—Sulit meyakinkan diri, jika keadaan akan tetap baik-baik saja tanpa hadirnya kedua orangtua lagi.—
***
"Dimana ini?" tanya Alea sembari menatap takjub ke depan.
Lagi dan lagi Farel tersenyum atas tatapan takjub dari seorang Alea.
"Inilah dimensi Arles," jawab Farel santai.
Farel meraih sebelah tangan Alea, digenggamnya erat sembari membawanya berjalan lebih dalam lagi.
Sungguh, tempat ini terlihat tenang dan lebih banyak aturan. Alea pikir, mereka berjalan saja menggunakan rumus yang tidak Alea mengerti.
"Kau mau membawaku kemana?" tanya Alea.
Farel melirik Alea sembari berkata, "Istana Arles."
Alea mengagguk antusias, kala mereka berjalan lurus kedepan, berbagai sapaan hormat mereka dapatkan. Alea yang merasa asing dengan sekitar hanya mampu tersenyum kikuk sedangkan Farel hanya memandang fokus kedepan tanpa menanggapi sahutan yang mereka lontarkan.
Beberapa menit kemudian, keduanya sampai disebuah istana kerajaan yang Farel magsud. Lagi dan lagi Alea menganga tak percaya atas apa yang dirinya lihat. Benarkah ada istana? Ternyata istana seperti dalam dongeng itu sungguhan dan benar adanya.
"Ingat, jangan terlalu senang. Kau harus tetap memberiku ciuman jika kau ingin pulang," ucap Farel seketika membuat rasa senang Alea luntur begitu saja.
"Mengapa aku?" tanya Alea.
"Bukankah tadi kau yang memberiku ciuman?" tanya Alea lagi.
Alea hanya tak ingin menjadi seorang perempuan dengan sengaja mencium seorang pria yang belum benar-benar dirinya kenali. Apalagi dalam keadaan begini.
"Jika kita ingin datang, aku yang memberimu ciuman. Namun, jika kau yang ingin pulang, kau yang harus memberi ciuman," tutur Farel menerangkan.
"Shit!" murka Alea sembari berjalan mendahului Farel dan kembali menyusuri setiap penjuru istana yang begitu luas.
"Mulutmu, sayang..." desis Farel menarik Alea dan melingkarkan tangan kekarnya di pinggang Alea dengan posesif. Tak ada penolakan dari Alea, gadis itu seolah tengah terhipnotis dengan apa yang baru Farel katakan.
"Tunggu," kata Alea tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Alea membalikan tubuhnya menghadap Farel yang juga tengah menatapnya dengan tatapan— Entahlah, tak ada yang tau apa arti tatapan itu.
"Apa kau juga mencium Rey saat akan pula--
"Hanya kau wanita yang kuberi ciuman," tukas Farel tak ingin Alea berfikir hal tak masuk akal.
Alea hanya ber'oh ria atas penjelasan yang Farel berikan, namun entah mengapa ada rasa senang yang belum pernah Alea dapatkan saat Farel mengatakan hanya dialah yang Farel beri ciuman. Berkali-kali Alea mengusir rasa senang itu, akan tetapi, tetap saja tak ingin pergi dari hati dan pikirannya.
"Bolehkah ku menemui ayahmu?" tanya Alea mengalihkan pembicaraan.
***
"Salam Ayah," ucap Farel sembari membungkuk hormat dihadapan sang Raja diikuti Alea yang entah mengapa sangat jarang sekali untuk dirinya melakukan hal seperti ini.
"Siapa dia?" bisik Alea pada Farel.
"Raja Garden Arles, Ayahku." jawab Farel.
Keduanya kembali menegakkan tubuhnya, menatap sang raja dengan tatapan penuh arti.
"Sudah ku duga kau akan membawa calon pendamping mu ke hadapanku," ucap sang raja.
Kedua sudut bibir Farel tertarik keatas namun tidak dengan Alea, ia tampak lebih kebingungan dengan apa magsud dari perkataan sang raja.
"Kapan kau akan menikahinya?" tanya sang Raja membuat Alea sedikit demi sedikit mengerti akan kemana arah pembicaraan mereka.
"Secepatnya," jawab Farel.
Kedua bola mata Alea membulat sempurna mendengar jawaban yang Farel berikan.
Ingin sekali Alea buka suara namun tak memungkinkan jika harus merusak imagenya didepan sang raja.
"Sebaiknya kalian istirahat terlebih dulu, hari sudah mulai gelap," kata sang raja yang mampu Farel angguki.
Farel membawa Alea berjalan menuju sebuah ruangan yang akan menjadi tempat istirahat mereka berdua.
"Kemana ibumu?" tanya Alea.
"Sedang menjalankan tugas," jawab Farel tanpa keterangan yang jelas.
***
Malam harinya, Alea terbangun dari tidurnya, di ruangan itu tersedia dua ranjang berlapis emas juga berukuran sangat besar. Alea melirik ranjang tempat Farel mengistirahatkan dirinya, namun Alea tak mendapati keberadaan pria itu. Ia mulai bangkit dari tidurnya, pandangannya teralih pada pintu balkon yang terbuka lebar. Dari kejauhan, Alea dapat melihat Farel tengah berdiri membelakanginya dengan kedua tangan yang sengaja dimasukan kedalam saku celana, pelan namun pasti Alea mulai mendekatkan diri, kemudian mulai duduk disebuah sofa yang sengaja disediakan di balkon.
Terbawa suasana yang begitu hening dan sepi, membuat Alea teringat sang ibu yang jauh disana.
"Ibu ku meninggalkan aku satu tahun lalu," ucap Alea memulai pembicaraan.
Farel mulai membalikan tubuhnya menghadap dan menatap Alea dengan alis berkerut.
"Lalu, ayahku memilih menikah lagi dengan Tante Elisa, dia memiliki seorang anak perempuan satu tahun lebih tua dari ku," sambung Alea dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sebenarnya Alea tak ingin membahas ini, namun percaya atau tidak dirinya perlu bercerita guna menghilangkan sedikit beban dalam hatinya.
"Kemudian ayah menjual ku pa--
Cukup sudah, pertahanan Alea runtuh, Farel menariknya kedalam pelukan hangat sehangat yang sempat Farel berikan untuk Alea.
"Kau lemah," lirih Farel sembari terkekeh geli.
Alea tak menjawab ujaran Farel, ia lebih memilih untuk terus menumpahkan rasa sakitnya dipelukan seorang Farel. Siapa tau satu diantara mereka merasakan cinta.
"Aku yakin, ibumu mati karena dibunuh," ucap Farel membuat Alea terdiam sesaat dan melepaskan pelukannya dari Farel.
"Aku berjanji padamu akan menemukan pelakunya," sambung Farel.
Sebenarnya mereka hanya perlu meyakinkan satu sama lain perihal apa yang akan terjadi selanjutnya dan apa yang sempat terjadi di masa lampau. Bukankah tak ada salahnya menjalin hubungan baik demi sebuah kebenaran.
"Aku tak mengerti maksudmu," kata Alea menatap Farel penuh tanya. Hanya ada sedikit jarak diantara mereka, mengingat Farel yang terus mengikis jarak dengan enggan melepaskan tautan tangan kekarnya di pinggang Alea.
"Tugasmu, belajar mencintai ku. Selebihnya, akan ku urus," bisik Farel.
Alea merasa salah tingkah dengan apa yang Farel katakan, ia lantas menjauhkan dirinya dari Farel, "Kau selalu mengejutkanku, melarang diriku bersumpah serapah, memanggilku sayang dan sekarang— aku bisa gila ulah perilaku random mu itu."
***
Di tempat lain, David tengah memandang kosong kedepan, dirinya baru saja menjual putri kandung satu-satunya yang ia miliki. Entahlah, apa yang dirinya pikirkan hingga berani melakukan hal sekeji itu.
"Oh tuanku sedang merenung ternyata," ucap Asih yang tiba-tiba saja muncul membawa secangkir teh hangat.
Entah kemana sifat Asih yang lemah lembut dan sopan. Kini, sifat Asih yang sesungguhnya kembali lagi.
"Bajingan sepertimu seharusnya lenyap bersama istrimu," sambungnya.
PRANK!
"SIALAN!" murka David sembari menepis kasar nampan yang Asih bawa hingga menimbulkan keributan.
"Wow. Ck! Ck! Ck! Berani sekali kau," ujar Asih sembari berdecak kagum.
"Aku akan memberitahu anakmu jika kau yang telah membunuh istrimu sendiri," sambung Asih memberikan ancaman pada David.
Sedangkan David, ia menatap Asih dengan tatapan sulit diartikan, "Aku yakin, kau tau bukan aku yang membunuh istriku sendiri."
Asih terkekeh geli, "Siapa yang akan percaya pada omong kosong mu itu?"
David benar-benar marah kali ini, akan tetapi dirinya tak dapat melakukan apapun lagi selain berkata, "Aku akan mencari bukti siapa pelaku yang sebenarnya."
Asih memutar bola matanya malas, "Elisa istri barumu itu?"