webnovel

Bab 04 - Nomor Tidak Diketahui

Hong Eun Song kini telah tiba di Seoul dan berada di depan pintu apartemen Mingyu. Setelah Seulgi mengirimkan alamat tempatnya tinggal, Bibi Eun Song langsung bergegas mengunjungi gadis itu. Bell sudah di tekan berapa kali. Namun, Seulgi tak kunjung membukakan pintu.

Usai menaruh sekotak kimchi yang terbungkus kain di bawah pintu, Bibi Eun Song menekan tombol di samping pintu lift. Begitu lift terbuka, mata Bibi Eun Song melebar melihat Seulgi seorang pria.

"Astaga! Anak ini, kemari kau!" Bibi Eun Song segera menarik Seulgi dan Mingyu keluar lift, kemudian memukuli lengan atas Seulgi. "Dasar berandal kau! Kau membiarkan wanita sepertiku menunggu lama."

"Aduh! Bibi, sakit! Maafkan aku, aku lama karena ada urusan penting," jawab Seulgi.

Bibi Eun Song menatap penuh selidik ke arah Mingyu. "Lalu, siapa pria tampan ini? Apa dia pacarmu?"

Seulgi dan Mingyu terbelalak mendengarnya. "Tidak!"

"Benar."

Seulgi menghunuskan tatapan tajam setelah Mingyu berkata seperti itu. "Sejak kapan kita pacaran? Hentikan omong kosongmu itu, sebelum aku banting tubuhmu."

Mingyu bukannya berhenti, ia justru memperkenalkan dirinya sebagai detektif kepolisian Gangnam sekaligus pacar Seulgi. "Aku akan menjaga keponakan Bibi dengan baik."

"Wah! Seulgi, jadi ini, alasanmu pergi ke Seoul? Untuk menemui pacarmu? Bukan untuk bekerja?" Bibi Eun Song menurunkan kacamatanya, memandang Mingyu dari kepala hingga turun ke kaki. "Baguslah. Jika begini, aku tidak perlu mengatur kencan buta untukmu."

"Dia bukan pacarku, Bi ...."

"Cepatlah, buka pintunya. Aku ingin melihat seperti apa tempat tinggal keponakanku," kata Bibi Eun Song mengacuhkan ucapan Seulgi.

Usai menekan pin pintu apartemen, Bibi Eun Song melangkah masuk terlebih dahulu, memandang seisi ruangan bercat abu-abu gelap dan furniture yang ada. Melihat foto yang terbingkai di meja kecil dekat lampu tidur, Bibi Eun Song mengambilnya. Seulgi memegangi dahinya sembari menunduk malu.

"Omong-omong, ini siapa?" tanya Bibi Eun Song.

Mingyu tertawa kikuk. "Itu ayahku."

"Jadi, ini rumahmu?"

Mingyu manggut-manggut. Sementara Seulgi bersembunyi di balik punggung Mingyu. Namun, tubuhnya sudah ditarik Bibi Eun Song. Lagi-lagi Seulgi mendapatkan pukulan di lengannya. Inilah yang terjadi jika gadis itu tak jujur dari awal. Bukan tak jujur, ia hanya lupa ingin memberitahu karena sibuk dengan pekerjaannya.

Selagi Mingyu menghidangkan kimchi yang dibawa Bibi Eun Song, Seulgi menjelaskan mengapa ia tinggal satu atap bersama Mingyu. Setelah dijelaskan, Bibi Eun Song perlahan mulai mengerti. Meski masih ada perasaan tak tenang membiarkan keponakannya bersama seorang pria.

Setelah sang suami menceraikan Bibi Eun Song karena tak bisa memiliki keturunan, hanya Seulgi satu-satunya keluarga yang dapat mengerti keadaannya. Bibi Eun Song pun sudah menganggap Seulgi seperti putri kandungnya sendiri. Itulah alasannya sering mengabari Seulgi.

Seulgi mengambil sumpit, lalu menyuapkan sepotong kimchi ke mulutnya. Matanya terpejam menikmati cita rasa kimchi buatan bibinya. "Ini kimchi terenak yang pernah aku makan."

"Benarkah?" Mingyu antusias mencomot sepotong kimchi di kotak makan. "Enak. Simpan ini untuk persediaan makan kita."

Ponsel Seulgi menyala diiringi getaran, sebuah pesan singkat dari nomor tidak diketahui tertera di layar. Seulgi yang sibuk mengunyah kimchi menghapus pesan tersebut tanpa membacanya. Tak lama setelahnya, ponselnya bergetar lagi.

+821076****: Kau sedang mencari pelakunya, 'kan? Katakan apa rencanamu, aku akan membantumu.

Setelah membaca, alih-alih membalas, Seulgi justru memilih menekan ikon panggilan. Panggilannya ditolak. Seulgi mencoba menghubungi nomor tersebut sekali lagi. Detik berikutnya, nomor tidak diketahui itu mengiriminya pesan.

+821076****: Jangan terburu-buru. Jelaskan saja apa rencanamu. Apa kau ingin pembunuhan ini terus berlanjut?

Seulgi melempar pelan ponselnya ke meja makan. "Sulit dipercaya."

"Apanya yang sulit dipercaya?" Mingyu meraih ponsel Seulgi dan membaca dua pesan itu. "Kenapa kau tidak membalasnya? Bukankah ini peluang besar bagi kita untuk menemukan pelakunya?"

"Kau tidak pernah belajar dari kesalahan sebelumnya, ya?"

"Apa katamu? Hei, kau ...."

Percakapan mereka terhenti sampai di sana, tatkala Bibi Eun Song menggebrak meja. Suasana meja makan menjadi terasa mencekam. Tatapan tajam Bibi Eun Song membuat keduanya enggan menatap balik.

"Bagaimana kalian ingin kompak, kalau di antara kalian terus berbeda pendapat seperti ini. Bisa-bisa kalian yang jadi mangsa pembunuhnya," celetuk Bibi Eun Song.

"Jadi, kita harus bagaimana, Bi?" tanya Mingyu.

"Coba saja dulu. Kalau memang orang itu tidak bisa dipercaya, kalian jangan beritahu rencana yang sebenarnya," usul Bibi Eun Song. Seulgi dan Mingyu manggut-manggut mendengarkannya.

Mingyu menjentikkan jari. "Ide bagus. Aku suka ide seperti ini."

Pukul 21.15, Seulgi mengikuti Bibi Eun Song dari lantai 9 sampai keluar gedung apartemen. Seulgi sedang berusaha membujuk Bibi Eun Song yang ingin pulang ke Busan sendirian. Ditawari untuk menginap semalam tidak mau, ditawari tumpangan pun apalagi. Ternyata tak semudah itu membujuk wanita yang sudah berumur 40 tahunan.

"Sudahlah, kau kembali ke rumahmu. Aku tidak apa-apa," ucap Bibi Eun Song. Tangan kanannya melambai memanggil taksi.

Seulgi meraih tangan bibinya. "Tidak, Bi. Bibi harus aku antar, ini sudah malam. Terlebih lagi, aku tidak mau sesuatu terjadi pada Bibi."

"Seulgi." Bibi Eun Song mengusap lembut setiap inci wajah Seulgi. "Aku sungguh tidak apa-apa. Lagi pula, kau pasti lelah karena meladeniku seharian."

"Tidak, kok, Bi. Justru aku senang."

"Sudah, ya."

Tangan Bibi Eun Song kembali melambai, Seulgi secepatnya mencegah bibinya itu memanggil taksi. Menariknya menjauh dari jalan raya. Bibi Eun Song memukuli jemari Seulgi agar tangannya terlepas. Mereka berdua bagaikan anak kecil yang sedang bermain tarik-tarikan.

Tiba-tiba ada satu mobil hitam berhenti di depan mereka. Seulgi dan Bibi Eun Song berhenti bertingkah sembari menatap mobil tersebut. Kaca jendela perlahan terbuka, menampakkan seseorang tersenyum lebar.

"Detektif In?" sapa Seulgi.

"Astaga, kau kenal dia?" tanya Bibi Eun Song penasaran.

Minho sedikit mengangguk. "Halo. Aku In Minho, rekan kerja Detektif Han."

"Begitu rupanya."

"Apa Bibi butuh tumpangan? Bibi mau ke mana?" Minho langsung menjurus ke intinya.

Seulgi menggeleng. "Tidak usah Detektif In, ini akan merepotkanmu. Biar aku saja yang mengantar pulang bibiku ke Busan."

"Busan? Oh, kebetulan aku mau ke sana." Minho memandang Bibi Eun Song. "Apa Bibi tidak mau ikut denganku?"

Seulgi menggeleng pelan, mengisyaratkan Bibi Eun Song untuk segera menolak tawaran Minho. Seulgi merasa tidak tenang membiarkan bibinya bersama rekannya. Meski sudah menjadi rekan tim investigasi, ia tidak mengenal Minho seperti ia mengenal Mingyu.

"Bagaimana kalau Bibi aku antar saja? Atau ingin Mingyu yang mengantarkan Bibi?" saran Seulgi.

"Tidak usah!" Bibi Eun Song menoleh ke arah Minho. "Sebaiknya aku menumpang saja dengan rekanmu ini."

"Bi ...."

Seulgi belum selesai bicara. Namun, Bibi Eun Song sudah masuk ke dalam mobil Minho. Ia hanya melambaikan tangan dengan raut wajah tak rela.

"Detektif Han, aku akan mengantarkan bibimu dengan selamat. Jangan khawatir."

Ucapan Minho sedikit menenangkan Seulgi. Sebelum mobil melaju, Bibi Eun Song memberikan kiss bye ke arah Seulgi. Setelah itu, Minho benar-benar pamit pergi.

Untuk kesekian kalinya, ponsel di dalam sakunya bergetar lagi. Seulgi mendongak membuang napas panjang, dengan sangat terpaksa ia menyalakan ponselnya dan membaca pesan tersebut.

+821076****: Bagaimana? Kau tertarik? Waktumu tidak banyak, jadi, pikirkan secara matang.