webnovel

21. Memahamimu

Sakral bunyinya, suara nyaring memekakkan telinga yang mendengar inilah yang paling ditunggu-tunggu di tengah panasnya hawa yang ada di dalam kelas sebab pikiran yang mendidih. Bel tanda jam istirahat baru saja berbunyi, tetapi Nata sudah sampai di taman belakang sekolah. Sedari tadi ia hanya terdiam memperhatikan siapa saja yang berada di taman --seperti mencari seseorang? Iya. Nata mencari Rama. Sebuah pengakuan yang mengejutkan untuk dirinya sendiri. Tadi, acapkali dirinya memandang ke arah bangku kosong, tempat biasa diduduki oleh Rama, perasaan gadis itu tak henti-hentinya was-was. Pasal dimana Rama? Remaja itu pergi selepas dia menyerah laporannya pada guru BK?

Setelah mendengar apa kata guru BK tentang Rama, Nata ingin bertemu pria brandal itu. Akan tetapi, ia tak mengikuti kelas pagi ini. Bangkunya kosong, kata teman laki-laki yang duduk di sampingnya, ia tak melihat Rama sejak pagi. Itu artinya, setelah menyerahkan surat itu, Rama pergi. Pergi entah kemana.

Nata berlari. Entah kemana tujuannya, sebab sekolah benar-benar luas. Mau belok ke kanan dan ke kiri, mau lurus atau mundur ke belakang semuanya masih area sekolah. Dimana Rama bisa berada di salah satu tempat di lingkungan ini. Atau kalau-kalau ia apes, maka Nata akan mendapatkan kabar bahwa Rama kembali membolos.

"Barangkali Rama ada di parkiran motor?" Ia berlari sekencang mungkin. Mengabaikan siapa saja yang menyapanya.

Hingga akhirnya tubuh mungilnya terhenti tepat dipertigaan lorong sekolah, ia melihat ke sisi kanan. Tepat di sana jajaran motor tertangkap oleh lensa matanya. Naasnya, Nata hapal motor Rama dan ia tak mendapati moto gede itu berada di jajaran parkir sekolah. "Tidak ada juga? Dimana sebenarnya Rama? Pulang?" Nata mendesah. Harapannya sirna, ditelan udara. Sudahlah, ia hampir menyerah sekarang. Toh juga, ucapan terimakasih dan penjelasan darinya mungkin tak begitu penting untuk Rama. Rama Aksa Megantara adalah si tak acuh yang tak akan mau peduli pasal beginian.

"Nata!" Kali ini ia menoleh. Seorang remaja berjalan ke arahnya. Remaja yang sangat tampan. Tapi sayangnya, ia bukan Rama.

"Kamu kenapa? Aku liat dari tadi lari sana lari sini."

"Diet," jawab Nata singkat.

"Udah kurusan kok, mau diet apalagi coba?" Si jangkung itu mengacak perlahan rambut Nata. Dengan tidak sopan, tetapi itulah caranya membangun keakraban dengan Nata.

"Alby!! Nanti berantakan!" Nata mendesah perlahan. Melirik sinis Alby yang hanya terkekeh ringan melihat perubahan wajah Nata.

"Nyari seseorang?"

Nata diam

"Rama?"

"Kamu tau dia dimana?" Nata mengulum sejenak salivanya. Tuhan, jangan berikan jawaban yang mengecewakan. "Dia ga masuk?"

Alby menaikkan kedua sisi bahunya. Bingo! Jawaban yang mengecewakan. Bahkan Alby saja tak tahu.

Nata menggeleng ringan. "Kamu beneran gak tahu?"

"Kita emang saudara, tapi kita bukan anak kembar."

••• 100 Persen itu Sempurna •••

Alby meletakkan semangkok soto panas di hadapan Nata, sedikit melirik gadis berponi itu lalu tersenyum seringai. "Kamu itu mulai suka Rama ya?" Ia terkekeh kecil. Pertanyaan singkat itu cukup untuk membuat kedua bola mata Nata membulat sempurna bersama irama jantungnya yang menjadi tak karuan detaknya. Seakan mau copot rasanya? Sepertinya begitu. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam sana kala pertanyaan itu dilontarkan padanya.

"Suka berandalan itu? Sinting kali ya aku." Ia mengedus pada dirinya sendiri. Di dalam hati, Nata sedang mengutuk dirinya. Untuk apa ia harus berlari ke sana kemari hanya demi mencari Rama? Persetanan! Ia pasti sudah tak waras.

"Terus kalau enggak?"

"Ya enggak."

"Rama itu baik kok, " ucap Alby tiba-tiba. Nata mendongak sesaat sesuap nasi bercampur kuah soto masuk ke dalam mulutnya. Mendengar perkataan Alby yang seakan begitu enteng mengatakan Rama bersifat baik. Tunggu, baik? Dari sisi mananya? "Cuma kadang aneh aja," lanjutnya.

"Aneh melulu." Nata menyahut cuek. Kembali memasukkan sesuap nasi dengan campuran sayur soto diatasnya.

"Mau tambah kecap?" Alby menawarkan sedang Nata hanya menggeleng ringan.

"Nata, Rama itu seperti kecap."

Nata melipat keningnya samar. "Item?" gadis itu terkekeh.

"Kalau melihatnya sekilas kecap itu tak menarik karena ia terlalu pekat. Kecap itu lengket kalau dipegang jadi tak ada yang mau memegangnya. Kecap juga terlalu manis kalau ia sendiri, jadi ia baik jika dicampur lainnya."

Nata terdiam sejenak, "Hubungannya dengan Rama?"

Alby tersenyum, "Nanti juga kamu tahu sendiri."

"Kalau engga tahu?"

"Pasti tahu." Alby menyeruput es teh manis di hadapannya sembari menatap Nata aneh. Bagaimana tidak, wajah cantik gadis itu berubah menjadi masam. Nata tak suka, tak begitu suka jika ia mendapat teka teki seperti ini. Kenapa? Karena sirkuit pemikiran dan penalaran otak Nata tak seluas lapangan sepak bola di belakang gang rumahnya.

"Alby ...."

Alby menoleh, "Rama itu tinggal sendiri, ya? Di rumah hantu?"

Alby tertawa singkat. "Rumah hantu?" Diam dan berpikir, gadis itu punya penalarannya sendiri. "Oh di sana ..., kamu pernah ke sana?"

Nata mengangkat bahunya. "Begitulah."

"Dulunya Rama dan keluarganya tinggal di sana. Tapi, ya begitulah. Itu rumah peninggalan ibunya. Ia tak ingin pindah dari sana."

"Kenapa kamu gak nemenin dia?"

"Dia yang gak mau," jawab Alby singkat.

Nata terdiam sejenak. Setelah mendapat jawaban itu dari Alby, bukannya semakin paham dengan si berandal itu, perasaan Nata sekarang bercampur aduk. Semakin banyak pertanyaan dalam dirinya tentang Rama. Semakin ia ingin mengetahui apa-apa tentang Rama.

Ah, mengapa jadi seperti ini?

"Nama ibunya Rama itu Angela? "

"Angela?" Alby terdiam. Kedua lensa matanya melirik ke arah ke arah Nata. Otaknya berputar. Angela? Sepertinya ia pernah mendengar nama itu.

"Bukan, " jawab Alby sesaat.

"Bukan?!" Nata diam bisu. Jika wanita yang ada dalam lukisan di galeri seni sekolah itu bukan Ibunya, Lalu? Kekasihnya? Tapi, terlihat sedikit tua? Kakak perempuannya?

"Kenapa?"

"Enggak, gak papa." Nata tersenyum simpul. Gadis itu kembali melanjutkan aktivitasnya. Memakan satu suap nasi demi nasi untuk mengenyangkan perutnya saat ini. Sejenak, Nata ingin melupakan pasal Rama. Remaja yang terlihat begitu sederhana, tetapi jika ditelisik dengan benar dan nyata, Rama bak sebuah karya lukis yang begitu rumit untuk dipahami.

Di dalam kepala Nata mulai saling mengadu satu sama lain. Rama adalah orang baik untuk orang-orang yang bisa memahaminya, bersamanya, dan mengenalnya sebagai sahabat pena. Namun, dari caranya memandang dan memperlakukan lingkungannya, Nata mempelajari satu hal ... tak semua yang baik dimata orang dekat, juga terlihat baik di mata orang yang sekilas pandang saja. Nata punya perasaan itu pada Rama.

Bukan cinta, lebih tepatnya hanya ingin tahu ... seperti apa Rama Aksa Megantara? Jika Nata beruntung, maka ia akan menemukan sisi baik yang Alby maksudkan tadi.

... Bersambung ...