Dennis melihat ke arah sang kakak saat ibunya itu mengatakan kalau sang kakak tengah berbadan dua, dia melihat Diandra yang tengah terduduk di lantai dengan teman pria yang sempat dia kenal beberapa tahun yang lalu.
Dennis berjalan mendekati Diandra dan juga Rafli, meminta mereka untuk bangun dari posisinya dan berdiri tegak.
Rafli dan Diandra lalu bangun dari posisinya, Diandra meraih telapak tangan Rafli dan menggenggamya.
Rafli sontak langsung menoleh ke arah Diandra, dia balas menggenggam tangan Diandra.
"Kak Dian? Kak Dian beneran hamil?" tanya Dennis.
Diandra yang menunduk itu menatap Dennis, dia mengangguk pelan mengiyakan ucapan Dennis.
"Aku ayah dari bayi yang sedang dia kandung. Aku datang kemari untuk mempertanggungjawabkan semua yang sudah aku lakukan pada Diandra."
"Kurang ajar!" ucap Faisal, "Gampang banget kamu ngomong tanggung jawab. Emang semua masalah akan selesai hanya dengan kamu bertanggung jawab hah? Kamu harusnya sadar diri!"
"Paa?" ucap Diandra dan Dennis bersamaan.
"Apa?" tanya Faisal menatap Dennis dan Diandra bersamaan. "Dia tuh gak punya orangtua! Gimana bisa kamu mau sama dia Diandra! Kenapa kamu gak mikir panjang saat melakukan itu sama dia hah? Dia pasti yang maksa kamu kan?" tanya Faisal.
Diandra mengelengkan kepala.
"Kamu jebak anak saya, iya hah?" tanya Faisal pada Rafli. "Atau kamu paksa anak saya, iya?"
Diandra memejamkan mata sebentar lalu setelahnya dia menatap sang Ayah. "Aku yang menggoda Rafli lebih dulu," ucap Diandra. "Aku yang duluan suka sama dia, aku yang ngedeketin dia lebih dulu! Jadi ini semua bukan salah Rafli! Tapi salah aku! Karena aku yang goda dia lebih dulu, aku sengaja ngelakuin itu sama Rafli biar Rafli terikat sama aku dan dia gak sama yang lain." ucap Diandra berbohong.
"Anak kurang ajar!" ucap Faisal mendekati Diandra dan mengangkat tangan kanannya hendak menampar.
Rafli yang melihat dengan segera langsung berdiri di depan Diandra yang menunduk, hingga yang Faisal tampar itu bukan pipi Diandra tetapi wajah Rafli.
"Minggir kamu!" ucap Faisal mendorong tubuh Rafli belum puas memukul putrinya.
"Pa? Udah dong, Paa ...," lerai Dennis, dia berdiri di tengah-tengah antara Rafli dan juga Faisal. "Emang dengan memukul mereka terus menerus akan menutup semua yang udah terjadi? Enggak kan?"
Amira kini sudah terduduk, dia menopang kepalanya dengan tangan kanan dan terisak, hati dan perasaannya benar-benar hancur saat anak perempuan satu-satunya itu tengah berbadan dua tanpa ada ikatan yang sah, dia merasa telah gagal menjadi seorang ibu, gagal mendidik putrinya. Apalagi setelah mendengar Diandra yang mengatakan kalau dialah yang menggoda Rafli terlebih dahulu, hatinya semakin hancur dan tubuhnya terasa sangat lemas.
"Ya tapi mereka udah bikin malu!" ucap Faisal.
"Ya terus mau gimana lagi? Udah kejadian, kita bisa apa? Justru dengan papa kayak begini, malah mancing para tetangga jadi kepo sama kebisingan yang terjadi di sini! Mereka bisa aja denger apa yang papa omongin dan usah pasti nanti jadi bakalan bahan gosip! Jadi udah ... jangan berteriak dan jangan memakai kekerasan! Kalau Papa gak mau malu, ya papa sabar dan diem! Kita selesaikan masalah ini baik-baik tanpa ada teriakan atau kekerasan!"
"Ya tapi–"
"Papa gak mau manggung malu kan?" sela Dennis memotong, "Udah ... kita ngomong pelan-pelan, jangan sampe ada tetangga yang datang dan denger kalau di sini kita lagi ribut!" ucap Dennis lagi terus berusaha membuat keadaan agar jauh lebih tenang.
Faisal terdiam, dia berpikir kalau yang putranya katakan ada benarnya juga, dia terus berteriak, meneriaki dan memukul Diandra dan juga Rafli hanya akan memancing para tetangga untuk datang dan mereka nantinya malah akan tau yang sebenarnya seperti apa.
Dianda menggigit bibir bawahnya, hatinya sedikit jauh lebih tenang setelah kedatangan Dennis, walau jantungnya masih mmberdegup dengan sangat kencang, tangannya juga memegang dengan sangat erat telapak tangan Rafli.
"Papa tuh harusnya sedikitnya bersyukur, dia datang kesini dan berkata jujur sama kita semua, dia juga mau tanggung jawab sama yang udah dia lakuin. Coba Papa liat orang lain, ada banyak wanita-wanita di luar sana yang jadi korban keegoisan laki-laki! Setelah menghamili, dia pergi gitu aja dan gak mau tanggung jawab! Lah ini kan enggak, walau kita kecolongan dan kecewa banget, tapi ya mau gimana lagi? Udah kejadian! Tapi setidaknya dia gak kabur dan lepas tanggung jawab."
Faisal diam tak menjawab ucapan putranya itu.
"Jadi udah! Jangan bikin heboh, jangan bikin ribut kalau gak mau tetangga tau! Marah boleh, tapi akal sehat harus tetep jalan! Pikirkan efeknya juga!" ucap Dennis lagi.
Faisal masih terdiam, dia tak menjawab ucapan Dennis karena dia rasa yang dikatakan putranya itu benar, dia lalu memilih untuk berbalik dan pergi ke arah kamarnya. Amira yang terduduk juga langsung bangun dari duduknya dan berjalan mengikuti langkah Faisal yang berjalan ke arah kamar.
"Huh!" Dennis kembali menghembuskan napasnya dengan sangat kasar saat setelah punggung kedua orangtuanya itu menghilang dibalik pintu kamar, dia lalu berbalik dan menatap Rafli serta Diandra. "Kak? Kakak pulang aja dulu, kayaknya situasi sekarang belum pas untuk membicarakan ini. Papa masih emosi dan gak akan pernah bisa diajak ngomong kalau kayak begini," ucap Dennis pada Rafli.
"Tapi–"
"Aku yang akan bilang ke Papa, aku bakalan coba ngomong pelan-pelan sama Papa, sama Mama juga, tapi enggak sekarang. Setelah emosi mereka reda, setelah mereka bisa diajak bicara, baru aku ajak bicara mereka. Aku usahain akan jalan keluarnya untuk kalian, jadi sekarang Kakak pulang aja dulu, nanti pasti kita hubungin kok, asal jangan kabur ya ...."
"Aku mencintai Diandra, bagaimana mungkin aku kabur. Walau sudah tahu risikonya seperti aap, aku tetap memberanikan diri datang kesini untuk menikahi Diandra, jadi mana mungkin kabur," ucap Rafli.
"Aku percaya," ucap Dennis, "tapi sekarang pulang dulu ya ... setelah keadaan membaik, aku akan bicara dan aku yang menghubungi Kakak nanti, aku usahakan kabar baik yang akan di dengar nanti."
"Terima kasih," ucap Rafli.
Dennis mengangguk pelan.
Rafli lalu menoleh melihat ke arah Diandra. "Aku pulang dulu, kamu baik-baik ya ...."
Diandra menatap Rafli dengan mata yang berkaca-kaca, dia benar-benar tidak menyangka kalau Rafli akan melakukan itu untuknya. Seharusnya Andra lah yang berada di posisi Rafli. Harusnya Andra yang menerima banyak pukulan dari sang ayah, bukan Rafli. Karena yang menghancurkan hidupnya bukan Rafli, tetapi Andra! Harusnya Andra yang diperlakukan dengan sangat buruk oleh ayahnya.
Rafli memegang pipi Diandra yang basah. "Gak pa-pa, aku okay kok." ucap Rafli seraya tersenyum pada Diandra, seolah mengerti apa yang ada dalam pikiran Diandra, dia mengatakan dirinya tak apa-apa padahal tubuhnya terasa sangat nyeri karena menerima banyak pukulan, belum lagi dari gagang sapu yang di pegang oleh ibunya Diandra tadi.
'Terima kasih,' batin Diandra berucap saat menatap Rafli. 'Harusnya bukan kamu, tapi dia!' batinnya berucap lagi.
"Aku pulang dulu, cepat hubungi aku dan beri aku kabar baik."
Diandra memejamkan mata hingga air mata menetes membasahi pipinya. Rafli sontak langsung menyeka air mata di pipi Diandra.
"Udah ... kita pasti bisa lewati ini, jangan nangis ... aku pulang dulu," ucap Rafli.
Diandra mengangguk pelan mengiyakan.
Rafli melepas genggaman tangan Diandra walau terasa sangat berat.
Bersambung