webnovel

2

"Apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti", ucapku sepolos mungkin, namun mendapat decihan dari wanita itu dan kesenyapan di sepanjang jalan.

Mobil ini keluar dari jalan raya, melalui jalan sepi penuh pepohonan. Sebenarnya, ke mana mereka akan membawaku? Hampir dua jam mobil ini melintasi jalan sepi dan hari sudah semakin siang. Tak lama, ada sebuah pagar beton besar terlihat di sisi jalan. Pagar itu sangat panjang dan tak terlihat apa isinya. Sampai muncul dari kejauhan dalam pagar itu sebuah atap yang kutebak berada cukup jauh di dalam pagar itu. Mobil ini berhenti di depan gerbang pagar dan wanita itu menurunkan kaca mobilnya, berbicara pada seorang penjaga gerbang itu. Sekarang aku yakin kalau wanita itu berkerja dengan orang yang tengah menjebakku sekarang. Tapi untuk apa? Menculik? Keluargaku orang yang berkecukupan. Lalu apa selain itu sampai membuatku harus masuk rehabilitas sakit jiwa?

Mobil ini melewati gerbang dan melaju menuju bangunan besar yang seperti kastil di ujung jalan ini. Aku tidak dapat menghentikan tubuhku yang getir membayangkan seberapa menakutkan isi gedung itu. Yang pasti, ini bukan tempat rehabilitas, melainkan tempat uji coba. Ini lebih mengerikan jika mereka menggunakanku sebagai objek percobaan. Seharusnya aku kabur sebelum kemari.

Kedua pria dalam mobil ini menyeretku masuk dalam kastil dan memasukkanku dalam sebuah ruangan. Mereka mengumpulkan semua orang yang sebaya denganku dalam sebuah ruangan dengan tempat duduk yang berjauhan, seperti ulangan umum. Aku duduk di barisan tengah seperti yang lainnya lakukan, sambil melirik ke arah sekitar. Bahasa, etnis, dan agama orang-orang dalam ruangan ini berbeda, dilihat dari pakaian, nada bicara, bahasa, dan warna kulit mereka. Dan aku adalah salah satu orang campuran yang ada di sini.

Tiba-tiba sebuah speaker yang ada dalam ruangan ini berdengung, membuat semua orang menutup telinga karena kesakitan. Suara lemah lembut yang sedikit dipaksakan keluar dari sana. Kutebak pemilik suara itu adalah seorang waria, ha ha.

"Kenapa kamu tertawa?", tanya seorang pria berkulit putih duduk di meja di samping kananku.

"Bukan apa-apa", jawabku dengan ramah.

"Mohon perhatiannya!", suara dari speaker itu lagi, membuat pria di sampingku ini kengurungkan dirinya untuk lebih banyak berbicara padaku.

"Kalian lihat kertas di depan kalian?", tanya suara itu, membuat yang lainnya membuka lembaran kertas di atas meja mereka masing-masing. Aku memilih mengabaikannya karena tidak tertarik, menunggu ucapan selanjutnya.

"Jawablah dengan jujur sebagaimana kalian berpikir dan berperilaku. Tidak ada toleransi jika jawaban kalian hanya berpura-pura atau mencontek", ucap suara itu lagi dengan tegas. Sudah kubilang yang bicara itu adalah seorang waria. Dari speaker terdengar suaranya membenarkan nada suara agar kembali seperti semula.

"Sebagai contoh kalian akan melihat hasil dari berpura-pura atau mencontek, mungkin ada yang mau mencoba kursi listrik?, tawarnya dan monitor di depan kami menyala, menampakkan sebuah ruangan kosong dengan sebuah kursi kosong penuh kabel. Apa ini sebuah lelucon?

"Aku akan mencobanya. Mereka pasti tengah bercanda", ucap seorang pria yang bangkit dari duduknya dan menuju pintu keluar yang di luar tengah dijaga oleh kedua pria. Jika ini benar, berapa tegangan listrik yang diperlukan untuk membuat seseorang terbunuh?

Aku melihat dengan benar sukarelawan pria berkulit putih itu keluar dari ruangan ini ditemani oleh seorang penjaga pria. Setelah satu menit dua puluh tiga detik, sukarelawan pria itu muncul dalam rekaman monitor di depan kami. Kutebak ruangan kursi listrik itu cukup jauh, atau jalan mereka yang lambat. Tapi, persiapan mereka yang lama bisa juga terhitung. Jadi, tempat itu sulit ditebak jaraknya, kecuali aku sendiri yang di bawa ke sana.

Sukarelawan pria di monitor itu melambaikan tangannya ke arah monitor dengan wajah ceria dan polos. Bahkan sampai dia duduk di kursi listrik dan diikat dengan besi, dia masih bisa mengacungkan jempolnya dengan senyum lebar sampai percikan api keluar dari sana dan suara jeritan memekakkan telinga keluar dari speaker. Semua orang dalam ruangan ini ternganga melihat penyiksaan secara langsung di depan mereka. Begitu pun denganku yang harus menjaga sikap normal, walau sudah terbiasa, bahkan melihat yang lebih parah dari ini.

Sukarelawan itu pingsan dengan badan yang terkulai lemas. Pria penjaga itu menyeretnya entah ke mana, tapi semua orang dalam ruangan ini masih terdiam mencerna apa yang baru saja terjadi. Penjaga itu kembali dan menyeret sukarelawan pria itu masuk dalam ruangan ini, membuat orang-orang panik karena mengetahui itu benar-benar nyata. Aku terlalu sibuk menghitung waktu penjaga itu sampai kembali ke sini, tepat dua menit yang artinya tempat itu benar-benar jauh dan bukan hal yang mudah menyeret manusia. Seseorang dalam ruangan ini mengecek sukarelawan yang tersungkur itu.

"Dia masih hidup. Dia akan sadar dalam beberapa menit", ucap orang yang mengecek pria itu membuat suasana semakin tenang.

"Kalian sudah mengerti? Jadi, selesaikan semuanya dan pikirkan bagaimana agar kalian tidak berakhir di kursi listrik karena tegangannya akan dinaikkan", ucap suara dari speaker itu, membuat semua mulai serius mengerjakan kertas soal di depan mereka. Aku benci diancam seperti ini, tapi apa boleh buat agar aku terlihat normal.

Jadi, mereka akan menghukum jawaban berpoin wajar karena semua orang dalam ruangan ini berpura-pura. Tunggu sebentar, berpura-pura? Jika semua orang dalam ruangan ini berpura-pura bersikap normal, itu artinya mereka sama sepertiku? Kau bercanda? Mengumpulkan orang sepertiku sangatlah sulit. Tapi, dalam ruangan ini ada lima puluh peserta dan masing-masing dari mereka memang terlihat berbeda karena etnis dan lingkungan mereka. Aku tidak bisa menebak batasan normal bagi mereka karena belum mengenal lingkungannya selain orang yang satu lingkungan denganku. Aku mulai teringat dengan orang putih yang duduk di sampingku yang memiliki logat yang hampir sama denganku, membuatku menoleh ke arahnya.

"Hey", bisikku tanpa menoleh ke arahnya, dengan tatapan masih ke depan kertas soal.

"Kau memanggilku?", balasnya yang juga melakukan hal sama sepertiku. Di sana aku mulai berpikir kalau dia adalah partner yang bagus.

"Di mana kau tinggal?", tanyaku dengan suara yang pelan agar hanya terdengar oleh kami.

"Watford", jawabnya singkat.

"Harrow", ucapku dengan cepat setelah dia menyebutkan nama kota tempat tinggalnya yang dekat dengan tempat kutinggal. Pria itu tersenyum singkat karena menahan tawanya, begitupun denganku yang tak menyangka bisa bertemu dengan orang yang juga satu negara denganku walau berbeda kota. Tapi aku mulai merasa sedikit was-was karena dia juga memiliki pemikiran yang sama denganku.

Jika mereka ingin kami berhenti berpura-pura, itu artinya mereka ingin kami jujur. Dari semua pemikiran yang berbeda etnis, lingkungan, batas wajar dan keyakinan jawaban orang-orang dalam ruangan ini akan berbeda dan tidak memungkinkan mendapat keberhasilan untuk menjawab benar jika tidak berpura-pura. Bisa disimpulkan mereka ingin kami menggunakan insting alami dan berhenti berpura-pura bodoh yang berlebih-lebihan agar terlihat normal. Aku melirik ke arah pria di sampingku yang kutanyakan tempat tinggalnya dan melotot tak percaya. Dia lebih dulu menyadarinya dariku? Bagaimana bisa dia menjawab semua soal itu lebih dulu dariku. Ah, tentu saja karena lingkungan kami berbeda, mungkin dia memiliki pemikiran yang lebih cepat dariku.

Aku menghentikan pemikiranku dan mulai fokus pada soal di depanku, lalu mulai mencoret kertas jawaban dengan polpen. Entah jam berapa sekarang, karena tak ada jam dinding dalam ruangan ini. Mereka mengurung kami dengan soal psikologi yang sulit dan membuat semua orang dalam ruangan ini ragu dengan jawaban mereka, yang membuat orang-orang dalam sini mulai stres dan mencoret jawaban mereka sebelum membuat keputusan. Sifat ketakutan manusia yang tak bisa hilang, di sana mereka menyadari batasan wajar mereka. Kutebak kami sudah duduk di kursi ini selama tiga jam lebih dengan keheningan, yang pastinya diawasi oleh seseorang.

"Hey, apa kami boleh istirahat?", tanya seseorang yang bangkit dari duduknya di depanku dengan tiba-tiba. Orang itu cukup banyak memiliki nyali untuk menanyakannya, karena semua orang menoleh ke arahnya. Lagi, speaker itu berdengung saat suara lemah lembut yang tadi hendak angkat suara.

"Ya, setelah kalian memasukkan kertas soalnya dalam kotak putih di depan meja kalian", ucap suara dari speaker itu. Semua orang dalam ruangan ini segera dengan cepat dan berdesakan mengumpul lembar jawaban mereka dengan terburu-buru karena tak sabar. Sebagiannya juga memilih menunggu agar tak terdorong. Aku memasukkan lembaran soalku dan kembali duduk di kursiku. Pintu ruangan ini terbuka menampakkan dua orang pria yang berjaga di luar itu masuk dengan membawa banyak sebuah kotak. Mereka membagikannya satu persatu pada kami dan keluar dengan mengunci pintu lagi.

"Hasilnya akan diumumkan satu jam setelah ini. Selamat menikmati makanan dan perkenalan kalian", ucap suara itu dengan akhiran speaker yang kembali berdengung. Pria yang duduk di sampingku mengangkat meja dan kursinya duduk di sampingku setelah membuka isi kotak di mejanya yang ternyata berisi makanan.

"Kau suka waria?", tanyanya, membuatku tertawa. Seorang perempuan asia berambut coklat menghampiri kami dengan kursinya karena penasaran.

"Apa yang kalian tertawakan?", tanyanya tanpa permisi duduk di kursi dan meletakkan kotak makanannya di atas mejaku. Aku tidak keberatan pada siapa pun itu, hanya saja dengan perempuan?

"Hey nona, kau tidak bisa meminta izin sebelum makan di sini terlebih dulu", ucap pria yang duduk di depanku, berbalik dengan kursinya dan meletakkan kotak makanannya di atas meja pria sampingku. Padahal dirinya juga melakukan hal yang sama.

"Aku tidak terbiasa makan sendiri dan dibelakangi oleh orang-orang" ucapnya yang sibuk dengan makanan di depannya, membuat kami yang semeja di sini tertawa mengundang perhatian lain yang juga ikut-ikutan mengangkat meja mereka untuk membentuk barisan seperti kantin dan mulai mengenal sama lain saat berbicang, seperti makan siang.

"Kapan kami istirahat? Nilai seratus untukmu", ucap pria di sampingku, berbicara pada pria di depannya.

"Siapa namamu?", tanya pria di depannya itu.

"Cathcart, cath", jawabnya dengan cepat membuat pria di depannya tertawa.

"Apa ibumu mencintai watford?", tanya perempuan di depanku.

"Ya, aku selalu mendapat nomor lima belas. Setidaknya biarkan aku memilih nomor enam yang sama seperti tanggal lahirku", jawab Cath, membuat kami tertawa terbahak-bahak.

"Apa selera ibumu seburuk itu?", tanya pria di depan Cath.

"Dan kau, siapa namamu? Bisa jadi namamu lebih parah darinya", sinis perempuan di depanku.

"Kau menanyakan nama si keren ini", ucap pria di depan Cath dengan percaya dirinya, membuat perempuan yang menanyakannya tersedak minumannya sendiri.

"Ya, aku sering melihatmu di pinggir jalan dengan sekaleng sarden", ejek perempuan itu, membuatku dan Cath tertawa.

"Bilang saja kalau kau suka denganku", gerutu pria itu membuat perempuan yang duduk di sampingnya melotot kesal. Pria itu tak menghiraukan ekspresi perempuan di sampingnya dan bangkit dari duduknya.

"Perkenalkan orang tertampan dari italia ini, kalian bisa memanggilku Oland", ucap pria itu dengan gaya lebaynya. Aku dan Cath menahan tawa mengetahui namanya yang lebih aneh itu.

"Kau terdengar seperti penyiar speaker tadi", ejek Cath sambil menyendikkan bahunya karena merinding. Aku dan perempuan di depanku tertawa mendengarnya, tapi senyap karena mendapat tatapan kesal dari Oland.

"Dan kau nona baper?", tanya Oland pada perempuan yang satu meja dengan kami.

"Arcella, senang berkenalan dengan kalian", ucapnya memperkenalkan diri dengan sopan, kutebak dia berasa dari keluarga kaya dan sangat terdidik, mungkin.

"Dan kau?", tanya Cath yang menatap ke arahku, begitu pun dengan yang lainnya.

"Ak-",

Belum sempat aku memperkenalkan diri, speaker dalam ruangan ini kembali berdengung, memekakkan telinga. Suara itu kembali dengan nada lemah lembut dan sebuah monitor yang menampilkan wajah kami dan sedikit gambar memiliki silang X pada gambar mereka. Apa itu adalah tanda mereka yang tidak lulus dari tes ini?

Mataku dengan teliti mencari wajahku dan menemukan gambarku memiliki tanda S. Apa maksud dari tanda itu? Dilihat dari lima puluh orang, ada sebelas orang yang memiliki silang X pada gambar mereka termasuk Oland yang baru saja kukenal. Dan dari lima puluh gambar itu ada delapan gambar memiliki tanda S, termasuk diriku.

"Bagi gambar yang memiliki silang X, harap keluar!", perintah suara itu. Dengan raut wajah yang pucat karena membayangkan apa yang akan terjadi pada mereka yang memiliki silang X pada gambar, dengan gontai bereka berjalan menuju pintu keluar yang sudah terbuka menyambut mereka.

"Tunggu! Mereka tidak mungkin disiksa dengan kursi listrik kan? Bukankah ini tempat rehabilitas?", henti seseorang yang lolos tes dalam ruangan ini.

"Tentu saja, mereka akan dipulangkan", ucap suara dari speaker itu, membuat sebelas orang yang memiliki tanda silang pada gambarnya kegirangan dan berpamitan terlebih dahulu.

"Kuharap kau cepat pulang juga!", ucap Oland yang menepuk pundak kananku, aku hanya menanggapinya dengan senyuman lebar karena merasa janggal.

"Oland!", sebelum dia berlalu pergi. Aku menghampirinya dan membisikkan sesuatu dan kembali masuk dalam ruangan karena mereka harus bergegas pergi.

"Apa yang kau bisikkan dengannya?" Penasaran Cath.

"Hanya memastikan kalau dia masih hidup setelah dikembalikan ke keluarganya", jawabku, membuat Cath mengangguk mengerti.