1 Perkenalan Bertabir Lamaran

Waktu sudah menunjukkan 4 sore, sudah banyak pekerjaan yang kuselesaikan hari ini. Betapa hari yang amat panjang dan melelahkan. Aku bersandar pasrah di kursi tempat aku bekerja, melepaskan sebagian lelah karena target SEO yang tiap hari semakin menggemaskan menurutku, hehehe. Bagaimana tidak? Peringkat website yang kupelihara tiap hari, sudah bagus di posisi 1 Google, sekarang merosot ke nomor 3! Shock? Sudah pasti, jengkel? Iya. Ini pengalamanku yang pertama terjun di dunia SEO. SEO merupakan akronim dari Search Engine Optimizing atau bahasa awamnya optimasi website pada mesin pencari agar bisa meraih peringkat 1 di halaman google. Bosku sudah 7 kali dalam sehari ini menyarankanku mencari website-website populer dengan pagerank (peringkat) yang tinggi. Karena dia antusias sekali dengan produk baru yang akan di launching. Sambel kemasan botol Merk Sambel Mak E. Mungkin anggapan sebagian orang pekerjaanku membosankan. Tapi setelah aku mendalami, memahami dan mengetahui kurasa ini sebuah game! Aku baru bisa dikatakan juara kalau web yang aku pelihara bisa masuk ke peringkat 1. Apalagi yang kubisa saat ini? Ini lebih baik dari pada menjadi seonggok pengangguran kurasa. Menurutku aku salah satu orang yang beruntung, karena sebelum acara kelulusanku digelar, aku sudah mendapatkan tawaran untuk bekerja di tempat aku magang 1 tahun belakangan. Tepat waktu? No! Menurutku ini terlalu awal. Tapi, sekali lagi. Ini jauh lebih baik dari pada aku tidak memiliki kesibukan yang pantas untuk dikerjakan.

"Okay, kamu mau gantiin Pak Sardi di sini atau pulang?" Suara Tyas memecah lamunanku yang sudah melesat jauh flashback ke masa aku menerima pekerjaan ini. "Hah? Pak Sardi pulang?" Sejujurnya aku hanya mendengar beberapa patah kata Tyas. Dia tersenyum kecut sembari meraih tanganku, lantas aku bergegas berdiri karena dia menarikku kuat-kuat. "Udah kebanyakan dicekokin SEO nih anak. Udah.. Keburu macet cus kembalilah ke alammu, hehehe."

"Apa sih Tyas? Pak Sardi kenapa pulang? Orangnya sakit? Temen-temen mau jenguk? Aku ikut ya?" Tyas si gadis cantik berambut coklat yang rambutnya dikuncir rapi itu hanya tersenyum meledek. "Udah... Pak Sardi gak apa-apa. Kamu buruan pulang ya? Tadi aku di WA sama Mbak Devi, katanya mau ada tamu di rumah. WA kamu centang satu katanya."

"Okay.."

Setengah jam kemudian aku tiba di rumah. Mbak Devi terlihat sumringah melihat kedatanganku. "Oh syukur... Kamu lebih awal. Ayo adek syantik kamu siap-siap. Bentar lagi Mas Bowo sama keluarganya mau dateng. Kira-kira 15 menitan. Ohya, aku? Gimana? Udah cantik?" Mbak Devi yang kemendel langsung muter-muter gak jelas di depanku seolah dia ingin tahu apa ada yg kurang sama dandanannya. "Udah seeeeppppp. Udah stop jangan muter-muter lagi entar pusing gak jadi lamaran." Ledekku sembari berlalu ngeloyor ke kamar.

Kututup pintu kamarku dan entah apa yang terjadi dengan Mbak Devi di sana, dia menjerit sambil mengaduh. Sepertinya dia nyaris jatuh karena pusing. Kulepaskan beban-beban yang menggelayut di badanku seperti jaket dan ransel. Kukembalikan ke tempatnya semula. Kamarku yang selalu menawarkan ketenangan bagi siapapun yang memasukinya. Ada aroma kopi yang menyambut di sini. Parfum kopi yang lagi hits di e-commerce itu. 2 hari yang lalu aku beli dan mbak Devi bilang aneh untuk kamar beraroma kopi but I don't care. Kamar yang bernuansa pastel pink ini memang aku desain sendiri. Ibu menyerahkan sepenuhnya padaku untuk yang satu ini. Karena ibu paham seperti apa makna nyaman menurutku. Sehingga dia mempercayakan kamar ini padaku agar aku betah di rumah dan tidak mencari kenyamanan di tempat lain. Keren bukan emakku? Eh, ibuku.

Setelah bersiap-siap aku bergegas keluar dari kamar untuk menuju dapur, membantu ibu menata manisan atau makanan yang nanti disuguhkan ke Mas Bowo sekeluarga. Semua yang ada di dapur melihatku terperangah. Seolah menonton penampakan di hadapan mereka. Aku tau, mereka terheran-heran dengan outfit yang kukenakan. Aku sedang berhijab. "Apa?" kataku singkat. "Kamu yakin Nashwa? Kamu jangan mainin jilbab lo!" Tukas ibuku yang sebetulnya juga berjilbab semenjak dahulu kala. Ibu juga menginginkan aku mengikutinya dengan memakai jilbab, seperti Mbak Devi juga. Tapi, aku masih belum berkeinginan demikian. Entah kenapa sore ini aku pakai ootd hijab. Aku sendiri juga heran.

Aku mendekati ibu sembari memeluknya dari belakang. "Ibu maunya Nashwa berhijab kan? Sekarang Nashwa pakai hijab."

"Besok?" Potong Mbak Devi sambil menggenggam liontinnya. "Inshaallah. Doakan Nashwa istiqomah." Sebetulnya aku juga takut dengan jawabanku ini. Aku tidak yakin atau bersungguh-sungguh siap untuk berpenampilan tertutup seperti ini. Bisa dibilang aku saat ini sedang moodswing.

Aku tidak terlalu fokus pada hal itu. Aku memilih untuk membantu semua orang. Sudah menjadi tradisi keluarga kami untuk menyiapkan sajian makanan sendiri (dalam arti tidak mengandalkan pesanan catering) untuk disuguhkan kepada tamu-tamu penting. Otomatis, para wanita di keluarga ini sudah jago masak. Kecuali aku. Ibuku benar-benar frustasi menerima kenyataan ini. Setidaknya aku mampu di bidang lain. Aku suka menghias ruangan atau sesuatu, dan aku bangga akan hal itu. Karena aku menciptakan dinastiku sendiri.

Tepat setelah aku meletakkan beberapa potong keju di atas kue yang entah apa namanya, di luar terdengar suara deru mobil. Mereka sudah datang. Mbak Devi terlihat sangat tegang. Dia kedapatan berkali-kali merapikan hijab turkish-nya yang dipadu padankan dengan kaftan berwarna senada lebih muda. Ada aksen renda di sana sini untuk mempermanis semuanya ditambah make up minimalis mempertegas penampilannya.

Beberapa saat kemudian, kami disambut salam dan senyum sumringah wajah-wajah asing di balik pintu mahoni. Ibu, Mbak Devi dan aku menyambut mereka satu per satu kemudian mengajaknya duduk di sofa sederhana. Ada sekitar 12 orang di antaranya 5 wanita dan 7 pria. Salah satunya Mas Bowo yang menjadi pusat perhatian kami. Sepertinya dia berusaha menumbuhkan kumis tetapi sepertinya tidak berhasil. Tapi itu semua termaafkan dengan rambut rapinya. Keren.

Mbak Devi hanya terdiam, sesekali menunduk malu. Sesi basa basi pun di mulai. Aku sebetulnya sedang tidak pada mood yang baik. Karena ini terlalu formal dan too much adegan kaku begitu. Sisi lain batinku berkata "memang kamu berharap acara ini berlangsung seperti apa? Heboh macem sirkus? Bodoh! Ini lamaran mbakmu!"

Seorang pria berusia sekitar 50-an bertubuh gemuk memulai percakapan serius. Dia sepertinya ayahnya Mas Bowo yang namanya Pak Bambang Sudarmanto itu. "Ah begini Bu Anik, maksud dan tujuan kami kemari seperti yang tempo hari saya, kami sampaikan. Kami ingin melamar putri panjenengan, Nak Devi Kartikasari untuk putra kami Bowo Sudarmanto. Kira-kira bagaimana keputusan Bu Anik sekeluarga?" Pak Bambang sendiri sepertinya sangat kalem. Kentara sekali dari cara berbicaranya yang amat santun dengan tempo yang pelan.

Ibu mulai menanggapi pembicaraan Pak Bambang, ada setitik air mata nyaris keluar dari sudut matanya. Dari sini aku mulai merasakan peran ibuku amatlah besar. Ibu yang sudah hampir 6 tahun berjuang membesarkanku dan Mbak Devi seorang diri. Ayahku sudah lama meninggal lantaran gagal ginjal dan komplikasi penyakit lain. Ibu beberapa kali menyeka air matanya dengan tisyu yang dia genggam sembari mengangguk-angguk pertanda menyetujui lamaran pada Mbak Devi. "Inshaallah kami sekeluarga menerima lamaran, pinangan Nak Bowo. Untuk langkah selanjutnya bisa kita bicarakan lagi. Maaf saya sampai menangis."

Suasana hangat menyelimuti rumah kami. Ibu memberiku kode untuk menyiapkan jamuan di meja makan. Tepat 5 menit aku selesai dan membisikkan, "sudah bu." Semuanya berdiri dan menuju ruang makan yang letaknya tepat dibalik ruang tamu. Rumah kami tidaklah luas, namun sangat nyaman. Keakraban mulai tumbuh di calon keluarga baru ini. Hidangan di meja makan beragam, semuanya di tata di atas 2 meja yang dijadikan 1. Ada Soto, ayam lapis, perkedel, sambal goreng ati, kolak singkong dan beberapa kue dan roti yang entah apa namanya. Semuanya asyik menikmati masakan-masakan ibu khas Jawa Timur. Ohya, aku baru menyadari kalau semua anak Pak Bambang ini laki-laki 5 orang. 3 di antaranya lulusan universitas ternama di Solo dan yang 2 masih menempuh bangku kuliah di Jakarta. 5 orang lainnya adalah kerabat beliau seperti 2 orang Pakdenya Mas Bowo dan 2 di antaranya Bude dan seorang gadis yang kira-kira seusia denganku. Kebetulan keluarga Pak Bambang Asalnya dari Jawa Tengah tepatnya di Pati. Makan-makan selesai. Giliran mereka pamit undur diri, Bu Kasih istri Pak Sudarmanto yang sedari tadi tak banyak bicara terlihat memberi isyarat untuk memberikan buah tangan yang dibalut dengan kotak kado polos doff berhiaskan pita emas.

"Kok repot sekali Bu Kasih ini." Basa-basi ibu kini sepertinya muncul lagi. Hal seperti ini lumrah terjadi ketika kita diberi hadiah oleh seseorang. Istilahnya "tedeng aling-aling" seandainya mau menerima, tapi tidaklah enak dirasa jika dengan "polosnya" menerima dengan "jujur". Kayak iya gue mau banget! Asik! No. Big NO ya.

Saat kami mengantar Pak Bambang sekeluarga ke teras, terdapat 1 mobil avanza hitam di kursi depan ada sopir yang tidak ikut masuk, "bu.. Itu ada pak sopirnya kok tadi gak ikut makan ya?"

Ibu langsung menyahut Bu Kasih yang ada di barisan paling belakang menuju mobil yg terparkir di halaman rumah. "Bu Kasih.. Itu kenapa tadi pak sopirnya ndak diajak masuk juga? Mbok makan dulu jangan keburu pulang?" Bu Kasih yang memakai rok agak ketat pada bagian paha sepertinya sedikit kesusahan membalikkan badan seraya berpegangan pada pundak mbakyunya. "Njeh bu? Niku wau larene mboten kerso tumut mandap keranten sungkan." semuanya manggut-manggut mengiyakan pernyataan Bu Kasih. "Itu teman saya Bu Anik. Kebetulan lagi pesiar dinas jadi TNI, jadi dari pada nanti nganggur dikerubutin laler saya ajak sekalian ke sini, eh kok malah malu gak mau turun."

Dalam hatiku kukira dia sopir hehehe. Sepersekian detik kemudian dia turun dr mobil lalu menyalami kami sembari memperkenalkan diri, "saya Sultan tante." Setelah dia keluar dari mobil baru terlihat perawakannya memang seperti seorang tentara. Mbak Devi mencolek lenganku sambil mengerjap-ngerjapkan kelopak mata. "Apaan sih mbak. Gengges deh!" Dia terus menerus meledekku dan si Sultan itu. Aku paham maksud orang-orang ini. Bukan karena besarnya jiwa GR-ku, tapi ini sudah yang ke sekian kalinya dalam sebulan ini ibu dan mbakku dengan rempongnya mencarikan jodoh. Umurku baru 20 tahun. Apa sih yang ditakutkan dari wanita-wanita ini?

Sepulangnya rombongan Pak Bambang, ibu dan Mbak Devi tak henti-hentinya menanyaiku tentang si Sultan tadi. "Apanya yang gimana sih buk? Mbak? Kenal aja enggak. Udahlah males aku bahas itu."

"Ya kamu kalau mau kenal nanti mbak atur perkenalan kamu sama dia." Mbak Devi kelihatan super antusias. "Wah.. Jangan-jangan ini sengaja ya ibuk sama mbak atur ini semua?"

Seketika mimik wajah Mbak Devi berubah menjadi kesal lantaran kutuduh lamarannya setingan. "Kalau lamarannya itu ASLI Paitun! Sepurane yo cintaku bukan setingan!" Aku tertawa ngakak penuh kemenangan karena sekarang dia yang giliran kebakaran jenggot. "Punya niat bagus kok malah dituduh lamaranku setingan! Mbel koe Tun!"

Ibu yang tadinya kasihan melihat Mbak Devi kuledek sekarang berubah ikut menertawakannya. "Aku tambahin Mbak, cempe! Embeeeeekkkk." Cempe berarti anak kambing. Ibuku tak henti-hentinya tertawa melihat tingkahku dan Mbak. Dia mengunci pintu kamarnya rapat-rapat.

"Nashwa, menurut ibu, Sultan itu pantas dipertimbangkan. Umur kamu sudah 20 tahun." Ibu mengusap pundakku. "Masih 20 tahun bu... Iya. Pasti Nashwa pertimbangkan." Jawabku ringan. Hanya agar ibuku tidak kebakaran jenggot juga seperti Mbak Devi melihat anak perempuannya tidak pernah tanggap ke lawan jenis.

Hari ini jelas memberi tanggung jawab besar buatku. Bukan persoalan Sultan, tapi menyangkut keberanianku yang tidak didasari keyakinan memakai hijab. Apa iya aku besok kemana-mana pakai hijab?

****

avataravatar
Next chapter