Dennis melihat ke arah sang kakak yang tengah berdiri di ambang pintu melihat Rafli yang baru saja masuk ke dalam mobil. Dennis juga melihat mobil itu keluar dari halaman rumahnya.
"Maafin aku, Raf." gumam Diandra.
"Dia kan yang hamilin kakak, kenapa kakak yang minta maaf?" tanya Dennis saat dengan tak sengaja dia mendengar Diandra berucap.
Diandra sontak langsung menelan salivanya. "Ya ... pokoknya kakak yang salah! Rafli gak salah!" ucap Diandra.
"Tunggu ... jangan bilang kalau kakak jebak Kak Rafli biar ngelakuin itu, terus jadinya mau gak mau Kak Rafli tanggung jawab. Iya?" tanya Dennis menatap Diandra dengan sangat serius.
"Astaghfirullahaladzim! Ya enggak lah! Emang Kakak semurahan itu apa! Kakak gak ngelakuin hal hina kayak begitu ya!" ucap Diandra.
"Ya terus kenapa malah kakak yang minta maaf?" tanya Dennis.
"Ya pokoknya ada! Intinya Rafli gak salah! Harusnya dia gak bertanggung jawab karena bukan dia yang salah tapi orang lain! Harusnya orang itu yang menerima pukulan dari Papa karena udah ngerusak hidup Kakak, masa depan Kakak! Orang itu yang salah! Bukan Rafli! Kakak yang terlalu bodoh karena ...." Diandra tak meneruskan ucapannya saat dia hampir saja menceritakan semuanya pada Dennis.
"Karena apa? Karena percaya sama dia?" tanya Dennis.
Diandra menatap Dennis dan menelan salivanya. 'Enggak, aku gak boleh cerita sama Dennis, aku gak boleh cerita yang sebenernya terjadi sama Dennis. Rafli akan sangat kecewa kalau aku cerita yang sebenernya, dia udah berkorban, masa aku sia-siain perjuangannya dia,' batin Diandra berucap.
"Kak?" panggil Dennis.
"Apa?"
"Kok malah diem?"
"Ya pokoknya Rafli gak salah!" ucap Diandra.
"Tunggu-tunggu deh," ucap Dennis mulai mencerna apa yang Diandra katakan tadi. "Kak Dian bilang tadi ada kata 'Dia' dia yang kakak maksud ini siapa?" tanya Dennis.
Diandra kembali menelan salivanya lagi saat Dennis bertanya.
"Kak?" panggil Dennis.
"A–apa?" tanya Diandra dengan nada terbata.
"Tadi Kakak bilang Kakak yang salah karena Kakak terlalu bodoh, maksudnya terlalu bodoh karena udah percaya sama seseorang yang kakak sebut 'Dia' itu kan?" tanya Dennis.
"Hm?" Diandra mengerutkan alis bingung dengan apa yang dikatakan Dennis.
"Kak Dian juga bersikukuh kalau Kak Rafli enggak salah, terus juga bilang kalau yang harusnya dipukuli sama Papa itu 'dia' bukan Kak Rafli. Kak? Jujur sama aku, Kak Dian sama Kak Rafli dijebak sama orang itu? Kak Dian sama Kak Rafli dijebak sama orang itu untuk melakukan itu? Iya kak?" tanya Dennis.
"Hah?" Diandra menatap Dennis dengan tatapan kaget, ternyata Dennis berpikir kalau dia dan Rafli dijebak melakukan sebuah hubungan intim hingga yang seharusnya disalahi adalah orang lain dan bukan Rafli karena dirinya dan Rafli dijebak. 'Kok dia malah bisa mikir kesitu?' batin Diandra berucap, 'Tapi ya udah deh gak pa-pa, biar aja dia dengan pikiran dia, biar dia gak banyak nanya dan Rafli gak terus dicecar, biar Rafli gak terus disalahin karena nyatanya dia memang tidak salah,' ucap Diandra di dalam hati lagi.
"Jawab dong, Kak! Biar aku bisa cari jalan keluar untuk masalah kalian," ucap Dennis.
"Ya pokoknya Rafli tuh gak salah, Nis! Orang itu yang salah! Rafli juga awalnya gak tau apa-apa! Dia laki-laki baik dan gak mungkin rusak hidup Kakak! Yang salah orang itu! Bukan Rafli."
"Jadi bener sama yang aku pikirin barusan? Kakak sama Kak Rafli dijebak melakukan itu sama orang itu?" tanya Dennis lagi.
Diandra diam tak menjawab ucapan Dennis. Dia masih bingung harus mengiyakan atau mengtidakkan. Diandra hanya menunduk tak berani menatap mata Dennis. Diandra memang paling tidak bisa menatap lawan bicaranya jika berbohong. 'Terserah sama apa yang dia pikirin aja deh,' batin Diandra berucap lagi.
"Kurang ajar!" ucap Dennis, dia menganggap diamnya Diandra sebagai jawaban kalau yang dia pikirkan adalah benar. "Kenapa tadi Kakak diem aja pas Papa pukulin Kak Rafli? Kenapa gak ceritain semuanya yang terjadi?' tanya Dennis.
"Papa terus mukulin Rafli sama Kakak! Kita bahkan gak dibiarin untuk bicara sepatah katapun Dennis!" ucap Diandra.
"Sekarang bilang sama aku, siapa laki-lakinya? Siapa yang jebak kalian?" tanya Dennis.
Deg!
Diandra menelan salivanya saat Dennis bertanya. 'Mati! Aku harus ngomong apa?' batin Diandra berucap.
"Kok diem lagi sih? Ngomong dong, Kak!" Siapa orangnya?" tanya Dennis.
"Orangnya udah gak ada!" ucap Diandra.
"Maksudnya udah gak ada?" tanya Dennis.
"Dia ... dia ... hmmm ... kabur!" ucap Diandra berbohong.
"Kabur?" tanya Dennis.
"Iya ... dia kabur! Dan entah dimana sekarang!" ucap Diandra lagi.
"Kok bisa dia ngejebak kalian terus kabur, masalahnya apa? Kalian punya masalah apa?" tanya Dennis lagi
Diandra kembali terdiam, dia semakin bingung harus menjawab semua pertanyaan Dennis dengan jawaban apa.
"Dia sakit hati sama Kakak?" tanya Dennis.
"Hm?" Diandra menatap Dennis lagi.
"Dia suka sama Kakak tapi kakak tolak, terus karena sakit hati, dia ngejebak kalian, gitu Kak? Atau ... Kakak pernah nyakitin perasaan dia dengan kata-kata, terus karena dia sakit hati dikatain, dia balas dendam dengan cara seperti itu, gitu Kak?" tanya Dennis lagi.
'Laahh ... ni bocah pikirannya kok dramatis banget kek sinetron,' batin Diandra berucap.
"Jawab, Kak! Yang bener yang mana?" tanya Dennis lagi.
"Kamu banyak tanya deh, Nis! Udah ... pokoknya Rafli gak salah! Yang salah tuh setan sialan itu! Rafli gak salah apa-apa! Kakak aja gak pernah ada niat mau dinikahin sama Rafli karena dia gak salah! Kakak malah sempet mikir mau bunuh ini anak! Tapi Rafli malah tau dan dia bilang untuk jangan digugurin, bahkan dia datang ke sini hari ini dadakan dan gak di rencanain sama sekali!"
Huuuhh
Diandra mengembuskan napasnya dengan sangat kasar. "Udah ya ... Kakak mau ke kamar, sumpah capek banget!" ucap Diandra, dia lalu melangkahkan kaki dan berjalan ke arah tangga hendak ke kamarnya yang berada di lantai atas.
"Fiks! Mereka dijebak!" ucap Dennis yang terdengar sampai ditelinga Diandra.
Diandra memejamkan mata. 'Hubungan ini bahkan dimulai dengan sebuah kebohongan,' ucap Diandra di dalam hati.
Diandra lalu berjalan menaiki anak tangga, lalu melangkahkan kaki ke arah kamarnya saat sudah di lantai atas.
Tap tap tap
Klak!
Diandra menutup rapat pintu kamarnya dan bersandar pada pintu, badannya terasa sangat sakit, lengannya juga terasa sangat perih.
"Rafli pasti jauh lebih sakit," gumam Diandra, dia berpikir kalau Rafli pasti jauh merasakan yang lebih sakit dan perih, pasalnya pria itu tadi banyak melindunginya. Saat sang ibu hendak memukulnya dengan gagang sapu, Rafli melindungi tubuhnya dengan punggung pria itu, Rafli juga dipukuli habis-habisan oleh sang ayah hingga Diandra melihat ada noda darah disudut bibirnya. "Aku yang kek begini aja sakit, apalagi dia yang banyak menerima pukulan, enggak ... aku gak boleh sia-siain perjuangan dia. Aku iyain apa yang Dennis pikirin aja, biar nanti Rafli gak banyak dipukul Papa lagi."
Diandra lalu merogoh tas kecilnya yang dia sampirkan di bahu dan mengambil handphone. "Aku harus kasih tau sama apa yang tadi Dennis pikirin, biar nanti kalau Papa minta dia kesini lagi, dia udah tau apa yang sebenernya terjadi di sini, karena setelah ini Dennis pasti bilang sama Papa," gumam Diandra, "Aku juga pengen tau keadaan dia kayak gimana sekarang," gumam Diandra lagi.
Diandra lalu mengunci pintu kamarnya agar tak ada seseorang yang membukanya nanti.
Bersambung