webnovel

Pertemuan Yang Terpaksa

Malam semakin larut. Suasana rumah amat hening. Cuma terdengar suara jangkrik, dan sama sekali tidak terdengar deru kendaraan melintas. Udara belum terlalu dingin juga. Mungkin langit-langit malam masih memproses butir-butir embun untuk diturunkan ke bumi membawa serta udara dingin.

Jam di smartphoneku sudah menunjukkan pukul 23.48 WIB. Aku masih terjaga di dalam kamar, mendengarkan musik-musik manca favoritku di spotify melalui headset yang kujejalkan di kedua telinga, sembari berkutat di depan laptopku mengerjakan pekerjaan yang tidak seharusnya kuselesaikan malam ini.

Ada pesan masuk via whatsapp. Tidak ada nama.

"Malam." Isinya

"Hadeuh... Ini mesti cowok nih liat tampilan wa nya model begini. UUD! Ujung-Ujungnya Diajak kenalan." Gerutuku dalam hati.

Sejujurnya, aku sudah amat sangat sering menerima pesan seperti ini dari berbagai sosmed dan honestly aku enggan menanggapi. Terlalu bertele-tele dan kurang gentlemen menurutku, hahaha.

Kadang aku tuh bingung, kenapa kebanyakan lelaki di luar sana lebih suka mengajak kenalan via PM, WA apalah.. Lewat perantara sosmed! Sejujurnya aku akan lebih respect kalau mereka itu memperkenalkan dirinya secara langsung dan dengan cara yang tidak aneh atau sopan. That's better. Atau jangan-jangan, akunya yang terlalu freak untuk diajak kenalan langsung? Euh~!

Aku balas WA mr. X ini, "selamat malam ada yang bisa saya bantu?" Of course aku ga akan ke-GR-an dulu. Siapa tau ini customer rada-rada pusing gitu mau nanya produk kantor jam segini?

"Iya mbak maaf sebelumnya WA jam segini. Saya mau pesan sambal kemasannya untuk besok apa bisa?" Aku mendelik baca balasan mr. X ini. Untung ga aku balesin ketus.

"Bisa. Mohon maaf ini dengan siapa dan dikirim kemana? Sama berapa pcs ya? "

2 menit kemudian, "ini dengan Bapak Toni dikirim ke Dodikjur arah Perum Sawojajar ya mbak. Pesan 100 botol bisa? Besok saya tunggu habis solat dzuhur di depan gerbang. Pembayarannya saya transfer sekarang. Tolong info rekeningnya."

Mataku terbelalak! "100 botol?! Sambel dilaunching belum ada 2 minggu udah sold 100 botol? Memang! Bener kata bosku. Bisnis kuliner sekarang memang menjanjikan. Karena semua kalangan bisa menyerap." Tanpa banyak cincong aku iyakan pesanan atas nama Bapak Toni di Dodikjur itu.

Esok harinya, aku mengajukan pembelian sesuai data yang semalam kudapat ke bagian pengiriman dan menyetorkan bukti transfernya ke nomor Pak Bos yang sedari pagi terlihat sumringah. Penjualan minggu ini tembus 500 botol sambal Mak E terjual.

Seperti biasa aku mengerjakan rutinitas kantorku. Ketika aku mengecek WA ada pesan masuk dari Pak Toni. "Terimakasih mbak pesanannya sudah saya terima. Tapi kok yang ngantar kurir?" Yudi menghampiriku ketika aku hampir mengetik huruf pertama di hapeku.

"Nas, gile.. Kamu dapet dari mana pelanggan senewen kayak gitu?" Aku heran mendengar keluhannya, "siapa?"

"Pak Toni. Masa... Dia marah-marah aku nganter sambelnya." Tukas Yudi sambil bibir khasnya monyong semonyong-monyongnya. Sesekali dia mengusap rambut kribonya bau khas pomade rambut.

"Sambelnya kenapa? Gak cocok? Apa gimana sih? Yang jelas dong Nyud.. Nyud.. "

"Bukan cocok gaknya! Doski keukeuh dikira kamu yang anter. Udah aku jelasin di sini itu kerjanya udah ada bagiannya sendiri-sendiri. Dia gak percaya Nas! KTP ku disita sama dia."

"Hah? Lah gimana ceritanya KTP disita? Terus akhirnya gimana?" Aku terperanjat mendengar curhatan si Yudi. Yudi membalikkan badannya sembari melepas jaket dan tas selempangnya lalu melemparkan ke kursi tempat dia bekerja.

"Yah disita lah.. Kamu deh tolong ambilin. Emang sih aku yang salah tadi pake nyolot. Udah dibilangin tiap pegawai beda-beda kerjaannya. Aku kurir kamu kerja indoor ngerjain SU... SU.. apa sih?" Katanya menggaruk kepala. "Sa! Su! Sa! Su! SUE ORA JAMU! SEO Nyud?!" Selorohku.

"Yo iku pokoke lah.. Mumet ndasku. Gampanglah bensinmu nanti aku ganti. Pokok KTPku balik. KTP baru aja ngurus baru jadi.. Udah disita-sita aja. WA in orangnya tar kamu ambil." Yudi mukanya auto kusut. Kasihan.. Aku jadinya merasa bersalah.

Seketika itu aku kirim pesan WA ke Pak Toni si biang kerok. Yang kuherankan, kenapa keukeuh dia memintaku mengirimnya? Ini era e-commerce! Era onlineshop! Dimana marketing, SEO dan kurir itu udah beda-beda bagian pekerjaannya. Mungkin cuma orang tua macam Pak Toni yang tidak mengetahui hal semacam ini. Setelah kukirim pesan melalui WA tidak ada balasan. Hanya laporan dibaca.

Pukul 16.45 aku tiba di Dodikjur. Sebuah lokasi markas TNI AD yang sangat luas. Bernuansa hijau, putih dan hitam. Di bagian depan dalam gerbang terdapat pos yang dijaga beberapa orang tentara yang sedang bertugas. Ada salah seorang berdiri mematung mengenakan helm dan sepucuk senapan mengalung di lehernya. Aku menghampiri salah seorang tentara yang duduk di balik pos penjagaan. Bapak-bapak setengah baya berbaret hijau tua lengkap dengan atribut menempel di sekujur dada kanan dan kirinya.

"Maaf pak, selamat sore. Apa di sini ada yang bernama Bapak Toni? Tadi siang beliau pesan sambal via kurir." Tentara setengah baya itu kuketahui bernama Nurdin. Badannya sedikit gemuk dan berkulit langsat. "Toni? Di sini siapa Toni? Sulthoni ada. Toni gak ada mbak. Ada apa mbak?" 3 orang laki-laki berbaju doreng tanpa baret lainnya menggelengkan kepala. "Hmmm.. Kalau pak Sulthoni apa masih ada di sini? Soalnya saya mau ambil KTP teman saya tadi diambil sama orangnya pak."

"Pak Sulthoni tadi ada di kantin mbak. Tempatnya lurus aja dari sini, ada perempatan setelah tiang itu, belok ke kiri. Tadi sih tapi coba aja. Siapa tau masih." katanya seraya memberi arahan jalan.

Seketika itu aku mengucapkan terimakasih. Aku dibuat setengah mati kaget ketika dibelakangku kudengar "DOR!" Nyawaku serasa mental setinggi lutut. Si tukang DOR itu ternyata Sultan yang tempo hari kukira sopirnya Mas Bowo. Aku terperangah, speechless, kaget melihatnya kemarin di rumahku dan sekarang ada di depanku dengan DOR sebagai kata pertamanya.

Tenggorokanku serasa tercekat. Dia menggiringku menjauhi teman-temannya. "Hai Nashwa. Kamu nyari Pak Toni? Nih.. Pak Toni udah di sini." katanya sembari senyam senyum menepuk dada. Dia berpakaian seragam doreng sama seperti bapak-bapak di pos penjagaan tadi. Hanya yang membedakan dia lebih santai. Mungkin sedang tidak ada jadwal berjaga atau entahlah..

"Pak Toni..? Sulthoni? Sultan?" aku masih kebingungan. Perkiraanku Pak Toni itu laki-laki separuh baya yang kudet dan gaptek dan warga sipil yang ngajak janjian ambil pesanan di DODIKJUR. "Sek.. Sek.. Aku durong jangkep." selorohku dalam bahasa Jawa yang bermakna, sebentar aku belum paham.

"Hehe udah. Ini aku kembalikan KTP teman kamu. Wahyudiono. Bilangin, kalau kerja itu yang fokus. Biar gak celaka di jalan." kata Sultan seraya menyodorkan sekeping KTP si Nyud Nyud. Aku menerimanya lalu kumasukkan ke dalam dompet. "Emang Yudi habis kenapa kak?"

"Gak papa sih.. Tadi dia nyerempet motor saya. Untung gak papa. Cuman baret aja. Ohya, kamu habis ini langsung pulang?"

Aku hanya menganggukkan kepala. Sebetulnya aku tidak nyaman dengan pertemuan ini. Karena di samping aku lelah, aku mencium aroma modus di sini.

"Nash, kamu bukannya kemarin pakai jilbab ya?" aku hanya tersenyum kecut, "iya kak.. Masih belajar. Memantapkannya yang susah."

"Okay. Semoga ke depannya kamu diberi keistiqomahan buat berhijab. Kamu habis ini langsung pulang?" aku mengiyakan dan mengaminkan tanpa memandangnya sama sekali. Aku tahu dia tidak nyaman dengan sikapku ini. Tetapi aku justru lebih tidak nyaman dengan alasan aku di sini.

Aku pamit undur diri. Di sepanjang perjalanan aku merasa amat kesal padanya. Ini hal sepele dan tidak seharusnya terjadi. Kalau bukan karena merasa iba dan bersalah sama Yudi, aku tidak akan mau bertemu si biang modus itu.

Sesampainya di rumah terdengar dengungan mixer, rupanya Mbak Devi sedang di dapur berkutat dengan mixer dan sejumlah peralatan kue. Rupanya dia memulai resep baru yang dia dapatkan kemarin dari youtube. Sedangkan ibu sedang merajut sesuatu di ruang televisi dengan hakpen dan bola wol kuningnya. "Nashwa! Kamu gak konsisten sama janji kamu kemarin. Kalau kamu gak siap berhijab, jangan seperti itu!"

Ibu terlihat wajahnya bersungut-sungut. Ini yang kutakutkan sedari pagi. Ketika berangkat bekerja hari ini, aku memang sengaja tidak menemuinya karena takut kena kultum di pagi hari. "Iya bu. Maaf, Nashwa... kemarin moodswing. Jadinya... sekarang... gak begitu tertarik pakai... hijab." Jawabku terbata-bata dan makin menghilang di akhir kalimat, kentara sekali aku memilih-milih kalimat agar ibuku tidak semakin tersulut amarahnya.

Ibu melepaskan kacamatanya dan membiarkan tergantung pada rantai di lehernya. "Sini duduk deket ibu." Aku mengambil langkah kecil dan duduk agak berjarak di sampingnya dengan kepala tetap tertunduk takut.

"Kamu tahu siapa yang nyuruh, memerintahkan memakai jilbab?" terdengar dengungan mixer Mbak Devi berhenti di dapur.

"Allah buk." Kepalaku menunduk makin dalam dan meremas-remas jemariku. "Ini saja perintah Allah sudah berani kamu langgar bahkan kamu permainkan! Gimana kalau ibu yang nyuruh Nashwa!?" Nada bicara ibu tidak tinggi memang, tetapi kalimat-kalimat itu sudah menampar kebodohanku yang kukira selama ini ibu akan memberiku kompromi.

"Secara tidak langsung Nak, kamu sudah membiarkan almarhum bapak terseret ke neraka karena kamu tidak bisa menjaga aurat kamu."

Seperti tersambar petir rasanya perkataan-perkataan ibu masuk ke telingaku. Wajahku memanas, air mataku mulai meleleh berjatuhan. Ibu melanjutkan pembicaraannya, "kamu masih menjadi tanggung jawab bapak meskipun beliau sudah tidak ada. Semua tindak tandukmu, bapak yang kena imbasnya. Kecuali kamu sudah menikah, baru semuanya ditanggung suami kamu."

"Setega itukah kamu Nashwa?" Ibuku langsung beranjak dari sofa dan meninggalkanku sendiri dengan bongkahan rasa bersalah dan kebodohan yang terasa berat di kepala dan pundakku. Aku beranjak ke kamar dan mengunci pintu.

Ku lempar tasku ke sembarang arah lalu aku menjatuhkan diri ke atas kasur empukku. Aku menangis, menangis sepuasku tanpa ada suara. Wajahku semakin memanas, kucari tisyu dan kuusap semua air mataku, ingusku. Kuakui memang bodoh menganggap ibu akan berkompromi dengan hal ini. Seketika aku membayangkan nasib bapakku. Dalam ucapan lirih aku berdoa,

"Ya Allah maafkan aku.. Jangan Kau jadikan ayahku sebagai sasaran kesalahanku.." kutenggelamkan wajahku pada bantal-bantal dan terisak di sana. Sekitar seperempat jam aku menangis di dalam kamar. Aku merangkak menuju cermin meja rias, lalu duduk pada kursi pendek di depannya. Kuraih smartphoneku. Sudah 15 menit maghrib berlalu. Seharian ini aku bahkan tidak sholat. Terakhir sholat, kemarin sholat dzuhur di kantor karena pas lagi diajak temen-temen.

Sebegini-nya-kah aku? Selalai inikah aku? Di dalam batinku aku ingin mencoba melaksanakan solat, lengkap 5 waktu sehari sebagai percobaan latihan. Oke, mulai sekarang aku coba solat lengkap 5 kali dalam sehari. Meskipun maghrib sudah lewat, tetapi waktu isya' belum tiba.

Kebetulan di dalam kamarku disediakan kamar mandi oleh ibuku. Aku melangkah ke sana untuk mandi dan berwudhu.

****