Senyum lebar terpatri di bibir gadis yang mengenakan sweater pink bergambar beruang, dan celana jeans warna putih. Rambut lurus sebahunya ia biarkan tergerai--kepalanya tertutup beanie warna hitam. Tangannya bergerak mengeratkan tas di punggung. Ia menatap gedung besar di hadapannya dengan mata berbinar. Akhirnya … dia benar-benar menjadi salah satu wahasiswa di Universitas New York. Mimpinya menjadi kenyataan. Tidak mudah untuk bisa lolos menjadi mahasiswa di Universitas sebesar NYU. Kerja keras Moa belajar siang, dan malam terbayar sudah. Ia menghela nafas sebanyak mungkin. Oxygen kota New York. Dengan langkah pasti, Moa memasuki halaman luas kampus sastra tempatnya akan menimba ilmu selama 4 tahun ke depan. Mata gadis itu memindai seluruh tempat yang dapai ia jangkau. Dia belum memiliki satu pun teman di tempat itu. Ia merasa sedikit gugup. Terlihat wajah-wajah asing dari berbagai negara. Ia mencoba mencari wajah-wajah dataran Asia. Tarikan di tas punggung yang ia bawa, membuat langkah kaki Moa terhenti. Dengan cepat, gadis itu menoleh kebelakang--waspada. Mata Moa membulat sempurna, lalu beberapa detik berikutnya mata itu mengerjap. Bibirnya mencebik saat mendapati seseorang yang sedang tersenyum lebar di hadapannya.
"Ngapain kamu di sini ??" tanya Moa dengan mata memicing tajam. "Jangan-jangan kamu beneran ngikutin aku, ya??" Moa menunjuk wajah pria itu. "Ayo ngaku!!" seru Moa dengan wajah galak. Namun si cowok hanya mengeluarkan suara decakannya.
"Pikiran kamu itu neting melulu. Kenapa sih, selalu berprasangka buruk?" kesal cowok itu, lalu berjalan melewati Moa begitu saja. Tentu saja ia kesal. Sangat kesal malah. Apa wajahnya benar-benar terlihat seperti orang jahat? dia sendiri tidak tahu akan kembali bertemu dengan gadis menyebalkan yang ia temui di bandara. Gadis yang selalu berpikiran buruk terhadap dirinya. Dia hanya berusaha bersikap baik dengan sesama orang dari Indonesia, tapi tanggapan yang ia dapat justru sebaliknya.
"Hey … tunggu Iqi … tunggu." Moa berlari menyusul Iqi yang sudah berjalan cukup jauh. Setelah Moa pikir-pikir, tidak ada salahnya ia bersikap baik terhadap Iqi. Paling tidak, ia punya teman di kampus yang besar itu. Bayangkan, kita berada di kampus dengan begitu banyak siswa, namun tak satu pun kita kenal. Rasanya seperti … orang hilang. Dan Moa tidak menyukai perasaan itu.
"Tunggu dong, Qi… "Moa menarik lengan Iqi hingga pria itu berhenti melangkah. Iqi menolehkan kepala, menunduk untuk bisa menatap mata Moa.
"Aku nggak lagi ngikutin kamu Mo. Aku ke sini untuk kuliah." Mata Moa mengerjap. Ia bisa melihat wajah kesal Iqi. Seketika ia merasa bersalah. Setelah semua yang Iqi lakukan, ia justru masih mencurigai pria itu.
"Maaf… "Moa menampakkan wajah memelasnya. Tapi kali ini Moa bersungguh-sungguh. Ia memang merasa menyesal. Ia sudah bertindak tanpa berpikir panjang. Iqi mendesah. Ia melepaskan cengkeraman tangan Moa di lengan kanannya.
"Sudahlah … sana kalau kamu mau cari teman. Noh … di sana banyak cewek-cewek bule. Sana kenalan dulu." Dagu Iqi mengedik ke arah sekumpulan cewek-cewek berambut pirang. Moa memberengut. Ia tidak mungkin tiba-tiba langsung nimbrung di tengah obrolan mereka, padahal tak satu pun dari mereka yang Moa kenal.
"Nggak ada yang kenal," keluh Moa sembari mengamati mereka satu per satu. Seberapa lama pun ia amati, tetap saja tidak ada yang berubah menjadi wajah yang ia kenal.
"Qi … kita kan teman. Ya … ya … ya… "Moa mengedip-ngedipkan matanya ke arah Iqi hingga membuat pria itu akhirnya tertawa. Wajah lucu Moa, membuatnya tidak tahan. Tangannya mengetuk pelan kepala Moa yang tertutup Beannie.
"Yakin, kita teman?? Bukannya aku lagi ngikutin kamu?" Iqi menunduk, menatap Moa yang sedang menyengir dengan kedua alis terangkat tinggi.
"Yakin!!!" kepala Moa mengangguk kuat. Ia tidak mau kehilangan teman kali ini. Lebih tepatnya tidak ingin seperti anak ayam yang kehilangan induknya di kampus sebesar itu.
***
"Qi … kamu udah pernah jalan-jalan ke times square?" tanya Moa setelah menelan gigitan roti di tangannya. Mereka berdua sedang berada di kantin kampus. Menikmati makan siang. Kepala Iqi mengangguk. Mata yang tidak terlalu lebar itu berbinar melihat anggukan kepala Iqi. Dia sudah lama memimpikan pergi mengunjungi times square, dan Moa rasa keputusannya berteman dengan Iqi adalah keputusan yang tepat. Ia bisa mengajak Iqi pergi menemaninya ke times square, dan juga tempat lainnya.
"Memang beneran ini pertama kalinya kamu ke New York?" tanya Iqi. Dia memang sudah menebak, melihat gelagat Moa di Bandara.
"Hu um … pertama kali ke luar negeri." Moa memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"Pantas kamu terlihat kayak orang udik." Moa menatap sinis satu-satunya teman yang kini ia miliki. Dalam hati ia ingin memaki Iqi, tapi sayang ia khawatir pria itu akan meninggalkannya sendiri, kalau ia kembali membuatya kesal. Iqi mengamati perubahan raut wajah gadis di hadapannya. Ia tahu sudah keterlaluan mengatai Moa udik. Ia pikir gadis itu akan membalas lebih sengit seperti biasanya, namun ternyata kali ini tebakannya salah. Gadis itu hanya menatap sinis, tapi bibirnya terkatup rapat.
"Kamu mau ke times square?" Iqi yang merasa bersalah, akhirnya menawari Moa pergi ke tempat yang ditanyakan gadis itu. Moa langsung menegakkan tubuh. Kapalanya mengangguk dengan senyum lebar. Iqi terkekeh. Wajah imut Moa dengan segala tingkahnya, menjadi hiburan tersendiri untuknya. Gadis di depannya benar-benar terlihat masih sangat lugu.
"Mau banget. Temenin ya, Qi… "Moa mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. Matanya mengerjap menatap penuh harap pada Iqi. Iqi tertawa. Anggukan kepala pria itu membuat mata Moa semakin menyipit kala bibirnya mengulas senyum lebar.
"Sabtu aku jemput di flat kamu. Kita berangkat pagi. Kamu harus sudah siap jam 8 pagi. Ingat itu." Seperti seorang guru yang sedang memberi tugas kepada muridnya, Iqi menatap lurus Moa. Tentu saja Moa setuju. Jam berapa pun ia pasti akan siap.
Moa merasa hidupnya penuh keberuntungan. Di tengah-tengah kota besar yang belum pernah ia datangi sebelumnya, ia dipertemukan dengan Iqi. Cowok yang dari saat keberangkatan sempat membuatnya takut itu, sekarang berubah menjadi satu-satunya orang yang ia syukuri keberadaannya. Keberuntungannya belum berhenti sampai di situ. Iqi juga ternyata berada satu kampus dengannya. Bukankah ia sangat beruntung? Dia tidak merasa sendirian di kampus besar itu. Sembari ia mulai berkenalan dengan satu per satu teman satu kampusnya, ia sudah memiliki Iqi. Cowok 17 tahun itu ternyata sudah beberapa kali liburan ke kota New york, hingga ia berjanji akan mengajak Moa berkeliling kota itu. Ia akan memandu Moa keliling tempat-tempat wisata di kota itu, tapi Moa harus membayar jasanya. Begitu kata Iqi yang membuat pria itu mendapatkan cubitan di lengan.
"Masa sama teman mau minta bayaran," sungut Moa tidak terima. Iqi tertawa. Mereka sedang berjalan keluar kampus.
"Bercanda Mo. Gitu aja marah." Iqi berlari kecil ketika matanya menangkap kedatangan sebuah Bus. Ia menoleh sejenak ke belakang.
"Ayo Mo … bus nya datang. Cepetan." Moa bergegas berlari menyusul Iqi yang sudah kembali menjalankan kaki panjangnya. Tangan pria itu bergerak melambai ke arah Bus.
"Wait … wait …!!!" Iqi berteriak. Bus yang semula sudah mulai berjalan itu, perlahan kembali berhenti. Sepertinya sang sopir mendengar teriakan Iqi, kemudian melihat mereka dari spion. Iqi kembali menoleh ke belakang. Meminta Moa untuk lebih cepat berlari. Mereka berdua tertawa menuju Bus.