopsi Arif sebagai anaknya. Karena bu Amir lah yang Arif tabrak tadi pagi.

"Oh ini yang mau mengadopsi anak ?" tanya Paijo.

"Iya.." jawab bu Amir singkat.

"Kalau boleh tau dengan siapa ya saya berbicara ?"

"Saya bu Amir, suami saya ketua rw di komplek ini."

"Oh kalau begitu saya panggilnya bu rw saja ya." kata Paijo.

"Terserah kamu saja. Oh ya bisa saya bertemu dengan kanjeng ibu ?" tanya bu Amir.

"Bisa, tapi.." jawab Paijo.

"Tapi apa mas ?"

"Tapi nanti ketika bertemu dengan kanjeng ibu itu harus sungkem terlebih dahulu maklum keturunan darah biru."

"Oh ya sudah tidak apa." kata bu Amir.

"Oke.." seru Paijo.

----

"Dedek jangan sembur-sembur ibu dong kalau makan nih lihat kotor kan kebaya ibu." keluh kanjeng ibu.

"Main bu, main...." kata Arif yang bertingkah seperti anak kecil.

"Main ? Kamu mau main apa ?" tanya kanjeng ibu.

"Kuda-kudaan." jawab Arif yang masih bertingkah seperti anak kecil.

"Kuda-kudaan nggak ada dedek."

"Hmm.... Nggak mau, pokoknya dedek mau main kuda-kudaan."

"Tapi.. Aha.... Daffa..." panggil kanjeng ibu.

"Inggih kanjeng ibu, enten menapa ?" tanya Daffa.

"Kesini sebentar." jawab kanjeng ibu.

"Oh nggih kanjeng ibu."

"Enten menapa kanjeng ibu ngaturi kula ?"

"Punika loh, si dedek kersa dolan sami panjenengan."

"Haaaa.... Dolan kanjeng ibu ?"

"Inggih, punapa boten kersa nggih ?"

"Kersa kanjeng ibu."

"Nuwun suwun minta maaf kanjeng ibu." kata Darmi.

"Nggih mi, enten menapa ?" tanya kanjeng ibu lagi.

"Ngapunten kanjeng ibu, ing ngarsa wonten dhayoh." jawab Darmi.

"Oh nggih, kamu sediakan minum dulu mi. Saya mau ngomong sesuatu pada menantu saya." kata kanjeng ibu.

"Nggih kanjeng ibu, nuwun suwun."

"Nggih, oh nggih Daffa."

"Nggih kanjeng ibu."

"Titip si dedek."

"Ha..... Ta-ta-tapi kanjeng ibu."

"Nggak ada tapi-tapian ingat ya sampai kamu tinggal si dedek, coret dari daftar warisan juga coret dari menantu jadi mantan menantu. Understand ?"

"Yes understand kanjeng ibu."

"Good...." seru kanjeng ibu.

Satu menit..

Dua menit..

Tiga menit..

Dan sepuluh menit sudah Paijo bersama bu Amir. Akhirnya kanjeng ibu datang juga.

"Kula menghadap kanjeng ibu." kata Paijo.

"Emm.... Oh ya jo mana tamunya katanya tadi ada tamu ?" tanya kanjeng ibu.

"Niki kanjeng ibu." jawab Paijo.

"Oh oke, sekarang kamu suruh Darmi bawa dedeknya kesini."

"Nggih kanjeng ibu."

----

"Mi, Darmi.." panggil Paijo.

"Nggih Jo, menapa ?" tanya Darmi.

"Di suruh kanjeng ibu untuk ajak si dedek ke ruang tamu sekarang." jawab Paijo.

"Sik.. Sik.. Sik Jo. Emange kanjeng ibu nduwe anak cilik ta ? Setauku cucunya kuwi wis gede." kata Darmi.

"Maksudnya den mas Dzaka dan Dzaki, mi ?" tanya Paijo.

"Nggih.." jawab Darmi.

"Bukan mi." kata Paijo.

"Loh kok bukan ?" tanya Darmi lagi yang kebingungan.

"Wis pokoke ajak dedek ke ruang tamu, sekarang dedeknya lagi main tuh sama tuan papi di ruang tengah."

"Nggih...." seru Darmi.

Sementara itu di ruang tengah tuan papi sedang mencari cara untuk terlepas dari Arif yang bertingkah seperti anak kecil.

"Ayo mas Affa main lagi." ajak Arif yang masih bertingkah seperti anak kecil.

"Apa tadi kamu bilang ? Kamu panggil saya apa barusan ?" tanya Daffa.

"Mas Affa.." jawab Arif yang masih bertingkah seperti anak kecil.

"Ih lepasin...." keluh Daffa.

"Nggak mau. Ayo main mas Affa."

"Nggak mau." tolak Daffa.

"Nanti aku bilangin kanjeng ibu loh."

"Bodo amat nggak takut wleek...."

"Nuwun suwun minta maaf pak Daffa."

"Punapa mi ?" tanya Daffa.

"Saya di suruh ambil dedek, mana ya pak. Katanya lagi main sama pak Daffa ?" tanya Darmi juga.

"Alhamdulillah. Untungnya kamu datang mi. Nih ambil nih.." jawab Daffa.

"Haaaa.... Ini pak Daffa ?"

"Iya ini, emang kenapa sih ?"

"Nggak papa."

"Ya sudah ini saya bawa ya."

"Iya sana bawa gih mi."

"Oke.." seru Darmi.

Darmi dan Arif datang menghadap kanjeng ibu untuk memberikan Arif pada kanjeng ibu, kemudian kanjeng ibu memperkenalkan Arif kepada calon orang tua angkatnya.

"Tunggu sebentar ya bu." kata kanjeng ibu.

"Iya kanjeng ibu." sambung bu Amir.

"Assalamu'alaikum." Darmi dan Arif memberikan salam.

"Wa'alaikumussalam." kanjeng ibu, Paijo dan bu Amir menjawab salam.

"Nyuwun sewu kanjeng ibu, niki anak angkatnya, nyuwun sewu kanjeng ibu kula kersa dhateng pawon." pamit Darmi.

"Oh nggih mi." kata kanjeng ibu.

"Nah ibu Amir, ini loh anak yang akan menjadi anak angkat ibu Amir, namanya dedek Arif. Dedek Arif.." kanjeng ibu memperkenalkan Arif pada ibu Amir.

"Iya kanjeng ibu." kata ibu Amir dan Arif bersamaan.

"Loh kamu kan.." kata bu Amir ketika melihat Arif.

*Flashback On*

"Habis antar kanjeng romo, aku tak servis mobil ah, mobilnya wis ra penak. Ealah Gendis telepon ada apa?" tanya Arif sembari sesekali menebak.

"Beli keju, chiki dan beberapa sayuran di pasar. Hehe.." kata bu Amir.

"Aaaa...." bu Amir teriak saat mobil yang di kendarai oleh Arif melaju dengan kencang.

"Ada ibu-ibu, waduh rem mobilnya gak bisa dan nggak bisa berhenti mobilnya piye iki, piye iki. Bu awas bu.. Awas.." kata Arif.

"Aaaa...." bu Amir dan Arif berteriak bersamaan.

"Waduh apa ada tuh ya?" tanya pak Bono.

"Salah Bono yang benar itu ada apa?" kata pak Bagas benarkan perkataan pak Bono.

"Iya itu maksudku." kata pak Bono.

"Iya dah.."

"Ya sudah kesana yuk." ajak pak Bagas.

"Ngapain gas?"

"Lihat kalau terjadi apa-apa kita kan bisa tolongin sekalian. Gimana sih gitu saja pake nanya segala."

"Oh iya ya. Ya sudah yuk kita ke sana."

"Yuk.." seru pak Bono.

"Haduh.. Hampir saja, eh tapi itu orang mati nggak ya?" tanya Arif.

"Mas.. Mas.. Mas.." panggil bu Amir.

"Waduh orangnya masih hidup." Arif ketakutan.

"Mas.. Mas.. Mas.."

"Tuh lihat ibu itu di tabrak sama orang."

"Yuk kita kesana yuk sekarang."

"Iya yuk kita sana dan kita tolongin."

"Mas.. Mas.. Mas.."

"Waduh ada warga, ibu itu panggil warga lagi, waduh bagaimana ini? Kabur...." Arif melarikan diri.

*Flashback Off*

"Kanjeng ibu.." panggil Paijo.

"Nggih jo." jawab kanjeng ibu.

"Bu Amir kenapa?" tanya Paijo.

"Nggak tau saya jo." jawab kanjeng ibu lagi.

"Maaf ya bu, bu Amir kenapa?" tanya kanjeng ibu.

"Oh jadi kamu yang menabrak saya tadi pagi. Saya sudah minta tolong sama kamu, kamu malah kabur. Bukannya menolong saya malah kabur. Tidak ada tanggung jawabnya, bagaimana nanti ketika saya sudah tua pasti nanti kamu juga tidak bertanggung jawab juga dengan mengurus ku di hari tua nanti." kata bu Amir yang menolak untuk mengadopsi Arif.

" Waduh itu kan ibu yang tadi pagi, mati aku. " kata Arif di dalam hati yang ketakutan saat bertemu dengan bu Amir di rumah pak Daffa.

Bu Amir tidak jadi mengadopsi Arif sebagai anaknya. Kemudian datanglah Gendis si tukang jamu kerumah pak Daffa dan yang membuat kami terkejut adalah Gendis berdandan seperti anak kecil sambil membawa boneka.

"Nggak, enggak.." kata bu Amir yang tidak jadi mengadopsi Arif.

"Yes.. Yes... Akhirnya.." Daffa kesenangan karena Arif tidak jadi di angkat sebagai anak oleh bu Amir.

"Ekhemm.. Akhirnya apa Daffa?" tanya kanjeng ibu.

"Akhirnya tender menang lagi kanjeng ibu, padahal mah saya senang kalau Arif tidak jadi di adopsi oleh bu Amir.

"Oh.." seru kanjeng ibu.

"Tunggu sebentar kanjeng ibu, saya izin bertanya sebentar saja pada bu Amir boleh?" tanya Paijo.

"Oh ya tentu saja pareng jo." kanjeng ibu mengizinkan Paijo untuk bertanya pada bu Amir.

"Maaf sebelumnya bu Amir, maksudnya enggak apa ya?" tanya Paijo penasaran.

"Maksudnya saya enggak mengadopsi Arif yang menabrak saya untuk menjadi anak saya. Mendingan saya cari anak yang lain saja hmm.* jawab bu Amir.

"Mama.. Mama.. Ini aku mah, anak mama." kata Gendis yang membuat semua yang ada di ruang tamu bingung.

"Itu siapa jo? Oh apa jangan-jangan kamu lagi ya rif bawa pacar ke rumah ini. Sudah tau peraturan di rumah ini tidak boleh ada yang membawa pacar sebelum menikah."

"Boten mangertos kanjeng ibu."

"Kula ugi boten mangertos kanjeng ibu."

"Ngapusi kanjeng ibu." kata Daffa.

"Boten kanjeng ibu, nanging menawi Arif, kula boten mangertos." Paijo menjelaskannya pada kanjeng ibu dan Daffa.

"Mami.. Mami.." panggil Gendis yang bertingkah seperti anak kecil.

"Ih.. Siapa sih, enggak kenal saya. Sudah lah saya mau pulang." keluh bu Amir.

"Ih.. Mami terus aku bagaimana?" tanya Gendis.

"Tau ah.. Saya pamit ya kanjeng ibu, mas Paijo, mari.."

"Nggih.." seru kanjeng ibu, Arif, Paijo dan Daffa bersamaan.

"Assalamu'alaikum." bu Amir memberikan salam.

"Wa'alaikumussalam." semua yang ada di ruang tamu menjawab salam.

"Terus ini siapa dong?"

"Eh sebenarnya kamu ini siapa sih?"

"Tunggu sebentar kanjeng ibu. Lah ini mah si Gendis."

"Gendis?"

"Nggih kanjeng ibu."

"Gendis si tukang gado-gado."

"Eh salah jo bukan tukang gado-gado."

"Emang salah ya mi?"

"Nggih jo."

"Terus yang benar apa mas jo?"

"Yang benar tukang gorengan."

"Itu juga sama saja Joya." keluh kanjeng ibu.

"Hehe.."

"Terus yang benar apa dong?"

"Ih tuan papi masa nggak tau sih, yang benar tuh tukang jamu."

"Nah iya itu benar."

"Yang benar adalah tukang jamu. Nah betulkan."

"Iya benar...."

Gendis pun akhirnya menceritakan semuanya pada kanjeng ibu, bahwa Gendis di suruh Darmi menjadi anak kecil agar bisa menjadi anak angkat seperti Arif.

You May Also Like
Table of Contents
Volume 1