Seandainya aku bisa memilih takdirku aku tak ingin hal seperti ini menimpaku. Penyesalan selalu datang belakangan. Nenek telah melakukan perjanjian pernikahan antara aku dan cucu calon suaminya bertahun silam. Saat itu ia berjanji akan menikahkan anaknya dengan anak adik calon kakekku saat ia sekarat dalam pangkuannya diantara hujan peluru dan gerimis yang berduka atas pembantaian manusia saat itu. Sayangnya setelah berpuluh tahun berlalu dalam kedua keluarga tak terlahir sepasang manusia. Saat itu kedua keluarga selalu melahirkan anak anak yang berjenis kelamin sama. Era saat ini terlahir sepasang manusia dari dua keluarga dan penantian nenek buyutku itu terbayarkan. Ia menetapkan pertunangan antara aku dan Ahi Sasongko sejak aku berusia lima tahun. Ahi seorang pemuda yang tak pernah kulihat itu seingatku adalah pemuda yang cemerlang dan memiliki kekayaan yang fantastis. Namun sayangnya ia seolah alergi terhadap pemberitaan, namanya sering muncul di media masa namun wajahnya selalu disamarkan. Kehidupanku sejak pertunangan itu menjadi terkekang, aturan ketat diberlakukan bagiku, bagaimana aku bersikap, cara pertemanan, dan yang paling menyebalkan adalah aku tak boleh akrab dengan laki laki. Ingatan itu melayang layang di pikiranku, saat kematian itu menjelang rasa sakit tak lagi menggangguku. Tubuhku menjadi kaku, tubuh yang dikaruniai Allah ini banjir darah karena luka tusukan pisau yang bertubi tubi. Aku tak mengira bila perilakuku yang menolak semua aturan yang telah kutaati sejak kecil akan berakhir dengan tutupnya usia diusia delapan belas tahun. Astagfirullah!!! setan seperti apa yang telah merasuki tubuh sahabat akrabku??? teganya ia menjebakku!. Hanya karena cintanya tak terbalaskan....ambisinya untuk menjadi nyonya Ahi Sasongko ia telah bertahun lamanya mengincarku. Sarwenda, betapa memalukannya dirimu! Seandainya Allah memberkatiku dengan kehidupan kedua aku akan berusaha yang terbaik bagi hidupku. Aku akan menjalani hidup yang diberikan Allah secara bermanfaat. Ya, Robb ku yang Maha Agung, Terkuasa diatas segala kuasa berikanlah restuMu agar aku bisa membenahi kehidupan yang kau berikan. Aku benar benar menyesal Ya Allah. Saat Yuna menyesali akhir hidupnya selarik cahaya menerpanya dan ia merasa tubuhnya menggigil, rasa sakit yang hebat mengiringi suhu dingin,Baa sebuah suara memanggil namanya. "Yuna...! Yuna ... putri Yuna... bangunlah nak". Seorang gadis tergeletak di atas batu hitam dipinggiran sungai. Tubuhnya membiru, ada beberapa luka tusukan belati ditubuhnya. Seorang lelaki duduk bersila disampingnya. Yuna adalah namaku Putri Yuna Nevada, nama pemberian nenek buyut yang begitu bahagia telah mendapat seorang pewaris perempuan yang berbeda jenis kelamin dengan cucu calon adik iparnya bertahun silam. Ia berkata kelahiranku akan menjadi jalannya untuk segera menghadap Yang Kuasa karena hutang janjinya dapat terbayarkan. Aku kadang diolok oleh kawan kawan dengan panggilan Princess Yuna. Menurutku panggilan itu tidak melecehkan jadi kuterima saja mereka memanggilku Princess Yuna. "What is in a name" kalimat itu cukup memotivasi ku untuk tidak tersinggung. " Buka matamu Yuna...kau harus bangun jangan kau turuti keinginan untuk tidur atau sia sia usahaku menolongku, mengangkat tubuhmu yang berat dari arus sungai yang deras dimalam dingin dan pekat seperti ini" suara itu terdengar kembali, Yuna mencoba membuka matanya, kalau ia ingin memperbaiki hidupnya ia harus hidup. Ia membuka matanya perlahan. Seorang lelaki berusia setengah abad menyambutnya dengan senyuman. "Akhirnya ' putri' tercinta ini bangun juga" ia mengelus jenggotnya yang mulai memutih. "Dimana aku?" Yuna memandang sekitarnya, ada hamparan batu hitam, suara riak air dan hembusan angin serta seorang lelaki berpakaian hitam dengan jenggot kelabu. Cahaya bulan menyinari tempat ia berada. " Katakan bapak apakah....aku sudah mati?' tanyanya ragu. Lelaki itu tersenyum. " Ya, kamu sekarang ada di neraka dan aku malaikat yang akan menghukummu ....."
Malam itu dering phonecell berulang kali mengganggu tidur Yuna. Ia berusaha mengabaikan panggilan yang berulang tersebut, Tubuh dan otaknya terlalu lelah bahkan untuk menggerakkan jemari tangannya. Ia bekerja seperti kerbau sejak setengah bulan lalu. Yuna bertekat untuk menyelesaikan skripsinya sesegera mungkin. Ia harus mengikuti wisuda gelombang selanjutnya setelah gagal pada wisuda periode Januari. Yuna telah memutuskan untuk tidak berkomunikasi dengan kawan kawannya dengan Sarwenda sekalipun. Sayangnya ia lupa untuk mematikan hp sehingga ditengah tidurnya gangguan itu datang. Dengan malas ia meraih hp di sampingnya.
" Assalamualaikum, dengan Yuna disini' ia menjawab secara formal.
" Yuna, ini Mama" suara lembut seorang wanita menjawabnya. Yuna meringis malu mendengar suara ibunya namun ia merasa senang mendengar suara yang sangat dirindukannya.
" Mama... duuuh senengnya Yuna dengar suara indah ini" kalimat itu keluar dengan cepat dari bibir tipisnya.
" Tak perlu basa basi Yuna. Anak manja ini harus segera pulang" balas Mama.
"Tapi ma... Yuna sedang kejar target. Yuna harus selesaikan tugas skripsi Yuna Minggu ini" jawabnya.
Ma mengeluh pelan suara nafasnya terdengar sesak.
" Mama.... ada apa toh? kok mendadak suruh Yuna pulang?"tanyanya ingin tahu.
" Ada masalah dengan nenek buyutku, segeralah berkemas besok pagi akan ada yang menjemputmu"
"suara Mama terdengar agak parau pastilah kesehatan nenek buyut menurun" pikirnya. Yuna segera turun dari ranjangnya dan mulai memilah pakaian yang akan ia bawa untuk pulang kampung.
Pagi sekali jemputan telah datang, Yuna masuk ke mobil yang dikendarai oleh adik sepupunya Alvin.
"Kak Yuna... selamat pagi Princess" ia mengisyaratkan salutation gaya Pramuka. Yuna tertawa kecil meninju pundak saudara nya dengan lembut.
"Eneng opo toh, Vin? Kak Yuna disuruh pulang dadakan seperti ini" Alvin menggeleng ia kemudian menstarter mobil tanpa membalas pertanyaan Yuna
" Nenek buyut sakit parah?" tanya Yuna. Alvin menoleh kearahnya, ia tersenyum miris. " Begitulah....seperti biasa kak Yuna adalah obatnya" jawab Alvin pelan. Mobil melaju dijalan yang mulus, suara angin semilir mewarnai pagi, ada beberapa orang yang sedang berlari pagi, beberapa anak kecil bermain sepatu roda disekitar taman kota. Langit pagi itu diwarnai warna jingga dan beberapa larik warna kuning menghiasi langit yang biasanya berwarna hitam keabu abuan.
" Kasih tahu Kak Yuna, Alvin. Apa yang terjadi di rumah" tanya Yuna memecah kesunyian diantara mereka. Alvin mengerenyitkan dahinya, " Itu loh Kak Yuna, nenek buyut memaksa Mamamu agar sesegera mungkin menyelenggarakan pesta pertunangan yang sebenarnya karena usia kak Yuna sudah memungkinkan untuk itu" jawabnya sambil tetap memusatkan perhatian pada jalanan yang semakin ramai. Sebentar lagi mereka akan melewati beberapa belokan yang cukup tajam dan memerlukan konsentrasi untuk melaluinya. Alvin pastilah sangat lelah karena semalaman berkendara. Kampung mereka memerlukan waktu delapan jam perjalanan. Mereka harus melewati beberapa belokan tajam dimana dibawahnya telah menanti jurang yang siap menyantap orang atau kendaraan yang ceroboh. Yuna menghela nafas panjang.
'"Vin, kamu sudah sarapan belum?"
" Belum kak, soalnya Uwak ingin kita segera sampai dirumah".
" Ealaaah, Alvin... kalau perut kosong sama juga bo'ong. Berhenti sebentar di restoran kecil itu. Kakak juga belum sempat sarapan, jangan sampai kita lupa sarapan cowoq bodoh..." Yuna menjewer telinga Alvin. Alvin tertawa kecil menerima perlakuan yang memanjakannya. Ia tahu benar sifat saudara sepupunya itu. Seorang gadis cantik, yang tegas namun ramah. Ia segera meminggirkan mobil kesisi halaman sebuah rumah makan. Mereka bergegas menuju rumah makan tersebut. Saat itu Yuna sedang membetulkan tali sepatunya yang terlepas dan hendak berdiri ketika seseorang menabraknya dari belakang. Ia terjatuh dan orang tersebut berlalu tanpa menolong atau meminta maaf darinya. Wajah Yuna menjadi merah padam ia bangkit dan mengejar orang tersebut.
"Hey, kamu! jalan lihat lihat dong!" suaranya terdengar kasar dan gadis itu menarik kerah orang tersebut. Seorang pria yang sangat tampan menoleh kearahnya, ia mengibas tangan Yuna yang memegang kerah jaketnya.
" Salahmu menghalangi jalanku" suaranya pelan namun terdengar seksi. Matanya menatap dengan sorot mata merendahkan. Yuna mengepalkan tinjunya, matanya melotot kearah pria itu. Ia mencibir mendengar suara arogan itu. Dengan berkacak pinggang ia memuntahkan makian.
" Bagus sekali kalimat mu...
apa jalan ini punya nenek moyangmu?!"
" Apa peduliku dengan kepemilikan jalan, yang jelas kamu sudah berdiri semaumu diarah jalanku" jawab pria itu menatap kearah Yuna. Wajahnya sangat tampan, bentuk tubuh yang atletis, kulit warna tembaga yang eksotis dengan tinggi diatas 180 centimeter benar benar sebuah pemandangan yang patuh untuk disyukuri. Namun saat itu Yuna sedang tidak tertarik untuk mengagumi ciptaan Allah yang luar biasa indah teresebut.
" Minta maaf dengan tuan putrimu ini" tegas Yuna. Lelaki tersebut manatapnya ada peningkatan aura kesombongan dirinya saat ia menyadari seorang bidadari sedang marah kepadanya. "Seorang gadis cantik adalah racun" pikirnya. Ia melengos tak perduli, melanjutkan langkah menuju rumah makan.
" Hei .. apa kamu tuli? apa kau pikir dengan wajahmu itu kau bisa berbuat semaunya?!" sembur Yuna dengan suara melengking.
" Apa maksudmu? ada apa dengan wajah ku?" lelaki muda itu menghentikan langkahnya. Alvin bergegas menuju kearah merek berdua. Wajahnya terkejut setelah melihat dari dekat siapa yang telah mengganggu princess Yuna. Ia samar samar mengenali Ahi Sasongko. Alvin menepuk keningnya tertawa kecil dan menghampiri sepupunya.
" Sudah Yuna... aku dah lapar... jangan dipermasalahkan" katanya menarik tangan Yuna. Lelaki itu tertawa lebar memasukkan kedua tangannya kesaku jaketnya. Pagi itu udara begitu dingin dan gadis itu sangat menyebalkan.
" Uuuuh... semua gadis sama saja. Norak!" gerutunya.
Selesai sarapan kedua bersaudara segera melanjutkan perjalanan mereka. Setiap lima menit ada panggilan dari mama Yuna, sehingga mereka seolah diburu untuk menuju rumah mereka.
"Akhirnya .... disinilah kita dirumah keluarga tercinta" ujar Alvin membukakan pintu mobil untuk Yuna. Diteras rumah mereka disambut kedua orang tua Yuna dan paman Adnan papanya Alvin. Mama memeluk Yuna dengan haru.
"Ma...udahan meluknya. Papa juga pingin peluk si jelita kita" suara papa mengganggu acara rindu bertemu rindu ibu dan putrinya.
" Eleh... papa... nih anakmu" ujar mama sambil menghapus air mata nya maklum mereka hanya punya seorang anak.
Setelah acara sia kembali tersebut mereka menuju keruang tamu, dimana telah menunggu nenek buyut yang duduk di kursi roda.
" Ayo sini cicit uyut tercinta" suara wanita tua itu bergetar. Ia memeluk cicitnya lembut, ada butiran bening menggenang di kedua mata nya.
" Uyut.... ga bisa menahan diri untuk memberi tahu Yuna kalau hari ini tunanganmu akan datang" suara nenek buyut lembut namun bagaikan petir yang membelah bumi bagi Yuna. Saat Yuna sedang terkesimah dengan ucapan Uyutnya sebuah mobil memasuki halaman rumah.
" Ia sudah datang" kata Papa dan Mama berbarengan.
" Siapa ma?" tanya Yuna. Ia melihat seseorang keluar dari mobil tersebut dan dia adalah barbarian dirumah makan tadi.
"Dia Ahi Sasongko, tunanganmu" jawab Alvin berbisik disampingnya.