"Kamu-mau apa kamu bawa aku ke sini?"
"Turun, Zefanya. Kamu nggak mau pulang?" Pemuda itu menggerakkan tangannya yang terulur ke arahku. Aku menggenggam erat-erat seatbelt sebagai balasan. Aku tidak mau turun.
Bodohnya aku yang menuruti pemuda ini masuk ke mobilnya. Dia bisa saja menipu. Menjerat gadis sepertiku untuk dijual ke luar negeri. Atau yang lebih mengerikan dia sindikat penjualan organ dalam manusia. Rumah mewah di depanku ini bisa saja tempat penampungan sementara korban-korbannya. Bodoooh! Hanya karena dia terlihat seperti mengenaliku, harusnya aku lebih waspada.
"Zefanya, turun, keluarga kamu udah nunggu di dalam."
Masalahnya, cuma dia satu-satunya manusia yang tampak mengenaliku. Dari tadi dia memanggilku Zefanya. Apa itu benar namaku?
"Kamu bisa kasih bukti kalau itu benaran rumahku?" Aku bertanya defensif. Dia malah memandangiku makin cemas. Pemuda itu menunduk agar kepalanya sejajar denganku.
"Zefanya, kamu kenapa sebenarnya?"
"Jawab saja pertanyaanku tadi!"
"Mau kupanggilkan Keluargamu sebagai bukti? Mereka pasti bisa menyakinkan kamu."
Aku diam, sedang menimbang. Bagaimana kalau dia menipuku dengan memanggil teman sesama penjahatnya ke sini lalu membiusku agar masuk ke rumah? Tapi, jika aku tidak menyetujui usulnya, aku tidak akan tahu kebenaran siapa diriku sebenarnya.
"Zefanya, kenapa kamu bisa ada di tepi jalan kayak tadi?" Aku memandanginya, bingung. Aku menggeleng, tidak tahu. Matanya membola, "kamu benar nggak ingat apa-apa." Di sini aku ingin menangis. Apa aku hilang ingatan?
"Zefanya~" Dia memanggilku dengan nama itu lagi. Zefanya. Zefanya. Kenapa aku merasa kosong ketika dia memanggilku dengan nama itu. "Apa kamu juga nggak ingat denganku?"
Dan ketika aku memandanginya dengan sebuah kebingungan dan frustrasi, lelaki itu memberiku sebentuk patahan dari matanya. Dia patah, sedih, dan kecewa.