Moa masih terpaku di depan kamar flat bernomor 33A-1 tersebut. Setelah sibuk mengaduk tas hanya untuk mendapatkan catatan tentang nomor Flat yang sudah ia bayar. Ingatannya tidak salah. Nomor flat yang akan ia tempati benar 33A-1, hanya penghuninya saja yang Moa rasa salah. Seharusnya penghuni Flat itu perempuan, 19 tahun bernama Joan. Tapi kenapa justru Chris Evan muda berambut hitam yang ia temui? Moa mendongak, kemudian menunjukkan catatan di tangan nya. Dengan terbata-bata karena rasa gugup, ia mengatakan bahwa seharusnya penghuni flat itu seorang gadis bernama Joan.
"Aku tidak salah, kan?" tanya Moa dengan mata mengerjap menatap pria di hadapannya. Mimpi apa ia semalam hingga melihat pemandangan indah yang tak seharusnya ia lihat. Moa rasa, matanya sekarang sudah tidak perawan lagi.
Noel mengernyit melihat gadis mungil yang terlihat seperti boneka di depan mata. Kulit wajahnya putih memerah karena kedinginan, meskipun hampir seluruh tubuh gadis itu tertutup rapat. Hanya kepala, dan ujung jari tangan yang terlihat. Matanya mulai mengamati dari ujung kaki yang tertutup sepatu Boot kulit hitam setinggi betis, celana panjang hitam, jaket padding merah yang ia kancing sampai ke ujung teratas hingga menutup dagu. Kepala gadis itu mamakai topi beret dari bahan wool berwana merah, namun masih memperlihatkan panjang rambut sebahu, dan poni lurus.
"I-ini … alamat ini benar di sini, kan?" Moa kembali bertanya ketika masih tidak mendapatkan jawaban dari pria yang justru sedang mengamati penampilannya. Moa menunduk, memperhatikan penampilannya sendiri. Tidak ada yang salah dengan penampilannya. Ia mendesah. Tanpa sadar bibirnya sudah maju beberapa centi karena kesal, membuat tawa Noel meledak saat itu juga.
"Jo … ada boneka lucu di sini," teriak Noel sembari memutar kepala ke belakang. Mata Mo langsung melotot. Tengah bibirnya tertarik ke atas. Ia kesal dengan tingkah pria yang menurutnya tidak punya sopan santun itu. Bagaimana bisa dia membuka pintu tanpa memakai baju. Moa langsung memalingkan wajah begitu menyadari kesalahannya yang malah memperhatikan dada pria itu … lagi. Moa meringis, merutuki dirinya sendiri.
"Oh … kamu pasti Amoa, ya?" suara lembut seorang wanita membuat Moa kembali menoleh. Ia mendongak dengan mulut setengah terbuka. Di hadapannya, seorang wanita yang mungkin tingginya 175 cm, cantik dengan ramput pirang panjang. Tapi sayang, sepertinya wanita itu juga tidak tahu sopan santun. Ia menemui tamu dengan hanya memakai pakaian tidur yang panjangnya bahkan tidak menutup setengah paha panjang wanita itu. Moa bergidik. Ia membayangkan reaksi kedua orang tuanya. Bola mata mereka pasti akan langsung menggelinding jika saja mereka berada dalam film kartun, saat mendapati penampakan wanita seperti itu.
"Ayo … masuk." Joan menggeser tubuh tinggi kekar Noel ke samping, lalu meraih pegangan salah satu koper milik Moa dan membawanya masuk.
"Bantuin dong, Noe… "pinta Jo sebelum gadis itu lenyap dari pintu depan. Moa menarik satu koper besar, sementara satu lagi akhirnya dibawa masuk oleh pria yang Jo panggil Noe. Moa mengedarkan mata memperhatikan ruangan yang dilewatinya.
"Sini … kamar kamu di sini." Jo terlihat melambaikan tangan. Gadis itu sedang berdiri di ambang pintu sebuah kamar. Moa mengangguk, kemudian mendekat. Joan meminta Moa masuk ke dalam kamar. Sebuah kamar yang tidak terlalu besar, namun cukup nyaman untuk Moa. Sudah ada lemari, bed, dan juga satu meja yang bisa Moa pakai. Moa mengucapkan terima kasih.
"Kalau perlu apa-apa, bilang saja ya. Nanti aku bantu," ucap Joan dengan senyum, sebelum membiarkan teman satu flat nya beristirahat. Joan mendorong tubuh besar Noel keluar kamar Moa. Dia tidak ingin Noel yang terbiasa iseng, mengganggu gadis yang terlihat begitu lugu di matanya. Joan sadar bagaimana Moa menatapnya. Dia yang juga orang Indonesia pasti paham perbedaan budaya, cara berpakaian orang timur, dan barat. Dia yang sudah 2 tahun tinggal di New york, sudah terbiasa dengan pakaian yang serba kurang bahan. Bukan hal aneh di tempat mereka tinggal sekarang, bahkan dilingkungan sekolah pun. Terutama ketika musim panas.
Moa menghela nafas begitu tangannya sukses menutup daun persegi di depannya. Ia berbalik, menatap ketiga koper besar yang sudah memanggil untuk segera dibuka. Moa menyemangati dirinya sendiri. 'Ayo merapikan pakaian … teriak Moa dalam hati.' Kaki Moa melangkah menghampiri ketiga koper, lalu membungkuk untuk kemudian membuka dan mengeluarkan isinya. Menata pakaian masuk ke dalam lemari yang sudah tersedia. Beberapa sepatu, Moa letakkan di samping bawah lemari, sementara 2 tas punggung ia gantung.
***
Hampir 1.5 jam Moa baru bisa keluar kamar setelah berjibaku dengan isi 3 koper yang ia bawa dari Indonesia, serta membersihkan diri. Ia bersyukur kamar yang ia tempati memiliki kamar mandi dalam meskipun tidak besar. Tapi, paling tidak ia merasa sedikit lebih memiliki privasi. Ia tidak bisa membayangkan berbagi kamar mandi dengan Joan, dan juga lelaki yang entah memiliki hubungan apa dengan gadis itu.
Mata Moa langsung membelalak begitu kakinya sampai di ambang ruang tamu. Di sana, kedua orang yang baru ia temui sedang beradu mulut. Moa menjerit, kemudian membalik tubuh serta menutup kedua mata dengan telapak tangan. Sementara kedua orang yang sedang asyik berciuman itu mendesah karena harus menghentikan apa yang sedang mereka nikmati. Noel mengumpat kasar, ia menatap tidak percaya gadis yang baru saja meruntuhkan kebahagiannya.
"What the hel* are you doing?!!" Joan beranjak dari pangkuan Noel kemudian berjalan mendekati Moa. Gadis itu masih belum membalik tubuhnya. Ia menyentuh pundak Moa hingga pemilik pundak berjengkit karena kaget.
"Hey … kamu sekarang sedang ada di Amerika. Amerika Moa." Joan menekan kata 'Amerika' dengan nada kesal yang kentara. "Kamu bahkan akan melihat orang berciuman di jalan. Apa kamu akan menjerit-jerit seperti tadi, dan membuat semua orang memandangmu aneh?" Moa membuka mata. Jantungnya masih berdegup begitu kencang. Tentu saja ia kaget. Seharusnya mereka melakukannya di tempat yang tidak terlihat orang lain. Moa membalik tubuhnya dengan muka tertekuk. Bibir gadis itu memberengut.
"Apa tidak bisa kalian melakukannya di kamar saja?" keluh gadis lugu itu.
"Apa kamu akan meminta itu pada semua orang yang tinggal di Amerika?" balas Joan dengan pertanyaan. Membuat Moa semakin kesal. Apa benar ia akan melihat orang berciuman di jalan? Apa mereka sudah tidak punya rasa malu lagi?
Di tempatnya duduk, Noel mengamati kedua gadis yang sedang sedikit berdebat. Ia bisa menebak seperti apa gadis yang baru ia temui itu. Gadis itu pasti golongan yang masih suci. Belum tersentuh. Dia bisa menebak dari reaksi sang gadis saat melihat mereka berciuman. Ia beranjak, kemudian berjalan mendekati keduanya. Noel merangkul bahu Joan.
"Seharusnya kamu tidak datang ke sini." Noel mengamati wajah di hadapannya sembari menunduk, mengingat perbedaan tinggi mereka yang cukup kentara." Siapa tadi nama kamu?" tanya Noel yang dibalas decakan kesal Moa.
"Amoa … Mo. Mereka memanggilku Mo."
"Kamu tidak berhak melarangku ke sini. Kalian saja yang tidak punya rasa malu." Moa menatap tajam cowok di hadapannya yang justru malah terkekeh. Dengan cepat Noel menoyor dahi Moa.
"Kamu salah tempat, Mo. Seharusnya kamu perginya ke Arab kalau tidak ingin melihat orang bebas berciuman." Moa memberengut. Kakinya menghentak-hentak sembari berjalan cepat menjauhi Noel dan Joan yang tertawa melihat tingkah gadis tersebut.
"Dia lucu, kan?" Noel terkekeh sembari menatap punggung Moa hingga menghilang. sepertinya dia memiliki hiburan baru.